Saat aku butuh waktu sendiri, namun bukan berarti aku menginginkan kesepian.
Aku hanya ingin berlari menjauh, lalu duduk bertemankan sepi, bukan karena menginginkan kesepian, hanya ingin mendengar dengan jelas apa yang hatiku suarakan.
Ketika aku merasa kecewa pada seseorang, terlebih jika dia adalah seseorang yang selalu ada menghiburku dan tak pernah mengeluh.
Haruskah aku mencoba mengubah mereka?
Atau aku yang mengubah pandangan hidupku dan mencoba ikhlas?
Apa yang harus kupilih untuk menjadi sahabat yang baik?
⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀⚘🍀
# Sherina POV #
“Sepertinya hanya aku yang menganggapmu sahabat, sementara kamu tidak,” batinku.
Entah mengapa rasanya aku sangat marah pada Harsya, aku seperti telah tertipu dengan kebohongannya.
Ralat, aku bukan tertipu dengan kebohongannya.
Tapi aku kecewa pada diriku sendiri.
Aku kecewa karena dengan mudahnya kembali menaruh kepercayaan pada seseorang.
Beruntung Tuhan menunjukkan semua kebenaran ini lebih cepat. Sebelum aku kembali menjadikan Harsya sebagai tempatku berlindung.
Sama seperti aku yang dulu menjadikan Gibran tempat teraman bagiku.
Mengingat Gibran membuat kekesalanku semakin naik di ubun-ubun. Bahkan keadaan malam ini tak asing, hanya saja malam ini aku bukanlah Cinderella, aku tetap si upik abu.
Netraku menatap tajam pada segerombolan mahasiswi yang berkumpul di sekitar Harsya.
Aku yang datang bertujuan hanya untuk mengisi absensi saja, segera melaksanakan niatku untuk kembali ke kampus secepat mungkin.
Aku berjalan keluar dari ballroom hotel bintang 5 tempat berlangsungnya pesta penyambutan malam itu.
Tadi aku sempat melihat Harsya yang tersenyum padaku, sempat pula kulihat bibirnya bergerak-gerak, entah apa yang ingin dikatakannya.
Yang pasti aku ingin secepat mungkin bisa meninggalkan ballroom ini.
Aku melangkah dengan lemah, tak bersemangat rasanya. Kenangan kejadian malam itu bersama Gibran seolah berputar kembali di ingatanku.
Baru saja aku kembali teringat kenangan bagaimana aku menangis meminta ampun pada Gibran malam itu.
Lalu ada satu hal yang baru kusadari, sejak tadi belum ada setetes air mata yang berlinang di pipiku.
"Apa ini? Bukankah aku juga kecewa pada Harsya, tapi mengapa aku menjadi kesalnya karena Gibran, bukan karena Harsya," batinku merasa aneh.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀
Aku berdiri di depan Lobby, menghela napasku memikrkan ongkos taksi yang sudah pasti akan menguras uang tabunganku, “Huhh.... Gajian aja belum, tapi tabunganku semakin minus terus,” lirihku.
Sebenarnya untuk pulang dengan angkutan umum bisa saja kulakukan, tapi dengan penampilan seheboh ini, sepertinya bukan hanya menarik perhatian orang tapi bisa-bisa menarik perhatian orang jahat.
Sherina bergidik ngeri membayangkan hal itu, lebih baik kehabisan uang pikirnya dari pada mengundang orang lain berbuat jahat.
Tin... Tin... Tin...
Jika orang-orang di sekitar Sherina merasa terganggu dengan suara klakson yang berasal dari sebuah mobil mewah berwarna merah, tapi tidak dengan Sherina. Gadis itu masih terus sibuk dengan pikirannya.
“Mbak, permisi.... sepertinya Mbak yang dipanggil deh,” ucap seseorang yang berdiri di sampingku.
Kuikuti ke mana jemari orang itu mengarah, namun penglihatanku masih samar-samar.
Kaca mata besar ini sungguh tak membantu, pikirku.
Aku hanya mengedikkan bahuku saat ku lihat mobil merah itu terpaksa semakin menjauh karena suara klakson dari mobiln lain yang mengantre di belakangnya.
Aku masih sibuk dengan ponselku membandingkan penawaran promo dari beberapa aplikasi taksi Online agar biaya yang kukeluarkan lebih hemat, hingga tak kusadari jika seorang pria dengan setelan hitam yang rapi berdiri di hadapanku.
