Beberapa hari setelah itu aku kembali mengajar Andra, saat aku masuk ke rumah itu sebenarnya aku berpapasan dengan Alex tapi, karena aku terlalu kesal padanya jadi aku mengabaikan keberadaannya di tempat itu.
“Andra, kamu salah menggunakan rumus, harusnya kamu menggunakan rumus ini, lalu kalau memang terlalu susah untuk di ingat kamu bisa menggunakan cara yang lebih mudah untuk mendapatkan jawaban cepat, gunakan rumus cepat ini akan mempermudah kamu saat menjawab di ujian nanti.”
“Kenapa gak bilang dari kemaren aja, kan ini lebih gampang”
“Ya biar kamu juga tahu jalannya, kalau nanti masuk SMA kamu tidak akan kesulitan lagi karena sudah mempelajarinya dari sekarang.”
“Iya, iya bawel!”
“Hari ini cukup sampai di sini saja, aku harus ke tempat berikutnya.”
“Oke”
Lalu aku mulai membereskan barang-barang, lalu makhluk yang sedang aku hindari tiba-tiba datang menghampiri kami yang sudah selesai belajar.
“Zi, kamu mau pulang? Aku anterin, ya?”
“Kak, nama aku Azia dan bukannya Zi, aku tidak pulang dan terimakasih tawarannya!” Lalu aku langsung pergi.
“Hai, bang! Kamu bertengkar sama anak itu, ya?”
“Gak tuh!”
“Lalu kenapa dia kelihatannya kesal banget lihat wajah kamu, bang?”
“Gak tahu, mungkin aja karena ucapan ku saat membeli kado ultah kamu lusa itu”
“Apa? Kamu pergi sama dia? Kenapa gak ajak aku?”
“Gak papa, emang kenapa tiba-tiba mau ikut”
“Aku kasih tahu sama kamu ya, bang! Sebenarnya aku sedikit tertarik sama anak itu, aku ingin membelikan dia baju dan mengajaknya jalan diakhir pekan tapi, aku tidak punya kesempatan karena dia kelihatan sibuk sekali”
“Tunggu dulu! Bukannya kamu tidak suka sama dia? Kamu terlihat tidak menerima kehadirannya”
“Itu karena dia sok jadi orang dewasa, aku gak suka dia memperlakukan aku seperti anak kecil padahal kami cuma beda dua tahu saja.”
“Ngomong-ngomong, kalau misalnya nih, Cuma misal aja, ya! Dia ngajak kamu jalan lalu pas ketemu sama temannya di jalan dia ngobrol dan mengabaikan kamu lalu, dia juga bilang ke teman-temannya kalau dia gak mungkin suka sama anak kecil, apa kamu akan marah?”
“Ya marahlah! Kamu mungkin gak akan bicara sama dia hingga amarahku reda atau sampai dia tahu kalau aku marah dan minta maaf karena udah menyinggungku.”
“Loh kok kamu gitu?”
“Ya siapa yang mau bicara sama orang yang baru nolak kamu secara tidak langsung?”
“Iya juga, sih! Kalau gitu aku pergi dulu ya!”
Alex pergi ke tempat pemberhentian bus yang biasanya aku tumpangi tapi, hari itu ada yang beda karena Bobi temanku tiba-tiba lewat dan menghampiriku.
“Zia, kamu nunggu bus? Bareng aku aja, gimana?”
“Bobi, em.. boleh deh, lagian aku gak mau buang waktu juga sih!” Lalu aku naik ke motor Bobi dan kami pergi bersama ke rumah anak yang akan aku jari berikutnya.
“Azia!”
Aku seakan mendengar seseorang memanggil namaku tapi karena Bobi membawa motor dengan kecepatan tinggi, aku jadi tidak berani menoleh kebelakang dan berpegangan erat pada Bobi.
‘plak’ aku memukul pundak Bobi dengan sekuat tenaga saat kami berdua sampai di tujuan.
“Kamu udah gila, ya? Kita bisa mati kalau kamu ngebut kayak gitu, tahu!”
“Tapi kita baik-baik aja’kan?”
‘plak’ aku kembali memukulnya.
“Kamu tunggu kita mati dulu baru paham kalau ngebut di jalan itu berbahaya?”
“Iya, lain kali gak gitu lagi! Ampun dong! Jangan di pukul terus, sakit tahu, Zia!”
“Makanya kamu jangan lakuin kayak gitu lagi!”
“Iya”
“Janji!”
“Iya aku janji gak akan ngebut lagi!”
“Janji kelingking”
“Dasar kekanakan! Iya, nih janji, pakek cap juga gak?”
“Boleh deh!”
