Ketika dipaksa untuk diam.
Ketika dituntut untuk menerima bahwa kita berbuat salah.
Ketika diminta untuk mengucapkan selamat tinggal meski masih ingin mencoba.
Jangan menyerah.
Cukup ingatlah wajah-wajah orang tersayang yang akan selalu mengingatkan jika menyerah bukanlah sebuah pilihan.
⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘
# Sherina POV #
Yogyakarta…..
Sewaktu kecil aku pernah mendengar sebutan Yogyakarta sebagai kota pelajar. Sempat aku bertanya-tanya, mengapa bukan kota lain? Mengapa harus Yogyakarta?
Saat itu aku masih sangat kecil untuk mengetahui jika jawabannya bisa dengan mudah kutemukan di Internet, jadi dari beberapa buku yang kubaca di perpustakaan sekolah akhirnya aku menyimpulkan jika ada beberapa alasan mengapa Yogyakarta disebut kota pelajar.
Yang pertama mungkin karena Yogyakarta memiliki kampus terbanyak di Indonesia, sekitar 60 kampus. Jadi jangan heran jika antara satu kampus dan kampus yang lainnya jaraknya berdekatan.
Kedua, sebagian besar kampus di sana juga sudah terkareditasi sehingga tak perlu lagi diragukan kualitas dan fasilitas yang di
tawarkan.
Ketiga, banyak mahasiswa lulusan dari kampus yang ada di Yogyakarta yang sukses berkarir di perusahaan besar, di instansi pemerintah, menjadi pengusaha, bahkan bekerja di luar negeri.
Alasan keempat berkaitan dengan alasan sebelumnya. Banyaknya mahasiswa yang sukses menarik minat pelajar, baik dari dalam maupun luar Yogyakarta. Terlebih biaya hidup di Kota ini juga cukup terjangkau, sangat pas untuk pelajar yang masih menimba ilmu. Dan untuk alasan terakhir kurasa juga sangat sesuai dengan kondisiku saat ini.
⚘⚘⚘
Meski berat, tapi akhirnya Bibi Wita mengizinkanku membawa serta Bunda untuk ikut denganku ke Yogyakarta.
Selama sebulan tinggal bersama Bibi, aku banyak menemukan kesamaan antara Ayah dan Bibi salah satunya adalah kecintaan keduanya pada cabe rawit, semua makanan yang masuk kemulutnya harus didampingi oleh cabe rawit.
mengingat itu membuatku jadi merindukan Ayah.
Sudah 2 jam perjalanan berlalu, aku melirik ke Bunda yang duduk di sisiku, Bunda terlihat sangat tenang dan normal ketika sedang tidur.
Benar kata Bibi, kecantikan Bunda tak berubah meski dalam kondisi seperti saat ini. Namun belum 5 menit aku menyelesaikan ucapanku, Bunda tiba-tiba saja bangun dan berteriak histeris, membuat penumpang yang lain panik.
Pak Sopir terpaksa menghentikan laju kendaraannya, dan membantu beberapa penumpang untuk turun karena Bunda semakin tak terkendali.
“Kami ditabrak Sherina… Ditabrak,” Itulah yang terus Bunda teriakkan.
Aku memeluk erat Bunda, aku bahkan sudah terisak karena kali ini Bunda tak hentinya berhenti histeris.
Hingga ada mobil lain yang menepi berniat menolong kami. Dari dalam mobil aku melihat Pak Sopir berbicara dengan seorang wanita paruh baya, lalu wanita itu ikut masuk kedalam mobil.
“Permisi Nak, maaf aku mengganggumu,” ucap wanita itu.
“Perkenalkan, namaku Bu Ayu, aku bekerja di dinas sosial pada sebuah pusat rehabilitasi,” Lanjutnya.
Mendengar jika Bu Ayu bekerja di Dinas Sosial, secara naluriah aku mengeratkan pelukanku pada Bunda. Aku hanya khawatir Bu Ayu memisahkanku dengan Bunda.
“Boleh Ibu tahu, namamu siapa? Dan apa Nyonya ini adalah Ibumu?” tanyanya.
“Namaku Sherina, dan benar beliau adalah Bundaku, ada apa yah Bu?”
“Aku ingin menawarkan bantuan padamu, kata Pak Sopir tujuanmu ke Yogyakarta? Kebetulan tujuan kita sama, maukah kamu ikut dengan mobilku?” tawarnya.
Namun tak segera kusetujui, aku ingat sempat membaca akhir-akhir ini banyak modus kejahatan dengan cara menawarkan bantuan dulu, terlebih untuk gadis remaja sepertiku.
