Setelah kau tinggalkan aku dalam keterpurukan, dalam kekosongan,
Membuatku bingung, bertanya-tanya apakah kesalahanku begitu tak ter maafkan.
Setelah kau tinggalkan aku, terpaksa segala harap tentang indahnya masa depan bersamamu, harus kurelakan, meninggalkan rasa sesak yang hanya aku yang tahu seberapa sakitnya.
Setelah kau tinggalkan aku, tak kau sadari jika kau pergi membawa separuh dari diriku, meninggalkan separuh diriku lagi dengan bayang rasa sakit, diriku tak pernah sama lagi.
Setelah kau tinggalkan aku, Ya... Sekian tahun sudah terlewati. Bahkan semuanya masih berupa pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya, sudahkah aku menyembuhkan sakit hatiku? Benarkah aku berbahagia dengan hidup yang sekarang kujalani? Beranikah aku membuka hati dan menjajal cinta yang baru lagi?
Setelah kau tinggalkan aku, sudah kupasrahkan hatiku jika Tuhan mengirimkanku cinta yang baru, tak akan kutolak, akan kuterima. Namun jika yang dikirim Tuhan ternyata adalah dirimu kembali, jujur saja aku akan lebih berbahagia.
Dan...... saat ini netra kita bertatapan, kau kembali.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀
# Sherina POV #
Beberapa hari yang lalu, masih kuingat betapa semangatnya diriku, memacu motor matic warna merah muda milikku, berkeliling kota Yogyakarta, mengurus beberapa administrasi yang kuperlukan untuk pindah ke Jakarta.
Namun kini, aku sudah duduk di salah satu kursi kelas bisnis sebuah pesawat udara yang akan mengantarkanku ke kota tujuanku.
Sangat berbeda ketika pertama kali aku datang ke Yogyakarta, saat itu aku naik bus berjam-jam, hingga tulang-tulang punggungku rasanya akan patah semua. Sedangkan sekarang dengan pesawat, hanya sekitar 1 jam 15 menit, aku akan tiba di Jakarta.
“Bangunkan aku jika sudah hampir tiba,” ucap Harsya yang kini duduk di sampingku.
Meski hanya punya waktu sebentar saja, tapi benakku sempat-sempatnya bekerja keras. Kupalingkan wajahku menatap gumpalan awan berwarna putih dari balik jendela pesawat. Ingatanku kembali mengingat pertemuan terakhirku dengan Pak Sadewa kemarin sore.
Pak Sadewa menjadi orang terakhir yang kutemui untuk berpamitan . Meski akhirnya niatku untuk berpamitan pada beliau kini membuat suasana di antara kami jadi canggung.
Detik demi detik berlalu, dengan banyaknya hal yang kupikirkan, 1 jam 15 menit kini terasa sangat cepat.
Kubangunkan Harsya sesuai permintaannya saat informasi mendarat sudah terdengar.
Aku menghela napas panjang, “Huh... bagaimana nantinya aku melewati hari-hariku di sini. Semoga saja semua berjalan mudah,” batinku.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀
Kakiku kini telah kembali berpijak di kota tempat ku lahir dan dibesarkan oleh keluarga yang selalu merangkulku dengan kasih sayang.
Kemudian di Kota ini pula aku kehilangan dua orang paling berarti di hidupku untuk selamanya.
Kota ini juga tempat ku pertama kali merasakan cinta pada pria.
Kemudian di Kota ini pula aku di ajarkan, jika cinta itu tak lebih dari sebuah permainan bagi orang-orang yang tak paham arti ketulusan.
Dahulu kota ini mengajarkanku jika sebagaian besar orang hanya akan menilai dari apa yang kamu tampilkan. Mereka tak tahu dan mungkin tak ingin tahu apa pikiranmu atau bagaimana perasaanmu.
“Ck.... Kau melamun lagi.” Ucap Harsya sambil berdecak.
Harsya merangkul pundakku dan membawaku kembali ke kenyataan.