Lalu kami tertawa bersama, aku dan Bobi sudah sangat dekat dari dulu, ya bisa di bilang dari pertama aku masuk sekolah dasar.
“Kalau gitu aku langsung pulang, ya!”
“Iya, tapi jangan ngebut-ngebut lagi, aku gak mau jenguk kamu di rumah sakit, ya?!”
“Iya tenang aja!”
Aku berdiri sambil memandangi Bobi yang pergi dengan motornya, memastikan kalau dia tidak mengingkari janji yang baru kami buat beberapa detik yang lalu. Saat bayangan Bobi tidak terlihat lagi, aku pun masuk ke rumah Bu Tina untuk mengajar anaknya.
“Azia! Tunggu!”
Aku sedikit kaget mendengar suara lembut yang familiar di telingaku dan sentuhan tangan hangatnya menarik ku.
“Kak Alex, kenapa kakak di sini?”
“Aku… Tadi siapa?”
“Yang mana?”
“Anak yang nganterin kamu tadi?!”
“Apa hubungannya dengan kak Alex? Lepaskan tanganku! Aku harus masuk sekarang!”
“Gak, aku gak akan lepasin sebelum kamu jawab siapa anak itu!”
“Dia temanku! Sekarang kakak bisa lepasin tanganku!” Kak Alex mengunci tanganku hingga tidak bisa melepas tangannya yang seakan menjadi gembok yang begitu kuat mengunci tanganku.
“Kenapa kamu terlihat sangat akrab dengan dia?”
“Kakak kenapa, sih? Pengentau banget urusan orang, lagian kakak ke sini buat apa? Aku harus masuk sekarang, kak!”
“Aku kesini ingin minta maaf soal ucapan ku beberapa hari yang lalu, aku tidak menyangka kalau ucapan ku itu membuat kamu sakit hati, aku benar-benar menyesalinya.”
“Kak lepasin dulu tanganku!”
“Ah, maaf!” Lalu dia melepaskan tanganku.
“Aku udah lupa kok soal itu, sekarang kakak bisa pulang”
“Zi, tunggu!”
“Kak, namaku Azia bakan Zi!”
“Maafkan aku! Kalau kamu memang tidak marah, jadi kenapa kamu tidak mau bicara denganku tadi dan seperti menghindari ku?”
“Aku hanya gak punya cukup waktu untuk di buang dengan sia-sia saja, kalau gitu aku masuk dulu!”
“Azia, tunggu! Apa kamu suka sama anak laki-laki tadi?”
Aku tidak menjawab pertanyaan kak Alex tentang Bobi dan aku langsung masuk karena waktuku sudah banyak terbuang karena bicara dengan kak Alex.
“Azia, sikap diam mu membuat aku berpikir kalau benar kamu menyukai anak itu!”
Saat matahari benar-benar terbenam, aku pun keluar untuk pulang setelah selesai mengajar murid kecilku yang menggemaskan.
“Ah, hari ini cukup melelahkan, aku harus mandi lalu langsung tidur, ah aku hampir lupa mengerjakan tugas, nanti sajalah!” Ocehku sambil menelusuri jalan menuju halte bus.
“Azia!”
“Alah mak!” Aku sangat kaget karena aku pikir tidak akan ada orang di tempat itu.
“Maaf mengagetkan kamu” Alex ternyata menunggu aku di halte bus.
“Kenapa kakak disini? Sudah berapa lama dan ngapain ?”
“Aku menunggu kamu”
“Untuk?”
“Aku ingin mengantar kamu pulang”
“Gak usah, aku akan pesan taksi online aj…”
Dia manarik ku masuk ke dalam mobilnya, dia benar-benar jadi orang yang berbeda dari biasanya pada malam itu.
“Kakak kenapa sih?”
“Aku ingin mengantarmu pulang, dan… Aku ingin mendengar penjelasan mu tentang hubunganmu dengan anak yang tadi sore itu.”
“Kenapa kakak terlihat marah? Aku itu bukan pacar kakak yang harus menjawab kecurigaan dan kecemburuan kakak tahu!” Ucapku kesal.
Lalu tiba-tiba mobil berhenti dan dia hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya, aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu. Lalu dia menari nafas panjang dan terlihat memaksakan diri bersikap seperti biasanya.
“Maafkan aku, sekarang ayo aku antar sampai rumahmu” Dia tersenyum tapi matanya tidak begitu.
Setelah meminta maaf padaku dia tidak bicara sama sekali hingga sampai di rumah Fara, aku sedikit merasa bersalah tapi, aku tidak merasa ada yang salah dari kata-katakku karena memang kami tidak punya hubungan yang bisa mempertanyakan kedekatanku dengan orang lain.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments