# Gibran POV #
“Siaaalllll.....”
“Kemana perginya gadis culun itu?”
“Apa sekarang dia sudah berani bersembunyi dariku?”
Aku terus menggerutu, mengumpat dengan segala kata umpatan yang terlintas di benakku.
Kalian tahu, aku teramat sangat geram saat ini.
Bagaimana aku tidak kesal, pasalnya sudah ketiga kalinya sejak 5 jam yang lalu aku menginjakkan kakiku kembali di Indonesia, tapi aku belum juga bisa bertemu dengannya, kekasihku.
Kuralat, kekasih palsuku, Sherina.
Perasaanku saat ini tak bisa kugambarkan hanya dengan satu kata.
Aku marah, kesal, lelah, cemas, menyesal, dan... dan... dan aku merindukannya.
Aku sadar jika apa yang kulakukan malam itu sangat keterlaluan. Tidak seharusnya aku sampai menyakiti fisiknya. Tapi, aku cemburu.
Meski 3 bulan telah berlalu, tapi bayangan malam itu saat Sherina dekat dengan pria lain masih saja membuatku geram.
“Harusnya pria itu yang kubuat sekarat, bukannya malah melampiaskan amarahku pada Sherina,” sesalku.
“Harusnya tak perlu kupaksa Sherina untuk menampilkan wujud aslinya, biarkan saja Sherina tetap berdandan culun, biarlah hanya aku yang tahu dan hanya aku yang boleh menikmati kecantikannya,” sesalku lagi.
Tak ingin cepat berputus asa, segera kulajukan mobilku menuju sekolah. Entah mengapa baru terpikir olehku, bisa saja Sherina saat ini sedang bersama Ibunya di kantin sekolah.
Sepanjang perjalananku menuju ke sekolah, kembali aku mengingat bagaimana kejamnya sikapku padanya malam itu.
Masih terbayang jelas bagaimana wajah cantik itu menjadi lebam bahkan ada bekas luka kecil disudut bibirnya karena ulahku.
Terkadang aku bahkan tiba-tiba bergidik saat membayangkan bola mata abu kebiruan yang dengan berani menantangku malam itu.
Hingga aku yang memang sulit mengontrol tempramenku, menjadi lepas kendali dan berakhir menyakitinya fisiknya.
(Flashback On)
“Gibran, aku cariin kamu dari tadi ternyata kamu malah lagi nyantai di sini,” Ucap Soraya yang selalu saja datang tak dijemput tapi pulang minta diantar. (Mulai Ngawur, maaf 🙏)
Aku hanya mengerutkan alisku, malas sekali rasanya jika aku harus berbasa basi dengan gadis jelangkung ini.
Kuamati gerakan Soraya yang sepertinya ingin menunjukkan padaku sesuatu di ponselnya.
“Kalau lu cuma mau ngefitnah pacar gue lagi, sebaiknya gak perlu,” tegasku, dia pirkir aku tak tahu jika dialah orang yang mengirimkan foto-foto Sherina bersama adik kelas tempo hari.
“Gue ngefitnah si culun? Gak pernah kok, malas banget gue, buang-buang tenaga tau nggak,” sanggahnya.
Aku yang malas mendengar pembelaan Soraya, segera berdiri dan hendak meninggalkannya.
“Lebih baik aku mencari pacarku, dari pada harus mendengar omong kosongmu,” balasku acuh.
“Aku tahu Sherina ada di mana,” ujar Soraya menghentikan langkahku.
“Bara sedang mengikuti Sherina, karena tadi tak sengaja kami melihanya pergi berduaan bersama seorang pria, Nih,” ucapnya seraya menyodorkan ponselnya.
Meski hanya melihat sekilas, tapi netraku bisa menangkap dengan jelas sosok Sherina dan sosok seorang pria.
Dengan langkah lebar dan napas yang memburu, aku berjalan mengikuti langkah Soraya.
Tanganku mengepal ketika aku sampai dan kulihat Bara sedang memisahkan Sherina yang tengah berpelukan dengan seseorang.
Segera aku hampiri ketiganya dan kulayangkan tinjuku tepat di wajah pria brengs*k itu.
Sekali, hanya sekali aku memukul pria brengs*k yang sudah berani mengusik Sherina.
“Tak ada kelembutan lagi untuk gadis tak tahu diri seperti Sherina,” batinku kala itu.
Kubawa dia kembali ke apartemen, dengan paksa kuseret dia masuk ke kamar.
“Hei Bodoh, apa yang sudah kau lakukan hah? “ Aku memakinya.
Air matanya berlinang, namun Ia masih bisa menjawabku.
“Apa yang memangnya telah kulakukan hingga kau sangat marah?” Tanyanya.
