"Jatuh cinta itu hak segala umat. Lo nggak bisa ngatur-ngatur. Cemburu boleh. Tapi lo harus sadar, lo nggak punya hak untuk mengatur perasaan mereka. Termasuk perasaan wanita lain untuk suami lo."
{{{{}}}}}}
Buset, gara-gara ngobrolin Arkan membuat gue melupakan tujuan gue mampir ke rumah Shirin. Gue bahkan lupa menanyainya karena sibuk menceritakan kejadian yang menimpa Abangnya dan sibuk mengunyah. Maklum, kondisi perut sedang kosong jadi mulut wajib mengunyah.
Dengan gerakan ragu-ragu gue lirik Shirin yang kininya sedang menopang dagu dengan tangan kirinya. Kedua matanya menatap layar televisi, sementara tangan kanannya sibuk menggonta-ganti saluran televisi yang terlihat membosankan baginya. Bibirnya terlihat maju beberapa senti, menandakan kalau dia sedang dalam suasana hati yang sedang tidak bagus.
Ini orang polos apa bego apa pikun sih, dia kan tadi misuh-misuh nelfon gue mau curhat. Kenapa giliran gue udah di sini malah diem bae gini. Oke, tadi kita emang ngobrol sih tapi yang dibahas Arkan, Abangnya sendiri bukan Damian, suaminya.
"Rin," panggil gue setelah membasahi tenggorokan gue dengan air mineral yang tinggal sekali teguk ini.
"Hmm."
"Lo tadi katanya mau curhatkan? Kok nggak jadi?" tanya gue ragu-ragu.
Shirin mendesah lega dan mematikan televisinya, sebelum akhirnya memutar badannya jadi menghadap ke arah gue.
"Akhirnya lo tanya juga, Va. Gue tungguin lama banget deh, dasar nggak peka."
Gue memutar kedua bola mata gue lalu memilih sibuk mengunyah brownis.
"Langsung aja, gue males pulang terlalu malem," kata gue di sela kunyahan.
"Nggak akan ada ceritanya pulang terlalu malem. Lo malam ini nginep di sini."
"Hah?" Gue menatap horor Shirin.
"Biasa aja, kebiasaan lebay lo nggak ilang-ilang," gerutu Shirin yang kini ikut mengunyah kripik.
"Ya, namanya kebiasaan. Kan berarti udah terbiasa, ya mana bisa ilang. Wong udah kebiasaan."
Shirin langsung menatap gue dengan kedua mata menyipit. "Ngomong apaan deh, nggak jelas," gerutunya kemudian.
"Ya, kayak lo sekarang ini. Katanya mau curhat malah muter-muter nggak jelas," balas gue tak mau kalah.
Huft,
Ya, itu suara helaan nafas. Tapi bukan punya gue, melainkan punya Shirin. Oke, kini giliran gue yang memutar badan gue agar bisa menghadap Shirin. Prinsip gue sederhana, curhatan itu nggak butuh nasehat tapi cukup didengarkan. Jadi, gue harus menatapnya dengan antusias--meski pada kenyataannya gue agak malas--agar curhatan ini memberikan efek melegakan untuk Shirin.
"Gue cemburu."
"Oke, itu wajar. Cemburu tanda cinta kan?"
"Sama PA Damian," lanjut Shirin membuat gue terdiam.
Oke, gue tahu bentukan Sherly, Personal Asisten Damian. Tipekal wanita dewasa yang memiliki aura cantik, anggun, seksi, cekatan dan smart. Ini juga wajar kalau menurut gue. Meski kita sama-sama tahu kalau Shirin juga nggak kalah cantik maupun seksi. Mungkin kurang sedikit anggun dan smart kali makanya ini Mamah muda minder. Ups, kenapa kesannya gue malah jelekin sahabat sendiri, ya.
"Why? Lo tahu kan kalau kerjaan suami lo ini sangat membutuhkan PA?
"Iya. Tapi gue ngerasa kalau Sherly itu ada rasa sama Damian, Va. Gue nggak suka. Apalagi mereka sering banget kemana-mana berdua. Gue nggak tahan liatnya, gue pengen Damian pecat Sherly tapi Damian malah ngamuk. Gimana gue nggak kesel?"
Gue langsung tersenyum sinis. Emang posesifnya udah kebangetan ini perempuan.
"Rin, gue bukannya mau belain PA Damian, ya. Cuma menurut gue gini, jatuh cinta itu hak segala umat. Lo nggak bisa ngatur-ngatur. Cemburu boleh. Tapi lo harus sadar, lo nggak punya hak untuk mengatur perasaan mereka. Termasuk perasaan wanita lain untuk suami lo. Yang penting Damian nggak punya perasaan itu, Rin," Gue menjeda kalimat gue, "toh, ini emang secuil resiko dari keputusan dan takdir lo menikah sama orang gantengkan?" lanjut gue kemudian.
Oke, kali ini gue emang nggak pengen jadi pendengar aja. Tapi gue juga pengen mengutarakan pendapat gue.
"Terus gue musti gimana?"
"Percaya."
"Sama?"
"Diri lo sendirilah. Jangan cemburuan, laki-laki itu suka malas sama cewek posesif. Lo, bertingkahlah selayaknya wanita maju, jangan mengengkang! Kalau lo masih mau hubungan kalian baik-baik saja. Percaya juga sama Damian, suami lo. Jangan nunduh tanpa tahu kebenarannya. Kalau emang Damian ngaku nggak punya rasa buat PA-nya, ya udah. Lo nggak perlu khawatir, gue yakin Sherly wanita smart, dia nggak mungkinlah godain suami lo kalau Damian aja nggak mau. Udah percaya aja sama Damian. Lo nggak mau kan karena kecemburuanan berlebihan lo ini justru bikin Damian muak dan akhirnya beneran main belakang sama PA-nya itu?"
