Aku tahu tak ada yang bisa ku kontrol semauku. Seharusnya yang kulakukan adalah mengontrol diriku.
Yang mereka tak sukai adalah diriku, lantas haruskah aku kehilangan diriku yang sebenarnya?
⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘
Ini adalah hari pertamaku berubah menjadi Nana, ini bukan berarti aku tak akan lagi mengakui jika diriku adalah Sherina. Melainkan aku hanya akan mulai membiasakan diriku dengan karakter seorang Nana, karakter yang sengaja kubuat dan bukan dari diriku sendiri.
“Kakak? Ini beneran kakak?”
Begitulah respon Ayah, Bunda, dan Shafiyyah yang kini berusia 6 tahun.
Aku hanya menggeleng, “Aku bosan menjadi gadis cantik. Aku ingin sekali-kali menjadi gadis jelek,” jawabku.
“Percayalah padaku, aku sungguh hanya ingin memahami bagaimana cara kerja dunia. Menjadi sosok yang sempurna dengan wajah cantik, aku sudah pernah dan rasanya semua hal patut ku syukuri. Sekarang aku hanya ingin melihat bagaimana dengan kehidupan gadis jelek,” jelasku menenangkan keluargaku.
Terutama Ayah, entah apa ayah telah tahu atau tidak apa yang terjadi padaku selama ini.
Hingga tibalah aku di depan gedung Al-Fatih Junior High School.
Aku melangkahkan kakiku menuju aula tempat semua murid baru berkumpul, “Apa aku terlambat?” batinku bertanya-tanya saat melihat sudah banyak murid yang berkumpul.
Dua gadis dengan sengaja mencegat langkahku, “Minggir lu!” bentaknya.
“Menghalangi jalan gue aja,” lanjutnya menggerutu.
Saat aku akan pergi, salah seorang dari mereka menghentikanku, “Sherina? Lu Sherina Kanza kan? Ngapain lu dandan seperti ini? Gila... rugi banget wajah cantik lu,” celoteh Elena.
Mereka adalah Soraya dan Elena. Orang yang menyebabkan aku bertindak sejauh ini.
Lalu tiba-tiba saja, “Eh.. Sherina, mulai sekarang lu anggota geng kita. Sekarang lu anggota Cryla. Dan lu tau, peraturan di Cyrla kalau omongan gue adalah keharusan yang wajib lu patuhi. Oke?” desak Soraya.
Sedangkan aku hanya diam membisu. Kulihat Elena sudah siap-siap protes, tapi segera dicegah oleh Soraya saat 3 orang anak laki-laki menghampiri kami.
“Hai Aya, Hai Len,” sapa seseorang yang akhirnya kuketahui bernama Bara.
“Siapa dia? Kacung baru?” tanya pria bernama Kaif.
“Yoi, princess gak bisa tanpa pelayan,” celetuk Soraya.
Soraya dan Elena sukses mempermalukanku di hari pertama aku sebagai Nana.
Dan benar saja sejak saat itu mereka tidak pernah menganggap kehadiranku.
Dugaanku salah, ku pikir dengan menjadi jelek mereka akan berhenti merundungku, namun kenyataannya mereka tak akan pernah berhenti, mungkin hingga aku tak bernyawa lagi barulah semua penderitaan ini usai.
Aku kini bukan lagi Sherina, si cantik dan pintar tapi Sherina si buruk rupa, pelayan Soraya, Elena, dan ditambah lagi Bara dan Kaif.
Yah hanya mereka, karena Faqih, meski tak pernah bicara padaku, tapi dia tak perah menyiksaku seperti yang lainnya.
⚘⚘⚘⚘⚘
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat hingga 3 tahun telah berlalu. Dan aku masih tetap bersembunyi di balik Nana si culun.
Aku mulai merasa nyaman menjadi si culun, orang-orang tidak lagi tertarik pada hidupku yang malang.
Kini kami sudah berhasil naik satu tingkatan lagi dari Junior High School kini menjadi Senior High School.
