Letnan Fidell menunggu kedatangan Jenderal Felix dan Dhafin bukan di ruang tamu, tapi di dekat pintu utama masuk. Begitu melihat kedua orang itu datang menghampirinya, dia segara berdiri dari kursinya sambil tersenyum-senyum. Ternyata ikut bersama kedua orang itu Nyonya Carissa dan Ariesha Divya.
"Selamat, Dhafin! Kamu diundang khusus oleh Yang Mulia Raja karena jasamu yang besar itu," kata Letnan Fidell seraya tersenyum bangga.
"Apa maksud ucapanmu, Letnan Fidell?" tanya Jenderal Felix bernada tajam.
"Yang Mulia Raja sudah tahu kalau Dhafin ikut berjasa membongkar kejahatan Pejabat Kota Pendar, Tuan Jenderal," sahut Letnan Fidell dengan santainya tanpa merasa berdosa.
"Siapa yang mengijinkanmu memberitahukannya, Tuan Fidell?" tanya Dhafin bernada dingin. Aura wajahnya yang tampan kini sudah berubah dingin menyeramkan. Sepasang mata kelamnya menatap Letnan Fidell dengan tajam bercampur dingin, sedingin es.
Melihat perubahan itu, Ariesha langsung cemas bercampur kesal. Cemas melihat Dhafin sudah menunjukkan aura kemarahannya, yang meskipun dia anak kecil, tapi kalau sudah marah bisa menyeramkan.
Kesal, karena Letnan Fidell dengan seenak jidatnya membeberkan keterlibatan Dhafin dalam membongkar kejahatan besar di Kota Pendar. Padahal di Kota Pendar ayahnya beserta pasukannya sudah sepakat dengan Dhafin untuk tidak membeberkannya kepada siapa pun sebelum ada persetujuan dari Dhafin.
Nyonya Carissa juga merasa ngeri bercampur khawatir melihat perubahan pada diri Dhafin itu. Dia tidak menyangka anak kecil seperti Dhafin ini bisa menguarkan aura kemarahan yang begitu seram.
"Tidakkah kamu merasa senang aku memberitahukan keandilanmu di hadapan Yang Mulia Raja?" kata Letnan Fidell heran bercampur bingung, kenapa Dhafin merasa tidak senang atas usahanya itu? Padahal itu kesempatan baik untuk mendapat muka di hadapan Raja Kerajaan Amerta?
"Kamu melanggar kesepakatan, Letnan," kata Jenderal Felix sudah menggeram marah. "Dan pula kamu sudah melangkahi wewenangku sebagai seorang pejabat istana. Apa kamu hendak menggantikanku, Letnan?"
"Eh, bukan begitu, Tuan Jenderal," Letnan Fidell masih ngotot membela diri. "Mana aku berani hendak menggantikanmu. Aku hanya berusaha mewakilimu menyampaikannya kepada Yang Mulia. Mungkin kamu belum berani menyampaikannya kepada Yang Mulia demi menjaga perasaan Dhafin, karena dia adalah anak angkatmu."
"Lancang...!"
Bukan Jenderal Felix yang berucap, tapi Dhafin. Nadanya tidak sekeras orang membentak, tapi bernada dingin. Seketika Dhafin merentangkan tangan kanannya ke samping bawah dengan jeriji terkembang. Lalu dimajukan agak ke depan sedikit. Maka hawa udara yang berubah menjadi padat di sekeliling Letnan Fidell berputar cukup kencang.
Letnan Fidell tidak melihat sesuatu yang berputar-putar itu, tapi dia bisa merasakan. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, Dhafin sudah memutar sedikit tangannya sambil kelima jerijinya agak ditekuk sedikit ke dalam. Maka udara padat yang berputar-putar itu langsung melilit dari kaki hingga sekujur badannya berikut kedua tangannya.
Bukan main terkejutnya Letnan Fidell menyadari tubuhnya sudah terlilit sesuatu yang tidak terlihat hingga membuatnya tegang bercampur takut. Tak lama udara padat itu semakin kencang melilit sekujur tubuhnya hingga membuatnya kesakitan, hingga membuatnya sesak napas. Hampir dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya yang kini terlilit kuat. Yang masih bebas bergerak-gerak cuma kepalanya.
