“Jadi, papa ada di kantor polisi sekarang?” Bellova duduk disamping Abraham, di sofa.
“Iya. Baru hari ini papa dibawa kesana. Awalnya aku sempat khawatir pada papa dan mama, takut kalau mereka tidak bisa mengikuti rencana ini. Tapi, ternyata, mereka bisa, walau sempat khawatir.”
“Hah, benar-benar sangat melelahkan,” Abraham menyandarkan bahu disofa, mengangkat wajah menatap
langit rumah.
“Bram, apa mau aku pijit?”
“Hm? Pijit? Memangnya kamu bisa?” Abraham menoleh melihat Bellova.
“Iya, waktu itu aku pernah mijit kamu juga kan?”
“Aduh, aku lupa, maaf ya,”
Bellova tersenyum, “Jangan meminta maaf karena hal yang sepele.”
“Eiitss, ngeledek aku sekarang ya, sudah berani kamu ya,” balas Abraham. Dia tidak marah, justru merasa lucu dengan ucapan isterinya yang mengikuti cara dirinya berbicara.
“Bu… bukan kok. Terkadang, orang lain mikir itu hal yang sepele, tapi bagi kita yang melakukan kesalahan itu, jika tidak meminta maaf, hati tidak akan merasa tenang dan terus dibayang-bayangi rasa bersalah.” Dengan serius Bellova mengatakannya. Abraham tidak terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulut isterinya. Karena beberapa detik yang lalu, Abraham bisa merasakan itu, jika dia tidak minta maaf pada isterinya karena lupa, dia akan merasa bersalah.
“Kau tahu Love-
“Tidak, aku tidak tahu, kenapa?” sela Bellova sebelum Abraham selesai berbicara. Bukan karena sengaja untuk menyela, hanya dirinya masih gugup jika duduk berdua dengan suaminya.
Abraham menghela napas, menarik ujung bibirnya karena selaan dari isterinya.
“Makanya dengar dulu Love,”
“I… iya, aku-
“Stop! Jangan minta maaf lagi,”
Bellova diam tidak bicara.
“Maksudku yang tadi, aku ingin mengatakan kalau saat aku berbicara denganmu, aku suka.”
Bellova mengangkat wajah melihat Abraham.
“Pikiranmu sangat luas dan tidak berat sebelah, selalu imbang, itu menurutku ya, gak tahu kalau menurut orang lain. Tapi, adakalanya kau sangat polos dan lugu. Hal kecil yang kami semua tahu, tapi itu malah tidak membuatmu mengerti atau tahu. Tentu saja itu tidak menjadi masalah bagiku. Karena aku suka caramu bicara, mengambil sikap, mengambil keputusan.” Wajah Abraham tersenyum pada Bellova.
“Tuh, kenapa lagi wajahmu itu? Kenapa semakin merah? Kamu demam? Atau… kamu malu?” walau Abraham tahu, dia terus meledek isterinya. Bahkan mengusap pipi Bellova yang memerah.
Bellova menarik tangan Abraham agar berhenti mengusap wajahnya.
“Itu karena pendidikan aku yang rendah, tidak tinggi seperti Bram dan lainnya.”
“Mm? maksudnya?”
Bellova menatap Abraham lekat, “Hal kecil untuk Abraham, Arshinta dan Kak Ina, adalah hal besar untukku, karena aku tidak tahu apa-apa.”
Pluk!
“Haduh, apa hubungannya sih? Memangnya itu pelajaran Matematika atau Fisika?” Abraham berbaring dengan meyandarkan kepalanya dipangkuan isterinya. Kedua kakinya sudah diangkat diatas sofa.
Deg… deg… deg..
Tentu saja Bellova terkejut dengan aksi dadakan dari Abraham. Padahal dia sudah bersusah payah untuk menormalkan warna wajahnya agar tidak memerah. Seakan terus digodai dengan sengaja.
“Terkadang, orang pintar itu tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikannya Lov. Justru, diluar sana, semakin tinggi pendidikannya, dia akan semakin sombong, walau sengaja atau tidak sengaja. Apalagi kalau mereka berhadapan dengan orang yang pendidikannya jauh dibawahnya, dia akan berlagak pintar dan sok jenius. Hah, sudah banyak aku bertemu orang yang seperti itu.”
“Dan orang yang sepertimu, mereka akan lebih sadar diri, tahu diri dan menjaga sikap, meski terkadang sedikit berlebihan. Untunglah aku menikah denganmu, kalau aku menikah dengan yang pendidikannya tinggi atau sama sepertiku, pasti sama-sama keras dan tidak ingin mengalah. Mungkin kau tidak tahu kalau emosiku sangat tinggi.” Sesaat Abraham diam, Bellova masih serius mendengar.