Masa-masa paling indah kalau yang aku dengar dari cerita orang-orang.
Bunda juga kini mulai kembali membantu Ayah dengan berjualan di kantin sekolah.
Terkadang aku malu pada Bunda, beliau melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Soraya dan yang lainnya memperlakukanku bagai seorang pelayan, mencaciku bagai seorang yang hina.
Hatiku semakin perih tatkala menatap Bunda yang memalingkan wajahnya ketika aku diperlakukan seperti itu.
Ku pikir Bunda akan membelaku, nyatanya Bunda bersikap acuh.
Hanya sekali Bunda pernah menasihatiku, namun kala itu Bunda pikir aku sudah tertidur.
“Bertahanlah Nak, bunda yakin suatu saat mereka yang kini menindasmu akan malu untuk menyapamu kembali,” begitulah nasihat Bunda.
⚘⚘⚘⚘⚘
Hingga suatu hari seorang gadis pindahan dari Negeri Jiran datang. Namanya Naila. Cantik, ramah, meski sedikit Laload (lambat loading) kata kami saat ini, yang sama saja artinya dengan telmi (telat mikir).
Naila adalah putri pemilik bioskop terbesar di Indonesia, dan kenyataan itu yang akhirnya membuat Naila terpaksa ikut bergabung dengan geng yang penuh kepalsuan ini, begitu kata Naila padaku.
Yah, akhirnya aku memiliki teman. Naila teman pertama yang tulus padaku. Naila bak seorang dewi yang datang untuk menolongku.
Sejak kehadiran Naila, aku akhirnya bisa memiliki sedikit kenangan menyenangkan selama 2 tahun sebagai siswi SMA.
Tidak lagi hanya mengerjakan tugas Aya dan Lena saat di kelas tapi kini aku juga punya teman untuk berdiskusi saat mengerjakan tugas.
Tidak lagi berjalan sendiri di belakang Aya dan Lena, tapi kini ada Naila yang turut menemaniku berjalan sembari menggandeng lenganku tanpa malu atau jijik.
Tidak lagi menyediakan makanan sendirian untuk Aya dan yang lainnya saat kami sedang istirahat di kantin, karena Naila dengan senang hati membantuku.
⚘⚘⚘⚘⚘
Suatu hari tanpa sengaja aku mendengar suara aneh dari salah satu bilik toilet. Memang biasanya pada jam-jam seperti ini toilet sedang sepi.
“Faster beb,” racau seorang gadis.
“As you wish baby,” sahut seorang pria.
Lalu terdengar kembali suara aneh, lebih seperti erangan.
Aku mungkin berpenampilan culun, tapi untuk hal seperti itu aku juga sudah bisa menebak apa yang dilakukan orang itu. Hanya saja, siapa mereka aku tak ingin berburuk sangka.
Asik dengan pikiranku, hingga tak ku sadari jika pintu bilik terbuka, lalu keluarlah 2 orang dengan peluh dan raut wajah yang lelah, namun tak menyurutkan senyum mengembang sempurna di wajah keduanya.
Aku mematung di tempatku.
“Eh, cupu sejak kapan lu di situ? Atau jangan-jangan lu dengar lagi? Iya?” bentak Soraya.
Tingkahku yang gugup dan gelagapan membenarkan semua tuduhan Soraya.
“Eh, sini lu!” panggil Bara.
Dengan langkah ragu, aku mendekat ke arah Bara. Satu tangan Bara langsung saja mencengkram kuat lenganku hingga aku meringis kesakitan.
“Lu pasti tahukan apa yang gue dan Aya lakuin di dalam sana,” ucapnya.
Satu tangannya kini mengelus pipiku, membuat tubuhku bergetar ketakutan.
“Jangan sampai hal tadi bocor ke siapapun, paham!” Bentaknya.
Aku mengangguk, sebulir air mata mengalir di pipiku membuat Bara menatap lekat padaku.