“Itu hobiku, jangan protes.” Balasku berpura-pura ketus.
Harsya mengenakan baju kaos putih yang dipadukan dengan jaket bomber warna hitam, seperti penampilan kebanyakan pria lainnya.
Tapi yang berbeda dari Harsya adalah dia melengkapi penampilannya dengan masker yang hampir menutupi seluruh wajahnya, kacamata hitam, lalu ditambah lagi dengan topi berwarna hitam.
“Tapi hobi melamunmu itu bisa saja mendatangkan bahaya bagimu,” lanjutnya.
“Bagaimana jika kau tiba-tiba saja melamun di tengah jalan?” ucapnya.
Aku terkekeh, “Memangnya apa yang akan kulakukan di tengah jalan?”
Tak ingin berdebat dengannya terlalu lama, jadi aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan saja.
“Saat ini yang paling berbahaya adalah jika para penggemar atau wartawan, mendapati idola mereka tengah merangkul seorang wanita.” Ujarku.
“Jadi sebelum itu terjadi dan berakhir aku di cabik-cabik oleh mereka, lebih baik kita segera pergi. Berduaan denganmu di tempat ramai cukup membuatku was-was.” Sambungku.
Pria itu melepas rangkulannya, lalu membungkukkan badannya dan memberi hormat dengan gaya khas pelayan-pelayan istana di film kerajaan.
“Sesuai keinginan anda Tuan Putri.” Ucapnya. Meski tertutup masker tapi aku yakin pria itu kini tengah tersenyum.
Kusadari jika kini ada yang berbeda saat orang lain memandang ke arahku.
Jika dahulu setiap kali aku bersama Harsya, yang kudapatkan hanya tatapan meremehkan, hinaan, cercaan, juga makian.
Tapi kini, mereka menatap kami dengan tatapan memuja. Mereka memuji betapa serasinya seorang wanita cantik dan pria tampan yang berjalan beriringan.
Aku berjalan di sisi Harsya yang mendorong troli berisikan tumpukan koper besar, menuju pintu keluar bagian kedatangan domestik di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Dari kejauhan sepasang mata terus mengawasi kami.
“Rafie,” kulambaikan tanganku dan segera berlari ke arah Rafie yang menyambut kedatanganku kembali ke Ibu Kota dengan sebuah pelukan.
“Selamat datang kembali, Bu dosen.” Ucap Rafie.
“Terima kasih Rafie, ini semua berkatmu.”
“Kau pantas mendapatkannya. Aku senang bisa mengambil bagian dalam perjuanganmu menuntut keadilan.” Ucap Rafie saat pelukan kami terlepas.
Aku mengangguk, “Aku jadi lebih bersemangat dan optimis, tentu itu semua karena kalian berdua.
Terlepas dari itu semua, aku berdoa agar aku bisa melewati semuanya dan mencapai tujuanku.
“Tuhan, Aku yakin Engkau selalu ada disisiku dan melindungiku.”
⚘🍀⚘🍀⚘🍀
6 bulan kemudian,
Universitas El-Fatih, disinilah aku sekarang.
Entah ungkapan dunia yang tak selebar daun kelor itu benar, atau memang inilah jalan yang ditakdirkan Tuhan untukku.
Tak terasa 6 bulan sudah aku berada di Ibu Kota, terpisah jarak dengan Bunda yang masih tinggal bersama Bu Ayu di Balai Rehabilitasi di Yogyakarta.
Sudah 2 kali aku meminta saran dokter untuk memindahkan Bunda ke rumah sakit di Jakarta, tapi dokter menyarankan agar Bunda dibiarkan tinggal sementara di sana.
Saat ini aku sedang duduk di ruanganku, setelah baru saja menyelesaikan kelas terakhirku hari ini.
Dan harusnya kini aku sedang berselancar di dunia maya, mencari apartemen atau rumah kontrakan yang bisa segera kuhuni.
