"Katanya kalau emang jodoh, semesta punya aja cara untuk mempertemukan dua hamba-Nya. Contohnya kita, kita dipertemukan seperti ini, bisa jadi karena emang kita berjodoh."
♡♡♡♡♡
"Mbak! Mbak Eva! Buka pintunya, Mbak!"
Gue mengerang jengkel kala tidur cantik gue harus diganggu oleh teriakan dan juga gedoran pintu kamar kost gue.
"Sialan! Siapa sih itu? Ganggu orang aja," teriak gue sambil menendang selimut dan segera turun dari ranjang.
"Apa?!" sembur gue kepada Karin si pengganggu tidur cantik gue.
Sambil tersenyum aneh, dia langsung merangkul lengan gue, kemudian mengedip genit. Dan bukannya minta maaf karena udah mengganggu gue. Emang kurang ajar ini bocah, ya.
"Ikut jogging yuk, Mbak," ajaknya masih sambil mengedip genip, "sekalian kita wisata kuliner sambil cuci mata, biar Kak Eva nggak jomblo terus. Kali aja nanti bisa ketemu jodoh Mbak Eva."
Gue melirik Karin tajam, kemudian mendorong dahinya agar menjauh.
"Ogah. Ini hari libur gue, haram hukumnya gue bangun pagi."
"Pagi apaan, ini udah hampir siang kali, Mbak. Jam di kamar Mbak Eva mati?"
Gue mendengkus sambil mendorong dahinya sekali lagi, saat Karin sedang berusaha menengok ke dalam kamar.
"Bodo. Pergi sana! Jangan ganggu weekend indah gue."
"Ya elah, Mbak, masa weekend-weekend ngerem mulu di kamar. Gimana Budhe bisa cepet dapat mantu kalo gini, yang ada nanti aku langkahi kalo gini terus."
Gue mendelik tak percaya ke arah Karin, adik sepupu dari Ibu. Sembarangan banget ini bocah, kuliah belum genap 4 semester aja udah belagu mau ngelangkahi gue.
Langkahi dulu mayat gue!
Enak aja.
"Kuliah belom bener aja udah mikir mau ngelangkahin gue."
"Why not? Kuliah sama jadi istri muda nggak terdengar buruk. Dari pada Mbak Eva, udah kerja dan nyaris tua tapi masih jomblo," ejeknya tak tahu sopan santun.
Gue menggeram jengkel. Bukan hanya karena tersinggung dengan kalimat Karin yang nggak sepenuhnya salah, tapi juga karena rasa kantuk gue yang kini lenyap dibawa hembusan angin yang baru saja lewat.
Apes banget kan?
"Maaf, Mbak, kalau aku kelewatan," katanya pelan. Raut wajahnya berubah sedikit bersalah, tapi gue nggak peduli. Udah terlanjur kesel.
"Dapet apaan kalo gue mau nemenin lo?"
Seketika ekspresinya langsung berubah kala mendengar kalimat yang baru saja gue ucapkan. Rona bahagia tergambar jelas di wajahnya yang kini hanya mengenakan pelembap dan liptint super tipis.
"Bakmi depan kost?" tawarnya sambil memainkan alisnya senang.
Gue mendengkus setengah tertawa.
"Tunggu di depan sana, gue ganti baju dulu."
Tanpa sungkan, gue langsung mendorong tubuh Karin yang sedikit berisi agar tidak menghalangi pintu yang hendak gue tutup.
"Jangan dandan yang cantik! Kalo perlu nggak usah dandan, Mbak," teriaknya. Membuat gue penasaran dan akhirnya membuka pintu sebelum berganti pakaian.
"Kenapa gitu? Bukannya lo bilang mau ngajak cuci mata? Cuci mata artinya kita cari gebetan kan?" Gue hanya menyempulkan kepala dengan tangan yang masih memegang handle pintu.
"Mbak Eva udah cantik tanpa dandan sekalipun. Kalo Mbak pake acara dandan segala, ntar akunya kalah."
Gue tersenyum. "Udah sana! Gue mau dandan yang cantik!" goda gue kemudian terbahak.
Setelah mengganti seragam harian gue berupa kaos oblong kedodoran beserta hotspant andalan gue saat di kost, dengan celana trainning hitam dan kaos putih, gue keluar dari kamar menghampiri Karin yang ternyata sudah nangkring di sepeda motor meticnya.
"Lah, katanya mau jogging? Kenapa malah nangkring di motor?" tanya gue menatap Karin.
Anak bungsu dari Bulek gue ini malah nyengir sesaat sebelum menjawab.
"Iya, soalnya Senayan jauh, Mbak."
Kedua mataku melotot reflek. "Ngapain ke Senayan?"
"Jogging. Minggu lalu abis dari Monas, jadi minggu ini giliran di GBK, masa iya ke Monas lagi," balas Karin santai, "kata Kak Radit bubur ayam di sana enak loh, Mbak. Aku jadi penasaran."
"Radit? Siapa itu?" Gue memandangnya heran. Setahu gue pacarnya bernama Akmal deh, bukan Radit.
"Pacar baru," cengirnya sambil tersenyum malu-malu.
Sementara gue melotot terkejut. "Terus Akmal?"
"Putus. Udah hampir sebulan juga putusnya."
Gue makin melongo dengan jawabannya.
"Biasa aja kali, Mbak."
Gue menggeleng tak setuju. Enak aja biasa, ini masalah serius, Bu Lek Lastri nitipin ke gue meski nggak secara langsung. Dan melihat kelakuannya yang sering gonta-ganti pacar gini tentu aja itu membuat gue was-was.
"Enggak bisa lah. Kalian putus belum genap sebulan, Rin. Dan lo udah ada pacar lain sekarang?"
"Emang kenapa? Aku nggak selingkuh kok?"
"Susah ya, ngomong sama lo."
"Enggak juga, kata Kak Radit aku orangnya seru kok diajak ngobrol," sanggah Karin tak terima, "udah, nggak usah sok ngintrogasi aku deh, Mbak. Buruan naik! Nanti keburu siang."
Meski sambil berdecak tak suka, gue tetap nangkring di belakang Karin setelah memakai helm yang Karin sodorkan tadi.
"Asli kalau boleh jujur, gue males banget ngikut lo gini. Tapi--"
"Iya, iya, bohongin aja aku udah, beres," potong Karin sebelum menjalankan sepeda motornya.
Karena kesal gue jitak aja kepalanya yang tertutupi helm, membuat Karin tertawa setelah mengaduh sesaat. Untung dia udah jago naik motornya, coba kalau belum alamat bakal nyungsep dan masuk rumah sakit kita.
****
"Udah rame, Mbak," celetuk Karin setelah memarkirnya motornya di area parkir dan kini sedang melepas helmnya.
"Ya, namanya weekend, Rin," balas gue seadanya, sambil menyerahkan helm gue kepadanya.
"Manja banget deh," gerutu Karin sedikit tak rela menerima helm gue, "pokoknya nanti pas kita pulang Mbak Eva yang di depan ya, aku diboceng. Gantian, biar adil."
"Enak aja, siapa yang ngajak tadi?"
"Aku."
"Ya udah, berarti ya, lo yang nyetir, gue yang dibonceng. Itu baru adil," balas gue penuh kemenangan.
"Curang banget," gerutu Karin sekali lagi.
Tapi gue abaikan.
"Sariawan mendadak, Mbak?" celetuk Karin karena merasa gue abaikan.
Gue menoleh ke arahnya sambil berdecak. "Lo cerewet amat deh, Rin."
"Ya abis, Mbak Eva diem aja dari tadi."
"Soalnya lo bawel, gue jadi males nanggepin," balas gue lalu mempercepat lari gue.
Mengabaikan teriakan Karin yang memanggil-manggil nama gue. Gue masih terus berlari menjauhi Karin sambil sesekali menjulurkan lidah gue ke arah Karin. Tanpa memperdulikan jalan depan gue dan Brukkkk! Gue tersungkur setelah menabrak seseorang yang gue yakini bertubuh atletis, buktinya gue terpental lumayan keras karena tabrakan sama dia.
Duh, sakitnya mungkin nggak seberapa tapi malunya itu lohhh, luar biasa. Gue sampai nggak berani buat ngangkat kepala gue saking malunya. Ya, meski gue tahu sih, ini salah gue karena udah jahilin Karin.
"Kamu tidak papa? Bisa bangun?"
Duh, suaranya kok enak banget ya didenger. Mau ngelirik buat liat mukanya kok tapi gengsi, ya?
"Adeeva?"
Buru-buru gue langsung mengangkat wajah gue saat mendengar nama gue dipanggil.
"A.arkan?" Kedua mata gue spontan membulat.
Bentar, bentar, ini seriusan Arkana Narendra, Abangnya Shirin yang kemarin dijodohin sama gue. Yang cuek bebek gitu sama gue, yang rada-rada lemot nangkep jokes receh gue, yang....
"Mbak Eva nggak papa?"
Lamunan gue langsung terbuyar saat mendengar suara Karin, yang kini ternyata sudah berada di sebelah gue, dengan posisi jongkok dan menatap gue khawatir.