“Kau pikir, kau cantik setelah berdandan dan memakai pakaian malah,”
Sherina tak menjawab, Ia memalingkan wajahnya dan membuatku semakin kesal.
Kujambak dengan kasar rambutnya, kupaksa dia menatap wajahku yang memerah karena emosi dan cemburu telah menguasaiku.
“Sekarang jujur padaku, apa dia pria itu?”
“Apa dia pria yang kau sukai hingga menolakku?”
Aku memaksanya mengaku, jika memang benar maka akan ku pastikan pria itu akan mendapat pembalasan dariku.
Sherina masih bungkam, tak menjawab ataupun meminta maaf telah berduaan bersama pria lain di belakangku.
Aku jadi semakin kesal, emosiku memuncak.
Kulayangkan tamparan sekali di wajahnya cantiknya.
Kudengar Ia meringis menahan sakit, dengan satu tangan memegang pipinya.
“Kau iblis Gibran. Apa urusannya denganmu siapa pria yang kusukai hah? Sadarlah, tak seharusnya kau semarah ini karena semua diantara kita itu hanyalah kepalsuan,” ucap Sherina membela dirinya.
Sikap Sherina yang berani membantahku baru pertama kali kutemui.
Malam itu yang dipikiranku hanyalah bagaimana membuat Sherina tak berani macam-macam, dia harus terikat padaku.
Akan kubuat dia takut dan patuh padaku lagi seperti sebelumnya.
“Bagus Sherina, sekarang kau sudah berani membantahku,” geramku.
Dan.... Plak!
Sekali lagi kutampar wajahnya, ku lihat ada seberkas darah disudut bibirnya.
Ku cengkram dagunya dengan keras, “Sampai kapanpun jangan pernah bermimpi kau akan hidup bahagia bersama orang yang kau sukai” ancamku.
Kuhempaskan cengkramanku dari dagu Sherina dengan kasar.
Dengan derai air mata Sherina masih terus berusaha membela dirinya.
“Kau tak pernah percaya padaku, tak pernah mau mendengar penjelasanku,” ujarnya dengan lemah.
“Yang kau tahu hanya menyiksaku saja.” Lirihnya, sebelum tubuhnya ambruk dan Ia akhirnya jatuh pingsan.
“Sherina... Sherina.... Hei... Buka matamu,” pekikku.
Panik, aku panik.
Ku rutuki diriku, apa yang telah kuperbuat hingga gadis ini sampai tak sadarkan diri.
Ku baringkan segera di ranjangku dan menghubungi dokter pribadi keluargaku.
"Syukurlah Nona baik-baik saja, mungkin hanya karena shock dan kelelahan saja hingga Ia pingsan," jelas dokter.
Aku tahu, dokter itu pasti telah menyadari jika aku menyiksa Sherina. Tapi mana berani dia menyalahkanku, sedang karirnya ada ditangan pamanku.
Aku tertawa, “Pingsan karena kelelahan,” ulangku setelah dokter itu pergi.
Aku tak ingin membayangkan, bagaimana jika betul Ia lelah dan akhirnya memilih pergi.
“Aku menyesal, maafkan aku Sherina.”
⚘⚘
Akhirnya Sherina kembali membuka matanya setelah 6 jam dia tak sadarkan diri.
Baru saja aku hendak menghampirinya, namun getaran di ponselku membuat aku mengurungkan niatku.
“Halo Ma,” jawabku menerima panggilan telepon Mama.
“....................”
“Apa? Baiklah.... Aku akan langsung ke Bandara sekarang,” ucapku lalu memutus sambungan telepon.
Mendengar berita jika Kakekku, satu-satunya orang yang selalu mendukungku, saat ini sedang dalam kondisi kritis membuatku panik.
Hampir saja aku melupakan Sherina yang masih berada di dalam kamar. Segera aku kembali ke kamar, ku lihat dia duduk ditepi ranjang dengan memijit kepalanya.
“Kau sudah sadar? Bersiapah dengan cepat. Aku akan mengantarmu pulang, ada hal penting yang harus ku lakukan,” titahku.
Aku memakai jaketku, mengambil paspor dan beberapa lembar jenis mata uang poundsterling untuk kugunakan di London.
Ku berikan sweterku untuk menutupi lengan dan punggungnya yang tak tertutupi oleh gaun.
Semua dilakukan Sherina dalam diam. Ia bungkam bagai seseorang yang bisu.
Ingin sekali aku menjelaskan semuanya pada Sherina, memohon maaf atas sikap kasarku semalam.
Tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat.
Aku hanya bisa melihat Sherina yang masuk ke halaman rumah kontrakannya, hingga menghilang dibalik pintu tanpa ada sepatah kata yang terucap dari bibir kami berdua.
