Sudah saatnya aku mulai mencintai diriku sendiri.
Benar jika introspeksi diri adalah hal yang baik dan membawa manfaat yang baik.
Hanya jika hal itu dilakukan dengan benar, yaitu dengan tidak menyalahkan diri sendiri.
Diawali dengan berdamai pada diri sendiri,
Dan menjauh dari semua hal yang bisa membuatku kembali terpuruk.
Siapkan dirimu, karena yang sebenarnya diriku akan kembali.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀
# SHERINA POV #
“Sherina Kanza S.Psi”
“Bunda lihat kan? Aku sudah berhasil mencapai anak tangga pertama untuk menggapai mimpiku,” Ucapku dengan senyum ceria dihadapan Bunda.
Dan tanpa kuduga, Bunda membalas senyumanku.
Setelah hampir 4 tahun, atau jika coba dihitung mungkin paling sedikit sekitar 192 kali pertemuanku dengan Bunda, akhirnya hari ini Bunda merespons ucapanku.
Suatu perkembangan yang baik dan makin menambah kebahagiaanku.
Kubawa Bunda ke dalam pelukanku, dan kurasakan kedua tangannya meremas ujung bajuku di kedua sisi.
“Tak apa Bunda, pelan-pelan saja. Bagiku melihat bunda sehat dan bahagia sudah cukup,” ungkapku.
“Tapi bukankah Bunda pernah bilang ingin punya apartemen? Sekarang aku tinggal di sana, meski belum jadi milikku, tapi akan kuusahakan, demi Bunda, jadi cepatlah sembuh,” ujarku.
Dan ini adalah kebenarannya.
Apartemen yang diberikan Harsya dan Rafie sebagai hadiah kelulusan, menurutku itu terlalu mewah. Tak mungkin aku menerimanya begitu saja.
Tapi karena tak ingin mengecewakan keduanya, akhirnya kuputuskan untuk membayar dengan menyicil. Syukurlah mereka setuju.
Kulirik jam di pergelangan tanganku, 30 menit lagi dari waktu yang sudah ku sepakati untuk bertemu dengan seseorang.
“Bunda, maaf hari ini aku harus pulang lebih awal,” aku memiliki janji temu dengan seseorang.
Setelah berpamitan dengan Bunda, Bu Ayu, dan juga pengurus balai yang lainnya, segera kulajukan motor matic warna merah muda yang setahun terakhir ini setia menemaniku selain Harsya dan Rafie.
Ponselku berbunyi, namun demi keselamatan kupilih mengabaikan saja. Kuyakin hanya Harsya atau Rafie yang ingin mengetahui keberadaanku.
Semakin lama keduanya bagai seorang kakak laki-laki yang posesif pada adik perempuannya.
Sudah seminggu Harsya ke Jakarta menemui Rafie. Biasanya, kami bertiga akan pergi bersama di akhir pekan hanya untuk melepas penat, tapi tidak jika tujuan Harsya atau Rafie ke Jakarta. Aku akan menolak untuk ikut.
Dan karena hal itu juga aku akhirnya berani menerima permintaan seseorang untuk bertemu.
“Aku telat 5 menit,” batinku saat motor sudah kuparkirkan dengan baik.
Kulangkahkan kakiku memasuki sebuah kafe, masih pukul 4 sore jadi wajar saja jika kafe ini masih sepi. Sebab para muda mudi sepertiku, sekarang tengah bersiap untuk bermalam minggu.
“Sherina!”
Aku mencari dari mana asalnya suara pria yang setahun ini tak pernah kutemui.
“Pak Sadewa,” balasku ketika netra kami akhirnya bertemu.
Aku sadar jika kini aku tersenyum saat berjalan ke arah mantan dosenku yang berdiri menanti kehadiranku.
“Maaf jika Bapak menunggu lama,” ujarku.
“Santai saja, aku juga baru sampai kok,” balasnya.
Aku hanya mengangguk, dalam hati ingin sekali menyanggah pengakuannya yang kuragukan kebenarannya. Terlebih saat aku melihat gelas minuman di meja sudah kosong.
“Bagaimana kabarmu, Sher?” tanya Pak Sadewa.
