"Mungkin saya belum tentu akan menjadi masa depan perempuan ini, tapi anda juga harus sadar kalau anda ini hanyalah masa lalu yang tidak diinginkan oleh perempuan ini. Jadi, bisa anda berhenti mengganggu perempuan ini dan fokus ke masa depan anda sendiri?" ~Arkana Narendra
****
Sampai saat ini Ardit masih meneror gue. Entah lewat chat ataupun tiba-tiba datang ke kost atau ke tempat kerja gue. Gue sampai puyeng ngadepinnya. Serius. Muak juga gitu lama-lama. Gue sampai kehabisan akal sekarang. Iya, sekarang. Benar-benar sekarang karena Ardit saat ini ada di depan kost gue, nungguin gue. Astaga, gue harus gimana ini. Hubungan gue sama Arkan yang belum ada kemajuan sampai saat ini aja udah bikin gue stres. Dan sekarang malah nambah Ardit yang ngotot minta balikan gara-gara gue belum punya pacar lagi.
Sumpah ya, selama satu setengah tahun gue menyandang status single, nggak pernah tuh gue ngerasa tertekan. Tapi gara-gara Ardit gue jadi tertekan begini. Sialan.
"Kenapa belum berangkat, Mbak?"
Gue langsung menoleh ke asal suara dan langsung menemukan Lisa, temen kampus Karin tapi beda fakultas. Tak lama setelahnya Karin nongol.
"Lah, aku pikir Mbak Eva udah berangkat."
"Belum. Di depan ada Ardit. Males."
"Terus kalau Kak Ardit masih di depan terus, Mbak Eva nggak kerja?"
Gue langsung bungkam. Iya, juga ya. Masa gue nggak kerja cuma gara-gara ada Ardit.
"Minta jemput Mas Ganteng yang waktu itu, Mbak," celetuk Lisa sambil terkikik geli.
Gue langsung menoleh ke arah Karin, tatapan tajam gue berikan ke gadis yang kini tengah memasang wajah cengengesannya.
"Hehe, kita langsung berangkat ya, Mbak," pamit Karin lalu menarik tangan Lisa untuk kabur. Meski langsung kabur ia sempat berteriak agar gue menghubungi Arkan. Gue yang emang udah nggak bisa mikir lagi, akhirnya menuruti hasutan Karin. Tanpa gue sadari gue kini sudah menghubungi Arkan lewat telfon dan tinggal nunggu sambungan terhubung.
"Hallo, Ar? Lo udah ngantor belum, gue mau minta tolong dong. Plis, jemput gue." Tanpa basa-basi gue langsung mengungkapkan tujuan gue.
"..."
Hening. Tidak ada jawaban dari sana. Gue ikut diam, lalu melirik ke layar ponsel gue. Bener kok, nama yang tertera di sana nomor kontak Arkan. Panggilannya pun terhubung bukan menyambungkan lagi.
"Ar," panggil gue ragu.
"Eh? Iya, sebentar ya, Arkannya sedang di kamar mandi."
Mampus! Kok kayak suara cewek?
"Ini saya Mamanya Arkan."
Gue antara lega campur kaget juga. Lah, gimana itu rasanya. Intinya gue lega karena bukan pacar atau semacamnya Arkan, kaget karena yang jawab telfon gue Tante Ajeng. Mampus!
"Ini pacarnya Arkan, ya?" lanjut Tante Ajeng dengan intonasi lebih hati-hati kali ini.
Dengan jantung berdegup tak beraturan, gue menelan ludah dengan susah payah. Meski dalam hati pengen bilang iya, karena udah ngarep banget. Tapi, untung kesadaran gue masih tersisa. Jadi dengan gugup gue bilang bukan.
"Ini aku Eva, Tante."
Di seberang Tante Ajeng ber'oh'ria. "Oh, namanya Eva."
Lah?
"Maksudnya itu Eva, Adeeva, Tante. Temennya Shirin yang hobinya ngabisin cemilan di meja tamu Tante kalau Eva main itu lho," ujar gue menerangkan.
"Ya ampun! Eva temennya Irin toh? Tante kirain siapa. Jadi, kamu nih bakalan jadi mantu Tante?"
Di seberang Tante Ajeng terdengar terkekeh saat melontarkan candaannya. Sementara gue, jelas kebawa perasaan. Sial. Pipi gue rasanya panas dingin.