Biarkanlah dulu Ia menenangkan dirinya selagi aku pergi. Saat kembali aku akan meminta maaf dan berusaha memperbaiki hubungan kami.
Seandainya bisa, aku ingin agar tak ada lagi kepalsuan di hubungan kami, harapku.
(Flash Back Off)
⚘⚘⚘⚘⚘
BRAAAKKKKK !
Aku menutup kasar pintu mobilku.
Tak kutemukan sosok Ibu Yasmin apalagi Sherina di kantin. Yang ada hanyalah berita duka yang kuterima.
Menurut pihak sekolah, Pak Effendi atau Ayah Sherina telah berpulang ke Rahmatullah.
“Sherina...... Aaarrrrghhhhh,” geramku.
Meski turut berduka, tapi entah mengapa kekesalanku semakin bertambah pada gadis itu.
“Apa aku tak sepenting itu untuknya hingga hal penting seperti kepergian Ayahnya, dia tak mengabariku sama sekali?”
“Apa sedikit saja dia pernah menganggap kehadiranku?” batinku.
Harapan terakhirku, Naila.
Meski aku masih malas untuk bertemu dengan teman-temanku dalam suasana hati seperti ini, tapi hanya ini kesempatanku untuk mencari tahu di mana gadis itu bersembunyi dariku.
Semua yang ada di sana menyambutku, terkecuali Naila.
Aku semakin yakin, jika gadis yang merupakan kekasih Faqih mengetahui dimana keberadaan Sherina. Bahkan mungkin Ia tahu apa yang terjadi malam itu.
“Nai, gue mau ngomong bentar,” pintaku.
Tapi gadis itu dengan berani mengacuhkanku, “Si*l.”
“Nai, sayang, kamu diajakin ngobrol ma Gibran tuh,” ucap Faqih menengahi.
“Ngomong aja disini,” ketusnya.
“Gue perlu ngomong berdua, ikut gue,” akhirnya akupun menjadi tak ramah padanya.
Aku berdiri mengambil jarak dari meja yang ditempati oleh teman-teman kami.
Sepertinya Faqih berhasil membujuknya hingga gadis itu akhirnya menyusulku.
“Di mana Sherina?” tanyaku tanpa basa basi.
“Memangnya lu siapa? Gue gak merasa wajib ngasih tau ke lu di mana Sherina,” balasnya tetap ketus.
“NAI!” bentakku.
Dari ujung mataku, kulihat Faqih berjalan perlahan menghampiri kami setelah mendengar aku membentak kekasihnya.
“Tolong, selagi gue masih bertanya baik-baik,” ulangku sekali lagi.
“Sekalipun lu mau bunuh gue, gue gak takut. Sampai matipun gue gak akan ngasih tau Sherina di mana pada laki-laki iblis seperti lu,” ujarnya dengan berapi-api.
“Brengs*k,” bentakku.
Aku memukul meja kaca di hadapanku hingga pecahannya berhamburan. Faqih segera menghampiri kami dan melindungi Naila di balik punggungnya.
“Bro, santai dong,” ujarnya.
“Lu kalau ada masalah ma cewek lu, gak seharusnya lu lampiasin ke cewek gue,” tegas Faqih.
“Cewek Lu yang gak mau ngasih tau di mana Sherina sembunyi dari gue,” balasku.
Sebelum Faqih menjawab, ternyata Naila lebih dulu menyahut.
“Harusnya lu sadar diri, kenapa Sherina pergi ninggalin lu,” cibirnya.
Dan kalimat itu sukses menyentil hatiku yang sekeras batu.
Tanpa mengatakan apapun aku pergi dari tempat itu.
Penyesalanku selama ini sia-sia saja. Sherina sama sekali tak pernah mau melihat kebaikan yang kulakukan.
Di matanya aku tak ubahnya adalah iblis yang jahat, dan tak ada artinya sama sekali.
Segera ku hubungi Mama yang masih berada di London, “Ma, aku akan kembali ke London. Aku setuju untuk kuliah di sana.”
Sepertinya lebih baik seperti ini, penyesalanku saja kini berubah jadi dendam. Semoga perasaanku padanya juga akan segera berubah menjadi kebencian.
⚘⚘⚘⚘ to be continue ⚘⚘⚘⚘
Selamat menjalankan Ibadah Puasa 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
zhA_ yUy𝓪∆𝚛z
gak tau diri banget sih kamu jadi cowok... udah nyakitin cewek sampe gitu juga...malah dendam..
yang harusnya dendam itu sherina..deuh....
2022-07-26
1
zhA_ yUy𝓪∆𝚛z
bagus deh kalo sadar...
2022-07-26
1
zhA_ yUy𝓪∆𝚛z
👍👍👍👍👍
2022-07-26
1