Mungkin Bu Ayu mengetahui apa yang kupikirkan, Ia lalu memberiku kartu nama miliknya. Dikartu nama itu tertera nama Bu Ayu dengan jabatan sebagai pimpinan sebuah Pusat Rehabilitasi.
“Sherina, aku sangat menghargai sikapmu yang penuh pertimbangan, namun tolong pikirkan
kenyamanan Bundamu jika harus menempuh perjalanan dengan banyak orang yang baru
ditemuinya. Juga pikirkan penumpang yang lainnya, mungkin saja mereka ada
keperluan yang mendesak dan terburu-buru,” ucap Bu Ayu.
Kupandangi wajah penumpang yang kini berdiri ditepi jalan, hanya 1-2 orang yang memasang raut wajah iba pada kami sedangkan yang lainnya terlihat tak bersahabat, aku jadi
mempertimbangkan ucapan Bu Ayu.
“Baiklah Bu, terimakasih Bu Ayu sudah mau menolong kami dan maaf jika Ibu sempat tersinggung karena sikapku tadi,” ucapku.
Bu Ayu membalasku dengan senyuman, lalu beliau turut membantuku memindahkan barang-barangku.
Kini Aku, Bunda, dan Bu Ayu kembali melanjutkan perjalanan kami yang masih membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam lagi.
“Sherina, bolehkah Ibu bertanya apa tujuanmu ke Yogyakarta?” tanya Bu Ayu.
“Aku baru saja lulus SMA Bu, dan berniat untuk mendaftar kuliah di salah satu kampus di
Yogyakarta,” jawabku.
“Sudah ada kampus yang kamu pilih? Keluargamu di sana tinggal di mana?”
Kali ini aku tak langsung menjawab, aku hanya menggeleng saja.
“Maksudmu? Apa kamu tak punya tujuan? Tak ada keluarga juga di sana?” tanya Bu Ayu memastikan.
Aku melihat raut wajah tak percaya di sana.
“Bu, keluargaku baru saja mengalami kecelakaan. Dan bundaku adalah salah satu korban yang selamat sedang ayah dan adikku telah tiada,” Ucapku.
“Aku ke Yogya dengan harapan agar bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah, sama seperti saat aku sekolah dulu di Jakarta,” lanjutku.
Bu Ayu bungkam, ku lihat dia sedang sibuk dengan ponselnya lalu menghubungi seseorang.
Tak lama Ia kembali berbalik dan tersenyum padaku, “Sherina, sepertinya kamu anak yang beruntung,” ucapnya dengan bersemangat.
“Kau tahu, Ibu baru saja menghubungi salah satu rekan Ibu yang berprofesi sebagai dosen. Menurutnya sudah sangat terlambat jika ingin mendaftar perkuliahan sekarang. Tapi khusus
untuk perkuliahan dengan program beasiswa, tesnya baru akan diadakan besok,”
“Rekanku itu berjanji akan membantumu agar bisa mendaftar hari ini,” lanjut Bu Ayu membuatku lega dan akhirnya bisa membalas Bu Ayu dengan senyuman.
⚘⚘⚘
Bertemu dengan Bu Ayu bagai sebuah keajaiban. Jika kupikirkan kembali, ternyata ada hikmah di balik kejadian Bunda yang histeris di perjalanan tadi. Kami jadi bertemu dengan Bu Ayu yang membantuku dengan banyak hal.
Setelah tadi tiba di Pusat rehabilitasi tempat Bu Ayu bekerja, beliau menunjukkan padaku ditempat seperti apa dia bekerja.
Di sana aku menemukan beberapa orang yang juga mengalami depresi seperti Bunda, ada beberapa dokter dan perawat.
Sebenarnya hampir sama dengan Rumah sakit jiwa, hanya saja tempat ini lebih diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki masalah ekonomi sehingga tak bisa memeriksakan diri
ke dokter.
Setelah menimbang-nimbang banyak hal, pada akhirnya aku setuju dengan usul Bu Ayu. Aku akan meninggalkan Bunda disini, Bunda tak
sendiri karena ada dokter dan perawat yang mengawasinya.
Setelah berpamitan dengan Bunda, aku segera menaiki ojek online untuk menuju ke kampus yang disarankan oleh Bu Ayu.
Hanya 30 menit perjalanan dan aku sudah tiba digerbang kampus. Kulangkahkan kakiku untuk menemui seorang dosen yang Namanya tertera di sepucuk kertas yang berikan oleh Bu Ayu.
Setela selesai dengan pendaftaran, aku memutuskan untuk berkeliling ke sekitar kampus mecari tempat untuk tinggal semalam saja karena besok, namun sayang tak ada lagi yang kosong.
Lelah berkeliling, perutku berbunyi meminta untuk segera diberi asupan makanan. Kulihat
banyak sekali warung makan yang ada di sekitar kampus.