“Syukurlah aku baik-baik saja Pak,” jawabku.
“Apa kesibukanmu sekarang?”
“Hemm... Aku baru saja mendaparkan gel.....” Ucapanku disela oleh Pak Sadewa, kebiasaan buruknya yang tak patut dicontoh ini ternyata masih sama.
“Aku tahu jika kamu sudah lulus S1. Maka dari itu aku kembali,” selanya.
“What?” pekikku dalam hati, “Apa yang diinginkan mantan dosenku ini.”
“Apa kamu kini sekarang bekerja?” tanyanya.
“Ya, bekerja di beberapa lembaga kursus,” jawabku jujur.
“Mengapa tidak melanjutkan S2? Bukannya kamu bercita-cita menjadi dosen?”
“Bapak lupa jika untuk kuliah S2 butuh biaya?” sindirku.
Pak Sadewa menanggapinya dengan tertawa. Sejak dulu selalu begini. Pak Sadewa tidak pernah tersinggung dengan ucapanku yang kadang setajam silet.
“Kenapa tak mencoba program beasiswa lagi seperti dulu?” tanyanya.
“Mauku juga seperti itu Pak, tapi sayang jarang ada kampus yang memberikan beasiswa untuk jenjang S2,” jelasku.
“Jarang, bukan berarti tak ada. Benar?”
Aku mengangguk menyetujui ucapannya.
“Hari Senin datanglah ke kampus, kita bicarakan soal beasiswa S2 untukmu. Untuk mengisi kekosongan waktumu, jika bersedia kamu juga bisa menjadi asistenku.”
Apa yang dikatakan Pak Sadewa barusan sangat sulit kupercaya, pasalnya aku beberapa kali menanyakan hal ini namun jawabannya tetap sama, jika tak ada program beasiswa untuk jenjang S2.
“Jika tak yakin, kamu cukup datang dan buktikan sendiri,” lanjutnya seolah beliau tahu apa yang sedang mengganggu dipikiranku.
Meski begitu aku masih bungkam. Kejadian 1,5 tahun silam masih membuatku ragu untuk berurusan kembali dengan Pak Sadewa.
“Atas nama Kiara, aku minta maaf,” ucap Pak Sadewa tiba-tiba.
Aku jadi curiga jika dia memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain.
“Aku sudah memaafkan Bu Kiara,” jujurku.
“Meski begitu, tetap saja aku harus menjelaskan semuanya padamu,” balasnya.
“Perceraianku dengan Kiara tidak ada sangkut pautnya dengan kamu Sherina, jadi jangan pernah merasa sungkan.”
“Pernikahan kami berdua terjadi begitu saja, itu saat kami masih sangat muda, pergaulan bebas membuat kami melakukan kesalahan. Semakin buruk karena kami melakukannya pun dalam keadaan tak sadar, pengaruh minuman, dan bukan karena cinta.”
“Tapi kehadiran Zaskia tidak boleh kami salahkan ataupun sesali, itulah mengapa kami memutuskan untuk bertanggung jawab dengan cara menikah. Namun seberapa keras usaha kami untuk mempertahankan rumah tangga sangat sulit karena tak ada cinta. Aku dan Kiara masing-masing mementingkan ego, mengejar mimpi kami yang sempat tertunda, dan berujung menjadikan Kia sebagai korban akibat perpisahan kami.”
Bisa kulihat jika Pak Sadewa sungguh menyesal karena akhirnya putri kesayangannya harus ikut terluka sebab perpisahan kedua orang tuanya.
“Sudahlah Pak, tak perlu dilanjut ceritanya jika begitu menyakitkan,” ucapku.
“Dan terima kasih karena cerita Bapak, aku bisa bebas dari satu lagi rasa bersalahku,” lanjutku.
⚘🍀 ⚘🍀 ⚘🍀
Semua ucapan Pak Sadewa sore itu benar. Hari ini aku membuktikannya, dan kulihat sudah ada beberapa orang yang juga mendaftar untuk seleksi.
Hanya 3 dari 12 orang yang mendaftar yang dinyatakan lulus, termasuk diriku.
“Terima kasih Ya Tuhan, sekali lagi Engkau menunjukkan kebesaranmu dengan nikmat yang Kau beri untukku,” batinku.