"Mbak Eva sih kayak anak kecil, pake lari-larian segala. Kan jadinya jatoh," gerutunya kemudian.
Gue mendengkus, orang jogging ya jelas lari-larilah. Suka ngelawak ini bocah kayaknya.
"Mbak!"
"Iya, gue nggak papa," balas gue ketus, kemudian berusaha berdiri dan dibantu Karin.
"Maaf," ucap Arkan.
Gue menatapnya. "Enggak, gue yang salah. Harusnya--" ucapan gue harus terhenti gara-gara teriakan heboh Karin secara tiba-tiba, yang lumayan ngagetin juga.
"Mbak Eva, itu lengannya berdarah!"
Mendengar seruan hebohnya, gue langsung menengok sikut gue yang emang terasa agak perih. Emang berdarah sih tapi nggak sampai menetes kok darahnya, cuma agak panjang aja baretnya.
"Nggak papa, cuma lecet dikit," kata gue menenangkan Karin yang terlihat panik.
"Dikit gimana, itu lecetnya panjang, Mbak. Ada loh 15centi."
Mulut gue yang tadinya mau mangap buat ngomong sama Arkan kembali tertutup, kemudian menoleh ke arah Karin. Apaan pula tadi pake centi-centi segala. Gimana ceritanya segini ada 15cm.
"Apaan sih lo, gue mau ngomong dulu ini sama temen gue. Lo diem dulu, ja--"
"Saya rasa adik kamu benar, luka kamu sepertinya harus segera diobati, takutnya nanti infeksi," celetuk Arkan tiba-tiba membuat gue mingkem seketika.
Gue diam sesaat. Mikir gitu. Apa ini yang disebut jodoh ya, gue sama Arkan nggak sengaja ketemu gini lho. Kan katanya pertemuan nggak sengaja itu bisa dibilang takdir. Dan mungkin takdir dia itu gue. Eh, buset kenapa pula malah ngelantur ke jodoh. Jangan-jangan kepala gue tadi juga kebentur makanya agak konslet gini.
"Kenapa malah senyam-senyum sih, Mbak. Nggak kesambet kan lo!"
Gue langsung melotot tajam ke arahnya, saat mendengar kata lo yang Karin ucapkan buat gue. Entah kenapa gue nggak suka kalau Karin, yang notabene-nya adik sepupu gue ini ngomong lo-gue sama gue, kesannya kurang sopan aja sih. Hehe, terdengar nggak adil banget ya, gue ngomong lo-gue sama Karin tapi Karin nggak gue bolehin ngomong lo-gue sama gue.
"Maaf. Udah ayok balik aja, atau sekalian kita mampir ke klinik dulu."
"Perlu saya antar?"
"Perlu," jawab gue spontan.
Duh, mulut, mulut nggak punya gengsi dikit aja sih. Main jawab iya aja.
Karin hendak memprotes tapi gue lebih dulu melotot dan membisikkannya sesuatu.
"Calon gebetan gue ini," bisik gue pelan.
Karin terlihat tak percaya. "Yakin, Mbak? Ganteng gitu kok."
"Makanya itu, gue butuh usaha keras."
Sambil tersenyum aneh Karin langsung mengangguk semangat, membuat gue sadikit curiga terhadapnya.
"Duh, aku baru inget kalau ada janji sama Kak Radit. Gimana kamu pulangnya Mbak?"
Sumpah, akting Karin berlebihan banget dan nggak natural sama sekali. Arkan bahkan seperti sedang menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya, saat melihat kelakuan Karin.
"Biar saya yang antar." Nada bicara Arkan terdengar seperti malas.
"Beneran, Mas? Duh, makasih banget ya, Mas. Masnya penyelamat--Akhh, sakit, Mbak," protes Karin setelah me dapatkan cubitan ringan dari gue.
"Plis! Nggak usah lebay, lo bikin semuanya terlihat ketara, bego!"
"Tidak masalah," jawab Arkan datar.
"Ya udah, ayo anterin gue pulang," kata gue kemudian. Bukannya nggak tahu malu, cuma ini makhluk hidup kalau nggak langsung gue ajakin pasti lama. Soalnya dia tipekal yang nggak paham situasi gitu deh.
Arkan mengangguk sekilas lalu mengajakku ke area parkir untuk mengambil mobilnya. Emang kesempatan banget nih buat gue, jadi kayaknya gue emang mau ngegaet hatinya. Hahaha, doain aja moga lancar dan gue punya stok sabar yang banyak buat ngadepin dia.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
nyengir akuh 😁😁😁
2022-04-23
0
Keselek kucing
wahh
seperti kisah nyata
mantep thor
2020-09-26
1
Darma Wati
namanya juga usaha
2020-07-03
1