"Cantik juga si culun," batinnya.
Tangisanku semakin menjadi ketika tangan Bara dengan lancangnya mengelus pahaku, hingga aku sontak bereaksi mundur beberapa langkah.
Namun aku kalah cepat dan tenaga dari Bara, tak peduli akan tangisanku Bara menarik rambutku hingga aku sedikit memekik, lalu Aya memegangi kedua tanganku.
Hingga tangan Bara sekali lagi dengan lancangnya menggapai pangkal pahaku.
“Awas saja kalau kamu berani melawanku, atau aku tak segan-segan membuatmu menjerit kesakitan,” ucapnya dengan menekan milikku.
Aku segera berlari dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Tak tahu harus berlari kemana dan mengadu pada siapa atas pelecehan Bara. Hingga aku sampai pada taman belakang sekolah, dan menumpahkan semua isi hatiku lewat tangisan.
“Tuhan, apa yang harus ku lakukan untuk mengakhiri ketidak berdayakanku?” Rintihku, berharap bisa mengetuk hati Yang Maha Kuasa dan memberi pertolongan bagiku.
⚘⚘⚘⚘⚘
Hingga pada tahun terakhir masa SMA, seorang Gibran datang dan menambah kekacauan hidupku.
Suatu hari, sekolah sedang dihebohkan oleh berita jika putra pemilik sekolah akan bersekolah di sana mulai hari ini.
Aku menatap pada Naila, bertanya apa yang terjadi hingga pagi ini dirinya lolos dari kata-kata mutiara berisi hinaan untuknya dari Aya.
Hingga jam istirahat tiba, kantin sangat ramai, ku percepat langkahku, berharap semoga kantin yang ramai membawa berkah rejeki yang lebih untuk Bundaku.
“Hai Gibran,” sapa Aya dengan manja.
“Heh, Gibran? Pria mana yang berhasil disapa lebih dulu oleh Aya selain Bara?” Pikirku.
Namun tanpa sengaja kedua netra kami bertemu, netraku dan netra pria bernama Gibran.
“Sherina... makanan gue mana beg*!” bentak Aya mengejutkanku.
Aku mengangguk dan segera berlari menyiapkan makanan untuk Aya dan Lena. Tentu Naila senantiasa membantuku.
Dari Naila, Sherina akhirnya mengetahui jika Gibran pindah ke London 5 tahun yang lalu. Gibran, Bara, dan yang lainnya sudah berteman sejak kecil.
⚘⚘⚘⚘⚘
Sejak kehadiran Gibran, Aya tidak lagi terlihat mendekati Bara secara terang-terangan. Namun hari ini sepertinya nasib buruk sedang mengikuti kemana aku pergi.
Setelah tadi Aya dan Lena mempermalukanku dengan menyuruhku memunguti uang koin di sepanjang koridor kelas, kini aku kembali dihadapkan pada situasi yang sama seperti beberapa bulan lalu.
Aku kembali mendengar suara aneh yang sama dari balik bilik toilet. Seketika tubuhku menegang, tiba-tiba saja tubuhku kaku, aku mengingat kembali kejadian beberapa bulan lalu saat Bara melecehkanku.
Beruntung, seseorang menarikku keluar dari sana, tepat sebelum dua orang yang sedang berbuat dosa menyadari kehadiranku.
Gibran, orang itu adalah Gibran. Dia yang menolongku pergi dari tempat itu, namun tanpa ku sadari Gibran membawaku ke dalam mobilnya, lalu melajukannya entah kemana.
Sedang aku hanya bungkam dan sesekali mengusap pipiku yang dilinangi air mata. Aku bahkan tak sadar ketika Gibran melepas kacamataku, dan mengusap lembut air mataku dengan sapu tangannya.
“Ternyata dugaanku benar, kamu adalah dia. Apa yang terjadi hingga kamu menjadi seperti ini,” batin Gibran saat Ia akhirnya berhasil membuktikan sesuatu yang menjadi tanda tanya besar baginya.
