Aliesha dan bocah tabib itu telah sampai di depan pintu masuk kabin yang ditempati Lavina Aneska. Dua orang pengawal yang berpakaian biasa yang menjaga pintu langsung berdiri begitu Jessica Aliesha datang. Baru saja dia hendak mengetuk pintu, pengawal sebelah kanan menegurnya dengan sikap hormat.
"Maaf, Nona Jessica. Siapakah yang Nona bawa ini?"
"Bocah Tengik ini teman aku," sahut Aliesha menjelaskan. "Tenang saja, dia tidak bakalan merusuh. Aku yang akan cekik lehernya kalau berani macam-macam di kamar Nona Aneska."
Mendengar ucapan Aliesha, bocah lelaki itu seketika menatap Aliesha dengan tatapan ngeri. Tanpa sadar tangan kirinya mengelus pelan lehernya. Terus dia berucap dengan suara dinginnya.
"Saya diajak ke sini cuma mau dibunuh apa mau mengobati orang sakit?"
"Mau dibunuh kalau kamu macam-macam!" sungut Aliesha bernada ketus.
"Maaf, Nona Jessica, inikah tabib yang katanya telah menyembuhkan juragan kaya itu?" tanya pengawal itu bernada heran, tapi dengan sikap hormat.
Baru saja Aliesha hendak menjawab pertanyaan pengawal itu, Aneska sudah memanggil dari dalam kamar.
"Kak Aliesha!"
"Ya, tunggu, Nona!"
"Paman pengawal, aku masuk dulu. Itu Tuan Putri sudah memanggil."
"Oh, silahkan, Nona!"
Setelah pintu kabin dibuka pengawal itu, barulah Aliesha masuk. Tak lupa dia menarik tangan bocah itu untuk diajak masuk pula. Sementara Aneska kini sudah duduk bersandar di dinding kamar bagian kepala tempat tidur sambil membaca buku tebal. Posisinya berada agak di tepi sebelah kanan tempat tidur, searah pintu masuk. Begitu menyadari Aliesha dan bocah itu sudah masuk, dia langsung menoleh dan menatap bocah itu dengan sinis. Lalu menatap ke arah pintu masuk seakan mencari seseorang.
"Mana tabib yang katanya kamu mau bawa ke sini, Kak Aliesha?" sungut Aneska. "Malah kamu membawa Tikus Kecil kesini."
"Ini tabibnya, Nona," kata Aliesha sambil menunjuk bocah itu yang berdiri di samping kirinya agak ke belakang.
Aneska kembali menatap sinis pada si bocah dengan keheranan. Dia tidak menyangka kalau tabib yang telah menyembuhkan juragan kaya ternyata masih bocah begini. Apakah Aliesha cuma bercanda? Sementara si bocah yang ditatap juga menatap Aneska, tepatnya mengamati raut wajah dan mata Aneska.
"Tikus Kecil ini yang kamu bilang tabib?" tanya Aneska keheranan. "Kamu tidak sedang bercanda 'kan, Kak?"
"Aku tidak bercanda," kata Aliesha meyakinkan. "Dia ini memang tabibnya."
"Tapi rasanya aku tidak yakin kalau Tikus Kecil ini bakalan menyembuhkan penyakitku," ungkap Aneska sangsi. "Masalahnya, penyakitku ini sudah ditangani oleh banyak tabib, bahkan terkenal."
"Nona, apa salahnya kita coba," Aliesha masih membujuk. "Lagipula aku sudah mengujinya. Menurutku dia sudah masuk kategori tabib."
"Hhh.... