"Katanya cinta itu gila. Jadi kalau kamu agak kehilangan kewarasan kamu, ya wajar. Namanya juga lagi jatuh cinta."
♡♡♡♡♡♡♡
KYAAAA!!!!
Arkan komen di postingan Instagram gue. Sumpah demi apa? Gue sama Arkan belum follow-followan. Jangankan follow-followan, kepikiran kalau Arkan main Instagram aja enggak loh, lah ini Arkan malah sampai komen segala. Dia stalking di Instagram gue gitu? Eh, enggak kan? Ini gue yang kegeeran aja kan?
"Jadi Mbak Eva sama yang Mas Ganteng kemarin udah jadian?" tanya Karin dengan wajah antusiasnya.
Gue menoleh ke arah Karin, mengabaikan komentar Arkan sementara waktu. Saat ini gue masih di Semarang, karena selepas acara resepsi nikahan Listi dan Agung, yang ternyata dulu temen kantor Arkan, gue diajak Arkan ngopi syantik gitu sambil ngobrol. Sampai gue lupa harus balik ke Jakarta dan ketinggalan pesawat karena keasikan ngobrol sama dia. Ternyata Arkan orangnya lumayan asik sebenarnya, nggak sekaku yang gue pikir kemarin-kemarin. Makanya sekarang gue masih di Semarang.
"Kenapa lo bisa mikir gitu?"
Dengan senyuman sok manis miliknya, Karin menyodorkan ponselnya. Layarnya memperlihatkan postingan gue yang dikomentari Arkan.
"Jadi, namanya Arkana Narendra ya, Mbak? Bagus namanya, sebagus mukanya," cengir Karin.
Tapi kelakuannya nggak sebagus itu.
Drrt Drrrt Drrt
Gue menerjap kaget saat merasakan ponsel gue bergetar. Dan semakin kaget saat mendapati nama Arkan yang tertera di layar ponsel. Sumpah demi apa, yang gue lihat ini bukan mimpi? Arkan mulai berani agresif, meski nggak seagresif gue.
"Angkat, Mbak!" intruksi Karin sambil menyenggol bahu gue, "Udah kangen mungkin Mas-nya," godanya kemudian.
Gue berdecak sewot lalu menjauhkan tubuh gue darinya. Setelah dirasa agak aman, baru gue jawab panggilan telfon dari Arkan.
"Ya, hallo, assalamualaikum. Ada apa, Ar?"
Sumpah. Kalian harus tahu ini pertama kalinya Arkan telfon gue, karena biasanya gue duluan yang telfon, jadi kalau cara menjawab telfon darinya terdengar agak berlebihan itu wajar. Oke.
"Wa'allaikumussalam. Kamu sedang sibuk, Adeeva?"
"Enggak. Kenapa, Ar?"
"Saya pikir kamu sibuk. Lalu kalau tidak sibuk komen saya tidak kamu respon?"
What?!
Dia nanyain kenapa gue belum bales komennya? Gimana mau bales kalau gue sampai sekarang masih belum percaya dia komen di Instagram gue.
"Oh, itu lagi diajak ngobrol Karin jadi mungkin lupa belum kekirim."
"Ya sudah, langsung dijawab saja kalau begitu!"
"Apanya?"
"Kenapa kamu tadi tidak bilang kalau kamu tidak suka kopi, Adeeva. Jangan pura-pura lupa! "
"Oh, itu. Kan tadi udah gue kasih tahu di caption, kalau cinta butuh pengorbanan. Gue rasa udah cukup kan itu?"
"Kamu tidak harus melakukan itu, Adeeva. Kalau memang tidak suka ya bilang tidak suka. Jangan membuat saya terlihat seperti laki-laki buruk," omel Arkan judes.
"Tapi versi gue lo tetep yang terbaik kok di hati gue. Tenang aja!"
"Tidak lucu, Adeeva!"
"Emang. Yang lucu itu kamu, Ar. Galak-galak tapi perhatian. Duh, gue suka. Lo tipe gue banget deh, Ar."
"Astaga, saya bisa gila kalau terus-terusan bicara sama kamu, Adeeva."
Tanpa sadar gue terbahak, lalu sisi ganjen gue keluar tanpa bisa dicegah. "Enggak papa, Ar, katanya cinta itu emang gila. Jadi kalau kamu agak kehilangan kewarasan kamu, ya maklum. Namanya juga lagi jatuh cinta."
"Adeeva!!"
Gue hanya mampu terbahak sambil menghentak-hentakkan kaki gue. Puas banget ya Allah, godain anak orang. Apalagi orangnya itu Arkan. Ckck. Cinta memang benar-benar bisa membuat orang gila.
^^^^^^
Gue menuruni anak tangga dengan langkah riang. Hubungan gue sama Arkan sudah mulai terlihat kemajuannya, meski belum sespesifik harapan gue. Arkan mulai menunjukkan perhatiannya, meski tak jarang ia selimuti perhatiannya itu dengan nada-nada judes atau gerutuan penyesalan. Tapi gue nggak masalah, karena setiap orang punya cara sendiri untuk menjunjukkan rasa tertariknya.
"Seneng banget, Mbak?" sambut Ayah saat mendapati wajah sumringah gue.
Gue nyengir lalu berhambur memeluk Ayah. "Eva lagi bahagia, Yah. Kayaknya usaha Eva untuk mendapatkan mantu buat Ayah mulai menunjukkan hasil."
"Ohya? Berarti bentar lagi Ayah mantu dong?"
Gue berpikir sejenak sambil melepaskan lengan gue yang tadi memeluk Ayah. Gue kemudian mengambil posisi duduk di samping Ayah. Menatap Ayah sebentar lalu menggeleng lemah. Hubungan gue sama Arkan belum sampai sejauh itu.
"Doa'in aja lah, Yah. Semoga beneran bentar lagi."
"Lah, piye to?"
"Ya, kan Eva lagi usaha, Yah. Kalau untuk mantu-nya Ayah pasti masih lama itu. Bisa jadi Ayah malah ngunduh mantu dulu."
"Huss, nggak boleh ngomong gitu. Ardi masih kuliah, skripsi aja belum kelar. Belum nanti bantuin Ayah dulu, masih lama dia. Yang nikah duluan harus kamu dulu, Mbak, apalagi kamu perempuan. Masak perempuan mau di-langkahi laki-laki, ndak baik ah, nanti jadi obrolan warga."
"Tuh, dengerin! Makanya kamu buruan punya pacar," celetuk Ibu tiba-tiba. Beliau berjalan menghampiri kami sambil membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng kesukaan Ayah.
"Sudah ada sepertinya, Bu," sahut Ayah sambil terkikik geli.
Dengan wajah kagetnya Ibu menoleh ke arah gue. "Bener udah ada?"
Gue menggaruk kepala gue bingung. Arkan ini kategorinya apaan gue, ya? Termasuk pacar bukan, ya? Arkan bilang suka dan tertarik sih meski belum ke tahap cinta. Tapi Arkan nggak ngajakin pacaran, gimana dong? Arkan gue masukin kategori pacar bukan?
"Engg... lagi deket sama seseorang sih, Bu, tapi kami belum pacaran."
"Itu artinya kamu belum punya pacar, Mbak."
"Tapi kita deket loh, Bu," elak gue menegaskan.
"Mbak, Ibu kasih tahu ya, yang pacaran bertahun-tahun aja belum tentu diajak nikah. Apalagi cuma deket. Mbokyo pinter sithik."
"Bu," panggil Ayah tiba-tiba.
"Apa?"
"Ibu curhat ya, barusan?"
"Eh, kenapa gitu, Yah?" tanya gue kepo.