Fakta baru yang kutahu jika ternyata orang tua Pak Sadewa adalah pemilik universitas tempatku kini menimba ilmu.
Meski lulus seleksi beasiswa S2, namun aku masih harus menghadapi 1 ujian lagi. Dan sepertinya ini cukup sulit.
Yaitu mendapat dukungan sahabatku, Harsya.
“Sherin, apa kamu lupa bagaimana istri pria itu mempermalukanmu?” ujar Harsya.
“Tidak... Aku tetap tidak setuju. Jika hanya kuliah S2, aku juga bisa membayar seluruh biayanya. Kamu tak perlu berurusan lagi dengan pria itu,” lanjutnya.
Mataku berkaca-kaca, entah mengapa Aku merasa tersinggung dengan ucapan Harsya.
“Terima kasih, kalian sudah banyak membantuku. Tapi untuk pendidikanku akan kuusahakan sendiri.” Balasku lalu pergi meninggalkan Harsya dan Rafie
Namun berselang seminggu kemudian, Harsya menemuiku dan meminta maaf. Ia akhirnya mendukung dan percaya pada keputusanku.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀
Dua tahun kemudian, berkat dukungan Harysa, Rafie, dan tak bisa kupungkiri Pak Sadewa, akhirnya aku berhasil menyelesaikan pendidikan S2 ku tepat waktu.
Namun ini bukanlah akhir, melainkan awal yang baru, di babak yang juga baru pada kehidupanku.
Sudah 2 bulan berlalu sejak aku meraih gelar Magister Psikologi (M.Psi), namun hingga kini aku belum mendapatkan pekerjaan.
Aku masih wara wiri di beberapa lembaga kursus, sedang untuk universitas tempatku melamar sebagai dosen, menolakku dengan bermacam-macam alasan.
Aku jadi memikirkan ucapan Harsya jika sudah saatnya aku keluar dari persembunyianku.
“Memangnya apa yang salah dengan penampilanku? Yang penting adalah kemampuanku bukan?” gumamku di depan cermin besar yang ada di kamarku.
“Tak ada yang salah Sherin, hanya saja kau harus tahu jika tak semua orang bisa sependapat denganmu,” celetuk Harsya mengejutkanku.
Entah sejak kapan dia di sana, tiba-tiba saja Harsya sudah berdiri di ambang pintu kamarku.
“Sekarang kebanyakan orang menilai orang lain dimulai dari penampilannya,” ujar Harsya.
“Jika penampilan mereka cukup meyakinkan, barulah mereka mulai menilai hal yang lainnya” lanjutnya.
Aku menatap kembali bayangan sosok diriku pada cermin, “Lalu apa yang harus kulakukan?”
Harsya mendekat, pertama Ia melepaskan kacamata besarku, lalu melepas kunciran rambutku hingga kini suraiku yang hitam dan panjang tergerai bebas.
“Lihatlah, hanya begini saja kamu sudah jauh berbeda Rin,” ucap Harsya.
“Jadi bagaimana? Keputusan ada di tanganmu,” lanjutnya.
Aku menarik napas panjang, “Kamu menang Sya... Tolong bantu aku.”
Senyum Harsya merekah sempurna, “Bersiaplah, kita akan segera menyambut the real Sherina.”
Seketika tawa Harsya menggema di seluruh penjuru kamarku.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀
Masa persembunyianku kini telah usai.
Bye Nana si gadis culun.
Welcome back Sherina Kanza.
Kini sudah saatnya langkahku menghentak dunia.
⚘🍀⚘🍀 To be continue ⚘🍀⚘🍀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
Alhamdulillah sembuh jg bunda na, semangat terus yah Nana😅🏃🏃🏃
2022-07-11
1
🍁ɳιℓα❣️💋🄽🄸🄻🄰-🄰🅁🄰👻ᴸᴷ
selamat sherina semuanya tercapai...
alhamdulillah bunda juga udh sembuh...
ga sabar pen lihat si gibran ketemu nana
2022-07-06
2
🍁Katrin💃🆂🅾🅿🅰🅴⓪③❣️
Lanjut lg😊
2022-05-08
0