“Ada apa? Kenapa lu menangis seperti ini? Apa lu suka sama pria itu hingga menangisinya seperti ini?” tanya Gibran.
Aku segera menggeleng, menepis semua dugaan Gibran. Lalu mengalirlah ceritaku tentang apa yang dilakukan Bara dan Aya padanya.
“Bangs*t, gue akan menghajarnya,” ucap Gibran dengan emosi.
Semakin emosi ketika aku menghalanginya.
“Oke, gue gak akan meributkan hal itu. Tapi mulai dari sekarang Lu adalah pacar gue, dan gue gak nerima penolakan,” tegas Gibran.
“Sekali lu nolak, gue pastiin hidup lu dan keluarga lu bakalan hancur. Mulai sekarang hanya omongan yang keluar dari mulut gue yang harus lu patuhi. Gue pastiin gak ada lagi orang yang berani ngebully lu,” jelas Gibran sekali lagi.
⚘⚘⚘⚘⚘
Tak bisa menolak, kini kehidupanku bagai keluar dari kandang macan dan masuk ke mulut buaya.
Kehebohan terjadi ketika seantero sekolah melihat seorang Gibran Al-Fatih membuka pintu mobil untuk seorang gadis culun sepertiku.
Di tambah Gibran yang selalu menggenggam tanganku dengan posesifnya.
Kemesraanku dan Gibran membuat berbagai kutukan, hinaan, sumpah serapah untukku dari seluruh siswi di sekolah sudah bisa dipastikan. Namun yang pasti mereka melakukan hal itu di belakangku, tak ada yang cukup berani mengusik kekasih seorang Gibran termasuk Bara, Aya, maupun Elena.
Meski awalnya ragu tapi akhirnya Naila percaya jika Gibran benar-benar serius denganku setelah melihat betapa posesif dan perhatiannya Gibran padaku ketika kami sedang berkumpul di sebuah club malam.
Namun, dibalik semua sikap malaikat yang ditunjukkan Gibran di hadapan orang lain, Gibran tak ubahnya seorang iblis yang menyamar dalam sosok manusia.
Gibran yang tinggal seorang diri di apartemen menjadikanku pembantu di sana.
Jika orang lain memuji Gibran karena perhatiannya yang mengantar-jemput kekasihnya, hal itu palsu. Faktanya aku harus rela berlari dari rumahku ke apartemen Gibran saat langit bahkan masih gelap agar kami tidak terlambat ke sekolah. Semua sarapan dan pakaian disiapkan olehku.
Jika orang lain memuji Gibran karena selalu menemaniku dimanapun, hal itu palsu. Faktanya kakiku yang harus mengikuti kemana langkahnya, mataku hanya boleh menatap padanya, dan waktuku hanya untuknya.
Jika orang lain memuji kesabaran Gibran sebab tak pernah melihatnya marah padaku, percayalah hal ini juga palsu. Faktanya, ketika marah pria itu bahkan bisa menghancurkan seluruh barang-barang di apartemennya saat menuduhku berbohong dan pergi bersama teman pria lain.
Begitulah aku menjalani hubungan palsu ini. Yang terparah adalah ketika malam pesta promnight.
Gibran memaksaku untuk tampil sebagai diriku yang sebenarnya. Sherina yang memiliki paras jelita dengaan bola mata berwarna abu kebiruan.
Penampilanku mengundang kagum semua orang, dan tak sedikit dari teman pria kami mendekatiku, termasuk Bara.
Hal ini mengundang kesempatan bagi Aya untuk memfitnahku pada Gibran dan rencananya berhasil.
Malam itu, di apartemen yang selama 10 bulan ini menjadi rumah keduaku, tempat tawa, tangis, cemburu, bahkan mungkin cinta akan menjadi kenangan yang terjadi di apartemen itu.
Dan saat ini, untuk pertama kalinya Gibran melampiaskan kemarahannya padaku.