"Ibumu dulu sebelum Ayah ajak nikah--"
"Ayah," panggil Ibu dengan nada memperingatkan.
Kedua mata Ibu terlihat tidak bersahabat sama sekali dan dibalas cengiran polos dari Ayah. Gue yang melihat hanya tertawa. Definisi romantis itu beda-beda dan menurut gue Ayah dan Ibu itu romantis entah dari segi mana gue lihatnya, tapi kalau lihat Ayah dan Ibu gitu batin gue langsung bilang mereka itu romantis.
"Ayah sayang sama Ibu kok," rayu Ayah sambil mencium pelipis Ibu. "Cinta mati pokoknya," sambung beliau. Tak lupa beliau mengedip genit.
"Genit banget sih udah tua juga," balas Ibu.
Gue hanya geleng-geleng kepala melihat keduanya lalu menyomot pisang goreng Ayah dan berdiri meninggalkan ruang tamu. Gue perlu mandi dan beberes supaya tidak ketinggalan kereta. Ya, karena kemarin udah ketinggalan pesawat jadi gue hari harus rela naik kereta kelas ekonomi. Ya mau gimana lagi, duit gue cukupnya naik itu. Masa iya mau minta Ayah, gengsi dong.
Setelah selesai mandi dan siap berangkat gue pun langsung turun ke bawah untuk mencari Dian.
"Dek, anterin Mbak, yuk!"
"Kemana?"
"Stasiun."
"Ngapain, Mbak?" tanya Ayah heran.
"Berangkat ke Jakarta dong, Yah. Eva izinnya hari ini aja, besok udah berangkat kerja lagi."
"Terus ngapain ke stasiun? Kamu mau naik kereta?"
"Iya." Gue mengangguk membenarkan.
"Loh, Ayah transfer ke rekening kamu loh kemarin. Naik pesawat aja, biar lebih praktis."
"Sama aja, Yah, lagian aku udah pesen tiket untuk naik kereta, Yah--"
"Kemarin Mbak Eva juga udah pesen tiket pesawat, tapi nggak kepake. Masa udah beli tiket kereta nggak dipake juga. Mubazir, Yah," sambar Dian dengan wajah santainya. Ia kemudian berdiri dan menyambar kunci motornya. "Aku tunggu di luar, Mbak," katanya tanpa dosa lalu meninggalkan ruang tamu begitu saja.
Dasar adek sialan!
"Bener yang Ardi bilang, Mbak?"
Kedua mata Ayah menyorot gue. Meski tidak setajam tatapan mata Ibu, tapi tetap aja bikin gelisah, cuyyy.
"Iya, Yah. Maaf," sesal gue nggak enak. Tiket pesawat enggak murah jadi gue merasa bersalah banget.
"Mbak, sekalipun hidup kita berkecukupan Ayah nggak suka ya, kamu menghambur-hamburkan uang begitu. Mbak udah tahu sendirikan susahnya cari uang?"
"Iya, Yah, Eva tahu. Eva nggak sengaja, Yah."
"Ya sudah, sana berangkat nanti keburu siang! Jangan lupa pamit sama Ibu dulu. Ibu ada di rumah Bulek Ningsih."
Gue mengangguk paham, lalu mencium punggung tangan beliau. "Eva pamit dulu ya, Yah."
"Iya, hati-hati. Jaga diri baik-baik di kota orang, jangan bikin malu keluarga," ucap Ayah menirukan kata-kata yang biasa Ibu ucapkan sebelum melepas gue pergi merantau.
Gue mengangguk sekali lagi dan bergegas keluar rumah.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
bisa ikutan gila neh gw, ketawa² sendiri. 🤣🤣🤣🤣🤣🤪🤪🤪
2022-04-23
0
Viaviani
kasih eva nya kena semprot. #cinta butuhpengorbanan
2019-11-23
4
Revy Tok
mantap
2019-11-12
2