“Ekhheemmmm,” pria itu berdeham.
Ku pikir mungkin hanya seseorang yang kuhalangi jalannya. Jadi tanpa mengalihkan pandanganku dari benda pipih yang kini kugenggam, aku hanya bergeser sedikit saja memberi jalan.
“Hei, nona cleaning service,” ucapnya.
Menyadari jika cleaning service adalah salah satu profesiku, maka tanpa dikomando aku akhirnya mengalihkan pandanganku padanya.
“Sepertinya aku pernah melihatnya,” batinku.
“Apa kamu tidak mengenaliku?” tanyanya seperti bisa membaca pikiranku.
“Aku pemilik mobil merah yang pernah diselidiki oleh teman anehmu,” lanjutnya.
Akhirnya aku ingat, benar.... dia adalah pria pemilik mobil merah dan juga pria yang pernah melihatku menari balet asal-asalan di koridor kampus.
“Sepertinya kamu mau pulang? Ayo kuantar,” tawarnya.
Aku menggeleng, tentu saja aku menolak.
“Terima kasih Tuan, tapi saya sudah memesan taksi online,” tolakku.
“Kamu yakin? Maaf, tapi dari yang kulihat belum ada taksi online yang kamu pesan,” balasnya.
Blush... Sepertinya wajahku kini sudah dipastikan memerah karena malu.
“Aku ketahuan berbohong!” Batinku.
“Ya udah, ayo ikut sama saya saja,” tawarnya sekali lagi.
Aku kembali memutar otak cerdasku, “Tidak perlu Tuan, saya tak ingin merepotkan Tuan. Arah kita sepertinya berbeda,” tolakku lagi.
Kulihat pria itu menghela napasnya, semoga saja dia tidak tersinggung dengan penolakanku.
“Bukankah kamu tinggal di kampus? Saya juga kebetulan ingin ke sana, ada beberapa file yang harus kuambil,” ucapnya.
Belum sempat aku menjawab, pria itu kembali melanjutkan ucapannya, “Ohhh, Aku tahu, kamu pasti ingin pulang bersamanya yah?” tanyanya sambil menatap pada pria dan kerumunan sekelompok wanita yang mengikutinya.
Aku ikut melihat ke arah pandangannya, “Harsya, yah itu pasti Harsya,” batinku.
Sebelum Harsya lolos dari kerumunan wanita itu, aku dengan tak tahu malunya segera menarik tangan pria yang bahkan belum kuketahui namanya, “Terima kasih atas kemurahan hati Anda Tuan. Aku menerima tawaran Anda, ayo kita jalan sekarang,” ucapku.
Samar-samar kudengar suara Harsya memanggil namaku dari kejauhan, namun aku sengaja mengabaikannya.
Mobil merah ini mulai melaju, meninggalkan Harsya yang terus menatap kepergian mobil ini.
“Kalian bertengkar?” tanyanya setelah hampir 5 menit dalam keheningan, pria tadi akhirnya membuka suara.
“Kalian siapa?” tanyaku kembali.
“Kamu dan kekasihmu,” jawabnya.
Keningku mengernyit, kekasih saja aku tak punya lalu bagaimana aku bisa bertengkar.
“Dia bukan kekasihku,” sanggahku.
Kulihat dia mengangguk,” Hemm.... nama saya Sadewa. Kamu Sherina kan?” ucapnya.
“Tuan tahu nama saya dari mana?” tanyaku.
Dalam hati aku merutuki dirinya yang tadi memanggilku dengan sebutan 'Nona Cleaning Service'.
“Tentu saja aku harus tahu nama-nama mahasiswaku,” jawabnya.
“Ma..ma... maksudnya Tuan ini dosenku?” Tanyaku masih tak percaya.
Pria yang mengaku bernama Sadewa akhirnya mengangguk “Maka dari itu berhentilah memanggilku Tuan, aku bukan majikanmu. Panggil saja Dewa,” lanjutnya.
Aku mengangguk patuh, “Baik Pak Dewa, dan maaf karena saya tak mengenali Anda,” imbuhku.
Pak Dewa berdeham dan kalimat itu adalah pembicaraan terakhir kami, aku yang terus menunduk dalam diam, sedangkan Pak Dewa yang terus fokus dengan kemudinya.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀
Baru saja aku selesai membersihkan tubuhku, dan hendak menutup mata, namun suara gedoran di pintu mengusik ketenanganku.