"Tuan Jenderal! Apa yang terjadi padaku...?" teriak Letnan Fidell histeris ketakutan bercampur kesakitan.
★☆★☆
Terang saja semua orang yang melihat nasib Letnan Fidell itu, selain Ariesha, terkejut bukan main. Apa yang mereka lihat ini merupakan hal yang luar biasa. Tidak terlihat apa yang menyebabkan Letnan Fidell hingga sedemikian rupa itu, tapi tampak orang itu seperti dililit ular besar. Sementara Letnan Fidell masih saja menjerit-jerit antara ketakutan dan kesakitan.
Sontak Jenderal Felix melihat ke arah Dhafin. Dilihatnya anak itu mengangkat tangan kanannya ke depan setinggi pinggang. Dan sesaat kemudian terdengar Letnan Fidell makin menjerit ketakutan campur kesakitan. Begitu dia melihat cepat ke arah Letnan Fidell, tahu-tahu orang itu sudah terangkat setinggi empat hasta.
Jenderal Felix mau bilang apa saat ini, mulutnya masih belum bisa diajak bicara saking tercengangnya. Bukan dia belum pernah melihat kejadian seperti ini. Dia tahu fenomena ini adalah kekuatan tenaga batin dengan mengendalikan unsur udara yang berubah menjadi padat, sehingga menjadikan udara itu melilit sekujur tubuh Letnan Fidell seperti ulat besar.
Namun kejadian yang luar biasa ini dilakukan oleh bocah seumuran Dhafin. Bukankah hal itu suatu hal yang luar biasa yang mencengangkan?
"Ariesha, apa yang terjadi dengan Tuan Fidell?" tanya Nyonya Carissa tidak mengerti di tengah keterkejutannya.
"Tenang saja, Bunda," kata Ariesha bernada santai. "Kak Dhafin sedang memberi pelajaran pada Tuan Fidell biar dia jera. Salah sendiri siapa suruh melanggar kesepakatan."
Lalu dilihatnya ke arah Dhafin. Tapi dia masih belum mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Dhafin.
"Bunda masih belum mengerti apa maksud ucapanmu," hanya itu yang dapat diperbuat Nyonya Carissa.
"Nanti aku akan jelaskan pada, Bunda."
Sementara itu Dhafin kembali memutar lagi tangannya sedikit sambil ditekuk lagi sedikit kelima jerijinya. Maka hawa padat itu naik melilit leher Letnan Fidell. Dan hawa padat itu semakin kuat melilit sekujur tubuh dan lehernya. Membuat Letnan Fidell semakin tersiksa. Sekujur tubuhnya kini terasa remuk. Tulang-tulangnya seolah-olah hendak patah-patah. Ditambah lagi lehernya tercekik hebat. Wajahnya yang menegang hebat semakin pucat.
"A-ampun..., Dha-fin," ucap Letnan Fidell susah payah karena lehernya tercekat. Napasnya sudah megap-megap. "Hen-tikan...! Hen-tikan...!"
"Aku tahu dalam pikiranmu meremehkan ku, Tuan Fidell," kata Dhafin masih bernada dingin menyeramkan. "Kau menganggap ku masih bocah ingusan sehingga tidak mengindahkan ucapanku."
"A-aku... min-ta... ma-af, Dha-fin...," Letnan Fidell masih terbatah-batah karena lehernya masih tercekik kuat. "Am-puni-lah... a-ku...."
Sebenarnya banyak yang ingin dia ucapkan Letnan Fidell, tapi tidak leluasa. Semakin dia bicara, lehernya semakin terasa sakit.
"Siapa yang percaya ucapanmu? Nyawamu sekarang tergantung kemurahan hati Paman Felix, apa dia mengampuni mu atau tidak. Kalau paman ternyata tidak mengampunimu, maka aku akan meremukkan tubuhmu hingga menjadi seperti tepung."
Jelas Letnan Fidell terintimidasi atas ucapan Dhafin barusan. Dan dia semakin ketakutan di tengah ketersiksaannya. Dia tidak berkata lagi, karena semakin sulit bernapas. Matanya yang medelik besar hanya mampu melirik Jenderal Felix dengan tatapan permohonan.
★☆★☆
Sementara Jenderal Felix menatap wakilnya itu dengan serba salah. Selama Letnan Fidell bermitra dengannya, belum pernah Letnan Fidell melakukan tindakan melangkahi wewenangnya. Dia melakukan tugas kerajaan atas perintah dan persetujuannya.Ini pelanggaran pertama yang dilakukan Letnan Fidell. Namun pelanggaran ini merupakan pelanggaran yang fatal.
Dia dan kelima pasukannya, termasuk Letnan Fidell di dalamnya, sudah bersepakat dengan Dhafin di Kota Pendar untuk tidak menyinggung-nyinggung tentang keandilan Dhafin atas terbongkarnya kejahatan Pejabat Kota Pendar di hadapan Yang Mulia Raja saat mereka melaporkannya.
Namun Letnan Fidell sudah melaporkannya di hadapan Raja Darian Cashel. Bukannya menguntungkan Dhafin, bahkan nyawanya terancam. Dan ini sudah dipahami oleh Jenderal Felix dan semua pasukannya. Karena mereka sudah seringkali menjalani situasi semacam ini.
"Kalau kamu berkenan, lepaskanlah dia dari hukumanmu!" pinta Jenderal Felix akhirnya bagai memohon.
Tanpa banyak pikir, Dhafin segera menurunkan tangannya. Bersamaan dengan tubuh Letnan Fidell ikut turun hingga kedua kakinya menyentuh tanah. Kemudian Dhafin menyentak tangan kanannya itu ke samping kiri. Bersamaan dengan hawa padat yang melilit di tubuh Letnan Fidell buyar. Dan Letnan Fidell langsung jatuh tersungkur. Meski tidak berbahaya, tapi lumayan sakit.
Letnan Fidell tidak lantas bangkit. Dia biarkan dirinya dulu terbaring di lantai halaman depan kediaman Jenderal Felix. Mengatur napasnya sejenak. Mengumpulkan puing-puing nyawanya yang tadi seolah sempat tercerai-berai.
Sementara itu, Nyonya Carissa merasa penasaran akan kejadian ini. Mengapa Dhafin sebegitu marahnya kepada Letnan Fidell hingga hampir membunuhnya? Akhirnya Jenderal Felix menjelaskannya secara garis besarnya. Maka pahamlah Nyonya Carissa. Dan dia langsung bisa mengerti akan kekhawatiran Dhafin.
"Tentu para pejabat istana juga sudah mengetahui akan hal ini, Kanda," kata Nyonya Carissa bernada pilu lantaran memikirkan nasib Dhafin. "Dan kamu pasti sudah mengetahui kalau di antara para pejabat istana itu tidak sedikit yang bersahabat dengan Pejabat Kota Pendar. Dan tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka yang dendam atas terbongkarnya kejahatan Pejabat Kota itu."
Jenderal Felix hanya diam saja mendengar ungkapan kekhawatiran istrinya itu. Dan memang hal itu besar adanya. Kemungkinan besar ada di antara mereka yang dendam. Dan itu berarti nyawa Dhafin sudah mulai terancam.
Sedangkan Ariesha, jangan dibilang, gadis itu sudah bersedih sekarang. Air matanya tidak bisa dibendung, langsung mengalir di pipi halusnya. Dia hanya bisa memeluk ibunya, mencoba menenangkan hatinya yang sedih. Sedih memikirkan nasib kakaknya pada hari-hari ke depannya.
Sementara itu Dhafin sudah menghampiri Letnan Fidell dan menyerahkan dua buah pil obat kepada lelaki muda berwajah tampan itu.
"Apa yang kamu berikan padaku?" tanya Letnan Fidell yang sudah duduk di kursi bernada lesu. Tapi keadaannya masih lumayan kepayahan. Dia seakan pasrah kalau toh Dhafin memberikannya pil racun.
Entah kenapa kesadarannya atas keselamatan Dhafin yang kini mulai terancam baru hadir. Tapi sepertinya hal itu sudah terlambat. Dia berpikir Dhafin itu seperti anak-anak pada umumnya, merasa senang apabila keandilannya dilaporkan kepada Yang Mulia Raja. Bahkan merasa bangga telah berjasa kepada kerajaan.
Akan tetapi Dhafin malah berpikir jauh ke depan. Memikirkan sebuah keselamatan ketimbang kesenangan. Dan Letnan Fidell baru memahaminya sekarang, tapi sudah terlambat. Sudah terlambat....
"Bukan racun, tapi obat untuk memulihkan kembali tenagamu dan menormalkan syaraf-syarafmu, Tuan," kata Dhafin tidak lagi bernada dingin, tapi bernada tenang, bahkan sopan.
Letnan Fidell langsung mengambil obat itu dan meminumnya. Lalu dia berucap dengan nada penyesalan.
"Seharusnya kamu membunuh saja aku tadi," desahnya penuh penyesalan.
"Aku bukan pembunuh, Tuan Letnan," kata Dhafin masih bernada tenang. "Lagipula kematian tuan tidak membawa arti apa-apa."
Ya, kematiannya memang tidak berarti apa-apa. Memikirkan hal itu Letnan Fidell semakin terpuruk dalam penyesalan.
Jenderal Felix dan istri serta putrinya tampak menghampiri Dhafin. Terus Jenderal Felix bertanya dengan tiba-tiba.
"Apa kamu bisa melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini, Dhafin?"
"Bisa," sahut Dhafin setelah terpikir sesuatu, "aku akan menghilangkan ingatan Tuan Fidell tentang diriku."
"Setelah itu?" Nyonya Carissa yang bertanya.
"Paman nanti akan berpura-pura tidak tahu atas keandilanku di hadapan Yang Mulia," tutur Dhafin mengemukakan gagasannya. "Dan saat Tuan Fidell ditanyai ulang atas laporannya, dia sudah tidak ingat lagi."
"Tapi setelah itu," lanjutnya, "Tuan Fidell berada dalam bahaya, karena dituduh memberi laporan palsu."
"Lakukan saja sesuai apa yang kamu rencanakan," kata Letnan Fidell cepat mendahului Jenderal Felix yang hendak berkata. "Tidak usah pikirkan diriku."
Sejurus Dhafin memandang pada Jenderal Felix dan Nyonya Carissa. Sedangkan kedua suami istri itu mengisyaratkan persetujuan. Sebenarnya pikiran Nyonya Carissa sedari tadi tidak berhenti bertanya-tanya apa yang dilakukan Dhafin terhadap Letnan Fidell sehingga membuat orang itu tersiksa? Namun saat ini dia belum bisa bertanya apa-apa.
★☆★☆
Letnan Fidell kini berdiri melutut di hadapan Dhafin dengan kepala sedikit tertunduk, mata terpejam rapat. Tak lama Dhafin menempelkan telapak tangan kirinya yang sudah dibungkus sinar kuning bening pada jidat Letnan Fidell. Sedangkan semua orang yang ada di situ melihat perbuatan Dhafin yang aneh itu.
Beberapa helaan napas berlalu sinar kuning bening yang berasal dari telapak tangan Dhafin langsung membungkus kepala Letnan Fidell. Dan tanpa terasa hampir sepenanakan nasi Dhafin melakukan pekerjaannya.
Setelah itu Dhafin menyentak tangan kirinya itu ke belakang agak kuat dan agak cepat sambil menguncup kelima jarinya hingga membentuk kepalan. Bersamaan dengan sinar kuning bening yang tadi membungkus kepala Letnan Fidell tertarik, seolah-olah Dhafin mencerabut sesuatu dari dalam kepala Letnan Fidell. Hampir bersamaan Letnan Fidell langsung jatuh begitu saja. Pingsan.
"Kapan dia siuman, Dhafin?" tanya Jenderal Felix. "Dia tidak apa-apa 'kan?"
"Tidak apa-apa, Paman. Satu penanakan nasi dia siuman."
"Setelah itu kita langsung ke istana menghadap Yang Mulia," kata Jenderal Felix memberi tahu.
"Sebenarnya aku tidak mau mendatangi istana, Paman," desah Dhafin. "Tapi apa boleh buat masalah ini harus diselesaikan di istana...."
★☆★☆★
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
aku
aku malahan hobi selang
kangan,...wew
2024-10-23
1
Abiyyu Sultan
sepertinya autor hobi menanank nasi.. 😂😂😂😂
2022-10-22
2
Harman LokeST
di berikan pelajaran
2022-09-17
1