"Apaan sih, Tante ini ah, nanti kalau Eva beneran ngarep gimana? Tante Ajeng mau tanggung jawab?" balas gue ikut bercanda, guna menyingkirkan rasa gugup campur seneng.
Tante Ajeng terbahak sesaat. "Eh, ini orangnya udah keluar. Kamu langsung ngomong sendiri, ya."
"Siapa?" samar-samar gue denger suara Arkan.
"Temen hidup kamu. Kamu ini punya pacar nggak bilang-bilang."
"Arkan nggak suka pamer."
Kok malah pada ngobrol sendiri, ya. Ini nasib gue gimana?
"Ada apa, Adeeva?"
Alhamdulillah, diajak ngobrol juga.
"Jangan lupa nanti minggu diajak main ke sini!" teriak Tante Ajeng tiba-tiba.
Gue dapat mendengar Arkan berdecak samar lalu kembali bertanya, "Ada apa, Adeeva?"
Gue mengigit bibir bawah gue ragu. Kok tiba-tiba gengsi, ya. Tumben. Kemana nih sisi ganjen gue?
"Adeeva? Kamu masih di sana?"
Gue menerjap kaget. Tumbenan Arkan lebih resonsif.
"Gue... gue mau minta tolong. Boleh?"
"Apa?"
"Jemput gue dong. Plis!"
"Kenapa saya harus melakukannya?"
Hasyem!
Kok gue sakit hati, ya?
"Motor gue masih di bengkel. Harusnya kemarin gue ambil, tapi gara-gara nemenin lo kondangan jadi gue belum sempet ambil."
"Kamu sedang menyalahkan saya?"
Gue berdecak jengkel. Emosi juga lama-lama gue cuyy, gara-gara Salma juga ini kemarin yang bikin gue mampir ke rumah dan bukannya ambil motor.
"Enggak, enggak nyalahin juga. Astaghfirullah! Cuma minta tolong ini loh, di depan kostan gue lagi ada mantan gue nih. Kan kalau lo jemput gue punya alasan biar nggak dianter dia. Plis, mau ya? Atau gini, makan malam yang lo janjiin kemarin diganti ini aja deh. Ikhlas nggak ikhlas, gue ikhlasin deh."
Helaan napas pendek terdengar. "Ya sudah, saya siap-siap dulu."
Kedua mata gue langsung berbinar. "Lo mau?" seru gue girang, sekaligus nggak percaya juga.
"Memangnya saya bisa nolak?"
Eh?
"Ya sudah, saya tutup."
Klik.
Gue bengong.
£££££££
Arkana:
Saya sudah di depan.
Sambil senyam-senyum kayak orang gila, gue langsung berlari keluar kost setelah membaca chat dari Arkan. Serius. Kayak nggak percaya aja gitu Arkan mau repot-repot jemput. Meski pada kenyataannya nggak serepot itu karena jarak rumahnya ke kantor Papanya itu searah sama tempat kerja gue. Tapi tetap aja, untuk yang tipenya macem Arkan gitu kalau musti jemput gue, yang notabenenya bukan siapa-siapa jelas masuk kategori repot. Eh, gue ralat, agak repot.
Saat gue keluar dari gerbang kost, gue langsung disambut Ardit dengan senyuman sok manisnya, yang langsung menegakkan tubuhnya saat tahu gue udah keluar. Lalu Arkan sendiri memilih untuk tetap stay di dalam mobilnya.
"Berangkat sekarang?" tanya Ardit.
Gue mengangguk, yang langsung disambut senyum cerah oleh Ardit. Gue ikut memaksakan senyum gue, lalu menunjuk mobil milik Arkan.
"Itu jemputan gue," kata gue tanpa dosa.
Ardit melotot. "Aku di sini lebih dulu," ucapnya tak terima.
"Ya, lo aja yang datengnya kecepetan. Jangan salahin gue dong," balas gue, masih dengan ekspresi tanpa dosa.
Rahang Ardit mengetat. Jujur, selama setahun jadi pacarnya, gue jarang lihat ekspresi ini, karena Ardit ini tipekal agak bucin yang suka mengalah.
"Kamu nggak bisa giniin aku," protes Ardit sambil mencengkram pergelangan tangan gue dengan kuat. Dari kilatan matanya semua orang tahu jika Ardit sedang marah. Tahu sendirikan kalau orang jarang marah, sekalinya marah bikin orang jiper.