Sebab sudah 6 bulan ini aku ‘mengkudeta’ apartemen Harsya sehingga Ia dengan rela dan senang hati tinggal di apartemen Rafie.
Namun suasana kampus yang sangat riuh oleh canda gurau mahasiswa dan mahasiswi mengalihkan perhatianku.
Aku memilih untuk berjalan-jalan santai di koridor kampus, mengamati kegiatan para mahasiswa. Hal yang tak pernah kulakukan dulu saat masih kuliah.
Sebagai dosen terfavorit pilihan para mahasiswa pada website resmi universitas, sudah sewajarnya jika setiap mahasiswa mengenalku, terkecuali jika mahasiswa tersebut tak pernah mengunjungi website universitas.
Sangat berbeda dengan Sherina yang dulu, kini tak ada lagi hinaan yang kudengar, hanya sapaan dan pujian yang mengiringi langkah demi langkahku.
Terlebih setelah aku berhasil menepati janjiku pada Rafie. Aku berusaha yang terbaik untuk menunjukkan kemampuanku.
Terbukti dengan setiap mahasiswa bimbinganku yang mengikuti kompetisi selalu keluar menjadi juara, dan masih ada beberapa prestasi lain yang bisa jadi bukti jika pilihan Rafie tidak salah.
Ddddrrtttt...... Ddddrrrrttt.....
Ponsel di genggamanku bergetar, kulihat nama Pak Trisno tampak di layar.
Dilema antara mau kuabaikan saja atau kuterima panggilannya.
Ketika getaran ponselku berhenti tanda jika panggilan telah berakhir, aku pun akhirnya bisa bernapas lega.
Namun sesaat kemudian, ponselku kembali bergetar, namun kini nama Maya yang tampak di sana.
“Halo May,” sapaku ceria.
“Halo Sher, kamu dimana?” balas Maya dengan suara berbisik.
“Apa kamu lupa jika sore ini ada pertemuan dengan pemilik kampus?”
“Astaga May, kamu benar, aku lupa,” jawabku.
“Maka segera kemari, jika perlu berlarilah, ke ruang meeting. Sebelum bos angkuh namun sayangnya tampan ini menyadari jika ada 1 dosen yang belum hadir.” Ujarnya.
Setelah panggilan berakhir, dengan segala upaya kupercepat langkahku menuju ruangan yang disebut oleh Maya, salah satu dosen di jurusan Ekonomi yang masih seumuran denganku.
Kunormalkan lebih dulu degupan jantung dan hembusan napasku setelah berlari. Tak lupa kurapikan tatanan rambutku.
Tok... Tok... Tok....
Ceklek,
Kubuka pintu sepelan yang aku bisa, tapi usahaku sia-sia saat kudapati kini semua orang yang ada di ruangan itu menatap ke arahku.
Terutama seorang pria tampan, dengan bulu halus di sekitar rahangnya membuat pria itu terlihat sangat maskulin.
Tatapannya membuatku mematung, aku merasa dingin menjalar di seluruh tubuhku, tatapannya mengunci pergerakanku.
“Kusadari jika suatu saat nanti aku pasti akan bertemu dengannya, dan tak bisa kuhindari hal itu,” batinku.
“Tapi jika harus sekarang, aku belum siap!”
“Bumi tolong telan aku, aku ingin menghilang dari sini segera,” batinku.
⚘🍀⚘🍀 To be continue ⚘🍀⚘🍀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
ketemu Gibran lg yak😅asyeeek🏃🏃🏃
2022-07-11
1
🍁ɳιℓα❣️💋🄽🄸🄻🄰-🄰🅁🄰👻ᴸᴷ
yah akhirnya ketemu my gibran
kok aku yg deg2an yahh😊😊
dasar mulut ga sesuai sm hati awal2 aja mengumpat gibran tp balik lg tau ganteng ahh ga jd ngumpat aku🤭🤭
2022-07-06
3
🍁Katrin💃🆂🅾🅿🅰🅴⓪③❣️
Lanjut lg 👍😊
2022-05-11
0