Melampiaskan kemarahan yang biasanya Ia luapkan pada benda mati di sekitarnya, kini semua beralih ke tubuhku.
Entah sudah berapa helai rambutku yang rontok karena dijambak olehnya, entah bagaimana bentuk gaun yang sempat mengubahku menjadi cinderella dalam beberapa jam, dan sudah bisa ku pastikan wajahku kini penuh lebam dengan bibir yang mengeluarkan darah di sudutnya.
Itulah yang kudapatkan setelah menjadi sasaran luapan emosi Gibran. Aku sudah memprediksi hal ini mungkin saja terjadi padaku, tapi dengan bodohnya aku bertahan dan berharap suatu saat Gibran akan membuka hatinya untukku.
Sakit di tubuhku memang sakit, tapi hatiku lebih terasa sakit sebab dengan bodohnya hatiku mulai menikmati setiap momen bersama pria iblis seperti Gibran.
Sebelum mataku terpejam sempurna, ku lihat tatapan Gibran yang penuh kebencian padaku.
“Jangan berharap lebih dariku, kau hanyalah kekasih palsu dan ini akibatnya jika melanggar aturanku!”
Bentakan Gibran masih samar-samar ku dengar sebelum akhirnya seluruh pandanganku gelap dan aku tak sadarkan diri.
⚘⚘⚘⚘⚘
Pagi ini aku sadar setelah pingsan semalaman.
Wajah, sudut bibirku, dan beberapa bagian tubuhku yang lain sudah tertutupi plester luka.
Kenyataan pahit jika pagi ini Gibran hanya mengantarku pulang tanpa berucap sepatah katapun. Tanpa penyesalan atau rasa bersalah.
Bagai dunia belum puas tertawa dengan kondisikiu saat ini, baru saja ponselku ku aktifkan dan sebuah pesan mengejutkan yang menyapaku.
Tanpa menghiraukan rasa sakit di tubuhku. Segera aku menuju tempat yang disebutkan di pesan itu yaitu rumah sakit.
Yang kutemui ketika aku tiba di sana, Bundaku dengan tubuh penuh luka, serta ayah dan adikku yang tertutupi kain putih.
Air mataku luruh, hampir saja aku terjatuh jika seorang pria berjas putih tak menolongku.
Pasha, nama yang terasa familiar, sempat kubaca pada name tag yang Ia kenakan.
Aku kehilangan ayah dan adikku untuk selamanya.
Dari Naila akhirnya kuketahui jika malam itu keluargaku hendak mencariku karena tak bisa dihubungi. Dan berakhir mengalami kecelakaan.
“Ini salahku, ini salah Gibran,” pikirku picik.
Lalu fakta lain, saat sadar Bunda mengungkap jika mereka ditabrak, bukan kecelakaan tunggal. Namun kebenaran infromasi dari bunda diragukan oleh pihak berwajib sebab bunda dinyatakan depresi.
Aku merasa semesta menolakku di tempat ini. Aku merasa semua yang ada di tempat ini ingin menjatuhkanku.
Akhirnya aku memilih untuk pergi. Dengan tekad suatu saat nanti mereka yang menolak mendengarkan suaraku saat ini , nanti akan ku pastikan mereka akan mendengarkannya. "Mereka harus," tekadku.
⚘⚘⚘⚘ to be continue ⚘⚘⚘⚘⚘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
@ Teh iim🍒🍒😘
Sherina ini seperti pepatah " Sudah jatuh tertimpa tangga pula " .
Tapi dari pengalaman hidup yg keras akan membentuk Sherina jadi wanita kuat, semua nana.
2022-07-11
0
vania
kirain gibran cowok yg baik meski tempramen tapi dia kalau marah cuma mecahin barang², setelah menyakiti sherin g ada rasa bersalah, fiks gibran punya penyakit psikopat
2022-07-08
1
Megantrow
astaga, kenapa bisa seperti ini😭😭😭😭
2022-07-08
0