Gue meringis saat merasakan pergelangan tangan gue yang agak sakit.
"Lepasin, Dit! Sakit," seru gue emosi.
Apalagi saat gue berusaha melepaskan cengkramannya, justru membuat Ardit semakin memperkuat cengkramannya dan itu semakin membuat pergelangan tangan gue sakit.
Ehem
Gue langsung menoleh ke asal suara dan menemukan Arkan berdiri di samping gue, pas.
"Maaf, meng--"
"Siapa lo?" potong Ardit dengan nada suara ketusnya.
Dengan wajah datarnya khas andalannya, Arkan langsung mengulurkan tangannya, lalu mengucapkan namanya secara lengkap dan statusnya sebagai Kakak Shirin.
"Gue mantan pacarnya."
"Saya tidak tanya," balas Arkan. Pandangannya lalu beralih pada pergelangan tangan gue yang masih berada dalam cengkraman Ardit. "Maaf, sepertinya cengkraman tangan anda menyakiti 'mantan pacar' anda. Saran saya lebih baik anda segera melepaskannya."
Ardit berdehem gugup lalu melepaskan tangan gue sambil mengucap kata maaf.
"Sakit tahu. Lo kalau mau nganterin gue nggak perlu maksa sampai nyakitin gue gini dong. Noh, lihat! Sampai merah gini," bentak gue galak. Tangan kanan gue mengelus-elus pergelangan tangan gue yang benar-benar memerah akibat cengkraman Ardit.
Arkan memandang gue. "Berangkat sekarang?" tanyanya kemudian.
Jangan harap ada tatapan lembut nan penuh perhatian. Karena tatapan mata Arkan sekarang datar macem biasa. Padahal gue udah pasang wajah penuh kesakitan gara-gara cengkraman Ardit. Mungkin karena Arkan tahu gue lagi akting kayaknya, jadi ini makhluk hidup biasa aja lihatnya, nggak khawatir sama sekali.
Gue mengangguk, lalu merangkul lengan Arkan dengan sengaja. Dan beruntungnya gue nggak dapat penolakan, ia benar-benar nurut waktu gue geret. Asik. Nggak papa deh pergelangam lengan gue sakit yang penting Arkan mau gue gandeng.
"Sebentar," ucap Arkan sambil menghentikan langkah kakinya lalu berbalik. Gue ikut menghentikan langkah kaki gue dan ikut berbalik.
"Kenapa?" tanya gue bingung.
Arkan kemudian menghampiri Ardit. "Mungkin saya belum tentu akan menjadi masa depan perempuan ini. Tapi, anda harus sadar kalau anda ini hanyalah masa lalu yang tidak diinginkan oleh perempuan ini. Jadi, bisa anda berhenti mengganggu perempuan ini dan fokus ke masa depan anda sendiri?" ucap Arkan tiba-tiba.
Baik gue maupun Ardit sama-sama memasang wajah kaget kami masing-masing. Gue rada tersinggung sih lebih tepatnya. Serius. Perempuan ini? Seenggak sudi itu ya, Arkan manggil nama gue?
Ardit mendesis di sela senyuman mengejeknya. "Perempuan ini," sindirnya tak percaya.
"Ini peringatan pertama dari saya," ucap Arkan mengabaikan sindiran Ardit. Bahkan dengan cueknya ia kemudian meraih telapak tangan gue dan menggenggamnya, lalu meninggalkan Ardit begitu saja tanpa pamit.
Lalu tahu-tahu kami sudah di dalam mobil Arkan, gue nggak begitu sadar gimana tadi masuknya karena kebanyakan melamun. Gue melirik Arkan yang sedang fokus menyetir.
"Nanti pulangnya saya jemput, biar aman," ucap Arkan tiba-tiba. Ia tidak menoleh, masih fokus menunggu lampu merah yang berganti warna hijau.
Tanpa sadar gue mengulum senyum gue. Duh, bahagianya kalau dijemput Arkan tiap hari. Haha
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Siti Utari
eva...hatimu terbuat dari apa nak????
2022-06-01
0
UmmRalinia
nyelekit
2020-12-29
1
(`⌒´メ) HONEY BEAR ✧ 🦕
Haduhh haduh
2020-07-13
1