Kumasuki satu per satu, mengamati dengan seksama daftar harga yang tertera. Tak terhitung sudah berapa banyak tatapan jijik yang ku terima dari mahasiswa yang sedang menikmati makanan mereka.
Barulah di warung yang ke-4 aku menemukan harga yang sesuai. Menu makanan dengan harga termurah dari sekian banyak menu yang ada dari ke-4 warung telah aku kunjungi.
Setelah memesan, aku duduk di salah satu meja yang ada di pojok ruangan. Tak lama Si Mbok
pemilik warung menyusulku membawa sepiring nasi dengan lauk sayur, tempe goreng, dan telur ceplok.
“Selamat menikmati Nona,” ucapnya.
Aku yang sedang menikmati makan siangku, merasa sedikit risih saat warung semakin ramai
pengunjung. Semua meja sudah penuh, bahkan mereka duduk berhimpit-himpitan. Tapi tidak dengan meja tempatku makan, hanya aku yang duduk di sana.
“Sepertinya mereka tak sudih duduk bersamaku,” batinku.
Kupercepat makanku, namun tetap saja tatapan tajam dari mahasiswa yang menunggu, membuatku tak bisa mencerna dengan baik makananku.
Dengan berat hati, akhirnya aku menyudahi makan siangku, “Sayang sekali makanan itu akan terbuang,” batinku.
Saat hendak keluar, beberapa orang memilih untuk menghindariku, namun beberapa yang lainnya malah dengan sengaja menghalangi
jalanku hanya untuk menghina dan memaki,
“Kalau sudah culun, culun saja, jangan
lelet juga dong,” begitu katanya.
Meski merasa aku tak melakukan kesalahan, namun aku hanya bungkam. Tak ada gunanya aku melawan, sama saja dengan melompat ke jurang karena aku sangat yakin jika melawan maka tak akan ada yang membelaku.
Satu masalah selesai.
Kini dimana aku akan tidur malam ini menjadi hal yang kupikirkan saat
ini.
Netraku memindai area sekitar warung, lalu melihat sekumpulan anak-anak
yang memakai mukenah dan baju koko, sepertinya mereka hendak ke masjid.
Masjid? Ya, itu
adalah jawabannya. Terimakasih Tuhan sudah memberiku pertolongan, pikirku.
Aku mengikuti
sekumpulan anak-anak tadi, dan sungguh beruntung karena ternyata masjid hanya
berjarak 100 meter dari kampus.
Aku meminta izin
pada seorang Pak Ustadz, dan baik sekali dia mengizinkanku untuk menginap di
ruang penyimanan inventaris masjid.
Tak terasa malam
tiba, setelah ikut Shalat Isya berjamaah aku memilih untuk tetap tinggal di teras masjid dan mempelajari beberapa bukubuntuk persiapan tes besok karena ruang yang akan ku tempati tidur tak memiliki lampu untuk penerangan.
Rasa kantuk mulai menyerangku, mungkin karena hari ini cukup melelahkan bagiku. Aku memutuskan untuk tidur walau belum semua buku selesai ku baca.
Gelap, yang ada hanya sedikit bias cahaya lampu dari sela-sela pintu kayu yang menutup ruangan ini. Mungkin besok tubuhku akan dipenuhi bintik kemerahan karena gigitan
nyamuk.
Dan untuk pertama kalinya aku harus tidur beralaskan kardus bekas yang
ku alasi dengan kain.
Meski berat, namun aku yakin bisa melewatinya. Aku harus bisa, demi Bunda, demi Bibi, dan
demi Ayah dan Fiyyah. Masih banyak orang baik didunia ini, aku menemui beberapa diantaranya hari ini.
Berada dikondisi seperti malam ini, meski sulit tapi sakitnya belum bisa menyamai hancurnya
hatiku ketika aku harus kehilangan ayah dan fiyyah. Sakitnya belum bisa menyamai perihnya luka yang ditorehkan oleh Gibran saat Ia menyiksaku malam itu.
Aku menyesal telah mengingat Gibran, alhasil malam ini air mataku terus berlinang dan paginya aku terbangun dengan mata yang bengkak.
⚘⚘⚘⚘ To be continue ⚘⚘⚘⚘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
vania
kamu pasti bisa melalui ini semua sherin
2022-07-08
1
🍁𝐀𝐑𝐀❣️💋🅚🅙🅢👻ᴸᴷ
sabar ya serina masih ada orang baik yang mau menolongmu...
2022-07-07
2
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻🍾⃝ͩʟᷞᴀᷴʟᷡᴀᷲɴιиɑ͜͡✦
disetiap ada kesulitan pasti ada kemudahan
2022-07-07
1