Tok... Tok... Tok...
Suara gedoran di pintu terdengar tak bersahabat.
“Sherin... Buka pintunya! Kita harus bicara,” teriak pelaku yang tak lain adalah Harsya.
“Pergi! Aku gak mau punya teman yang tak jujur,” balasku.
“Sherin... Kalau kamu memang menganggap aku temanmu, harusnya kamu mau mendengar penjelasanku,” teriak Harsya lagi dari luar.
Sebenarnya aku juga membenarkan ucapan Harsya, tapi aku masih trauma dengan kejadian malam itu bersama Gibran.
Hingga suara pria lain terdengar, “Hei, ngapain kamu di situ?” tegurnya.
Dan kutahu itu adalah suara Pak Dewa.
Entah apa yang keduanya bicarakan hingga tak lama pintu gudang kembali diketuk sekali.
“Istirahatlah, dia sudah pergi.”
“Itu suara Pak Dewa,” batinku.
“Terima kasih Pak,” balasku tanpa membuka pintu.
Malam ini aku benar-benar sulit untuk kembali memejamkan mata.
Aku kembali memikirkan betapa bodohnya aku yang tertipu lagi dengan pria seperti Harsya.
Tertipu? Apa benar Harsya menipuku?
Kembali kuingat-ingat, jika akulah yang tak pernah bertanya pada Harsya tentang dirinya.
“Apa aku sudah salah karena marah pada Harsya?” Batinku mulai ragu.
⚘🍀⚘🍀⚘🍀
Seminggu berlalu tanpa kehadiran Harsya.
Sepi.
Hari-hariku kembali sepi.
Biasanya ada Harsya yang selalu muncul tiba-tiba tanpa permisi.
Biasanya ada Harsya yang selalu saja mengeluh lelah meski tak melakukan apa pun.
Biasanya ada Harsya yang selalu membuatku tertawa dengan leluconnya.
Biasanya ada Harsya yang selalu mengantarku pulang dari resto cepat saji tempatku bekerja.
“Aku kehilangan sosok Harsya!” batinku.
Pernah sekali aku iseng bertanya pada Bosku mengenai Harsya, namun beliau juga sama denganku sudah seminggu tak bertemu dengan pria itu.
“Sepertinya aku sudah berlebihan, harusnya aku mendengar dulu penjelasan Harsya malam itu,” rutukku dalam hati.
Aku semakin menyesali diriku yang tak pernah menanyakan apa pun mengenai Harsya.
“Teman macam apa aku ini, bahkan di mana rumah Harsya pun aku tak tahu,” rutukku kembali.
Meski kini aku menyesali sikap kekanakanku, tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu Harsya yang kembali menemuiku.
“Ya Tuhan, semoga Engkau bisa kembali membuka jalan agar aku dan Harsya bisa bertemu kembali,” batinku berdoa.
Rasanya tak nyaman jika akhirnya aku harus kehilangan sosok teman baik seperti Harsya.
Yah, benar teman baik.
Karena masalah ini juga aku akhirnya semakin menyadari bagaimana perasaanku yang sebenarnya.
“Si*lnya, Aku masih mencintai Gibran!” batinku menangis menyadari hal itu.
Aku memang kehilangan Harsya, aku memang kesepian kehilangan Harsya.
Tapi kekecewaanku pada Gibranlah yang rasanya sudah membekukan hatiku.
“Semoga hatiku segera mencair, bersamaan dengan hilangnya rasa cintaku pada pria brengs*k seperti Gibran.” Batinku.
⚘🍀⚘🍀 To Be Continue ⚘🍀⚘🍀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
🍁ɳιℓα❣️💋🄽🄸🄻🄰-🄰🅁🄰👻ᴸᴷ
ya ampun gimana yah kalo udh bawa2 hati gak bisa dibohongi mau kasarpun namanya pernah cinta yah susah hilang hemk bucin uakk
2022-07-06
3
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
terlalu cinta dengan makhluk tuh gak guna, percuma euy, ntar mati jg, ato nyakitin klo idup..hmt😑😑
2022-07-06
0
Fenti
semangat thor 💪, Mentari mampir lagi 😊😊
2022-06-19
2