“Dan setelah aku menikah denganmu, emosiku sedikit terkontrol, karena sifatmu yang mengalah itu. Jadi mungkin, aku tidak punya alasan untuk marah.”
Bellova merasa kalau dirinya sedang dipuji, itu membuatnya sedikit tersenyum walau berusaha untuk menahannya.
“Love, kamu bilang bisa mijit kan?” Abraham melihat Bellova yang menganggukkan wajah.
“Kepalaku pusing nih, bisa dipijit gak?” dia memegang kepalanya yang masih berada dipangkuan Bellova.
Tanpa berpikir panjang, Bellova mengangkat kedua tangan untuk memijit bagian kiri dan kanan di area kepala Abraham.
“Mmm, rasanya enak sekali. Tidak terlalu keras, dan tidak terlalu pelan,” Abraham menikmatinya dengan memejamkan mata. Kedua tangannya sudah dilipat didepan dada. Dia tidak melihat bagaimana reaksi wajah isterinya.
“Pasti banyak diluar sana yang akan membuat berita tentang papa.”
“Iya, tentu saja akan ada.” Sahut Bellova.
“Mereka akan pikir, kalau papa mendapat perlakuan khusus di sel. Secara, selain Bos Mafia, juga adalah putera dari anggota kepolisian dan ditahan di selnya sendiri.”
“Kan bukan cuma papa saja yang diperlakukan seperti itu.” jawaban dari Bellova yang membuat Abraham membuka mata.
“Selain papa mertua, pasti ada juga pejabat-pejabat atau orang yang memiliki banyak uang untuk mendapatkan perlakukan khusus saat dipenjara. Ada yang ketahuan, ada juga yang tidak, meski semua orang tahu itu. Dan jika mereka tahu, apa yang bisa mereka lakukan?”
Bibir Abraham terangkat.
“Wah, inilah kenapa aku sangat suka berbicara denganmu Lov,” Abraham mencubit pipi Bellova pelan.
Menggerakkan kekiri dan kekanan.
Bellova segera melepaskan tangan Abraham.
“Logikamu masuk akal. Aku benar-benar suka.” Puji Abraham lagi.
Bellova kembali memijit kepala suaminya.
“Bram, sebaiknya kita pindah kekamar, kamu sudah menguap dari tadi, pasti sudah mengantuk.”
“Iya nih, aku udah ngantuk,” Abraham bangkit bangun.
“Pft,” Bellova menahan tawa.
“Kenapa?” Abraham menoleh kebelakang melihat isterinya.
“Rambutmu jadi berantakan,”
“Oh ini, ya jelas lah, kan kamu udah mengacak-acaknya,” dia memegang kepalanya.
“Iya, karena aku memijit kepalamu.”
“Ayo kita kekamar, kamu juga pasti sudah lelah, langsung istirahat saja,” ajak Abraham mengulurkan tangan.
“Kamu saja duluan, aku mau memeriksa disini dulu. Kamarnya juga sudah aku semprot anti nyamuk kok.”
“Oke, jangan lama-lama disini, kalau sudah selesai, langsung naik kekamar saja,” Abraham pergi lebih dulu. Bellova masih berdiri melihat suaminya pergi lebih dulu.
Ada bagian kata-kata dari suaminya yang membuatnya sedikit percaya diri. Wajahnya memerah lagi kalau
mengingat obrolan mereka berdua.
***
Keesokan paginya.
“Bram, apa boleh aku datang ke kantor polisi nanti siang? Sekalian membawa makan siang untukmu dan
untuk papa?”
“Pft, hahahah, ke kantor polisi? Kamu mau buat laporan kejahatan apa?” Abraham hampir tersedak memakan sarapannya, mendengar kalimat lucu dari Bellova.
“Ekhem, sorry, sorry. Lagian, wajahmu serius sekali saat mengatakannya.”
“Bram kan memang bekerja di kantor polisi.”
“Benar sih. Apa mau dijemput?”
“Jangan, kalian kan punya banyak pekerjaan. Aku naik taksi online saja.”
“Enggak, enggak boleh. Aku akan suruh Venom atau Adley yang menjemputmu. Jadi kau harus tetap disini sampai ada yang datang. Kalau kau tidak mau, kau tidak boleh datang.”
“Baiklah, aku akan menunggu disini.”
“Jangan marah ya isteriku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Nurak Manies
🥰🥰🥰🥰🥰
2022-05-01
0
Rini
sudah mulai romantis, apalagi nanti di panas-panasi denis tambah semakin romantis nanti abram 😆😆
2022-04-26
1
umiazmi
ahhhh sebutannya suamiku gth love balesss
2022-04-08
1