"Amit-amit, ya Allah jangan sampai," seru Shirin sambil mengetuk kepalanya dan meja secara bergantian.
"Nah, makanya. Jangan aneh-aneh! Sekarang telfon Damian, minta maaf. Gue mau ke toilet dulu, pipis."
"Tidak perlu menelfon. Aku sudah di sini."
Gue agak kaget karena tiba-tiba mendengar suara Damian dan menggendong Rafka yang kini sedang tidur di gendongannya. Ugh! Gimana Sherly nggak suka kalau lihat yang bening beginian setiap hari. Kan pasti PA Damian selalu mikir kalau suami orang emang menggoda. Gue aja juga juga gitu. Haha.
Gue kemudian menoleh ke arah Shirin, yang kini masih menundukkan kepalanya. Entah malu, gengsi, atau emang masih ngambek. Gue nggak tahu juga.
"Masih ngambek?" sindir gue gemas.
Shirin langsung berdecak dan melotot tajam ke arah gue.
"Ngapain lo masih di situ? Katanya mau pipis?" semburnya galak.
Gue mengangkat bahu gue cuek. "Ada pemandangan sedep begini masa iya mau gue sia-siain. Kan mubazir. Mending kan dinikmati dulu."
"Adeeva!" koor pasutri ini berbarengan dan juga kompak. Hanya beda nada aja, Shirin berseru setengah teriak, setengah mau membunuh gue. Sedangkan Damian hanya memanggil gue dengan nada peringatan.
Gue meringis sambil memasang wajah tanpa dosa. "Gue ke toilet dulu deh," cengir gue lalu bergegas menuju kamar mandi.
Saat gue kembali ke ruang tengah, keduanya sudah tidak ada di sana.
"Kita di sini, Va," ujar Shirin dan Damian turun tangga berduaan dan saling memeluk satu sama lain. Membuat gue bahagia sekaligus baper setengah ngenes. Ck. Udah baikan ternyata.
"Wah, parah banget kalian. Udah tahu gue jomblo, masih aja disungguhin adegan tak senonoh beginian. Lupa kalian kalau bukan karena kata-kata ajaib dan usaha keras gue kalian mungkin udah ce--Bugh!!"
Tiba-tiba sandal rumah Shirin melayang ke wajah gue.
"Sayang, nggak boleh gitu, ah. Gitu-gitu Eva selalu jadi penengah kita loh, sejak kita pacaran."
Dengan tak tahu sopan santun gue buang sandal Shirin ke tong sampah.
"Noh, dengerin tuh imam rumah tangga kalau sedang bersabda! Jangan cuma ngambek doang yang digedein. Gue tikung juga suami lo lama-lama, bunuh diri lo!"
"Eva!! Mulutnya, iiihh!!!"
"Seksi kan?"
"Amit-amit. Siniin sandal gue!"
"Ora sudi. Nak wani jupuk dewe!" balas gue nggak mau kalah.
Shirin langsung melotot, gue sih bodo amat. Ingetkan kalau gue ini tamu yang nggak tahu sopan santun, selain itu gue emang suka kurang ajar. Jadi siapin mental kalian kalau seumpama gue mampir ke rumah kalian.
Sambil menggelengkan kepala tak habis pikir Damian maju dan mengambil sandal Shirin dan langsung memakaikannya di kaki Shirin setelah sempat tadi dibersihkan olehnya.
"Sialan kalian berdua! Bikin adegan nggak tahu sikon. Bodo amat, gue mau balik." Dengan kesal gue meraih tas selempang gue. "Nggak tahu terima kasih kalian," lanjut gue dengan dramatis dan ekspresi dibuat-buat.
"Ini udah malam, Va. Kan gue bilang nginep di sini," ucap Shirin menahan kepergian gue.
"Iya, Shirin benar. Lebih baik kamu bermalam di sini, Eva. Tidak baik perempuan pulang malam sendirian," ucap Damian menambahkan.
"Lagian lo ke sini kan nembeng Kak Arkan. Nggak bawa motor sendiri," imbuh Shirin yang membuat gue terdiam.
Gue kemudian memutar kedua bola mata gue karena kesal. Iya, kesal, kesal karena situasi yang sedang tidak bersahabat ini. Duh, kenapa motor kesayangan gue pake acara masuk bengkel sih.
"Terus sekarang nasib gue gimana?" pekik gue kadung kesal.
"Tidur di kamar tamu," balas Shirin cuek. Bahkan dengan tidak tahu dirinya, ia merangkul lengan suaminya dan mengajak Damian untuk kembali ke atas meninggalkan gue begitu saja.
Sialan, gue ditinggalin gitu aja?
"Ayo, saya antar!"
Gue secara otomatis membalikkan badan gue dan menemukan Arkan berdiri di tak jauh dari gue.
Hah, kok dia bisa di sini?
**Tbc,
Wakss, nggak tahu kenapa nulis Adore You! Itu semenyenangkan ini. Saya nggak tahu sih apa ini cerita juga bisa semenyenangkan yang saya rasakan saat dibaca kalian. Nggak tahu kenapa nulis ini itu rasanya seru dan menantang banget. Dan semoga ini cerita terasa seru saat dibaca oleh kalian, ya. Aamiin🙏**
Plis, yang suka ngumpet pas baca ini muncul dong. Ku ingin tahu😘😍😗😙😚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Vie ardila
kereeeen... tpi sayang aku baru nemu ni cerita👌
2024-08-07
0
Sapti Windarti
aku suka aku suka..hehe
2023-07-28
0
Milka Epi
sammaaa.. aku bacanya sangat menyenangkan, ini seperti aku yg sebagai pemeran didalamnya 😀😀
2023-06-20
0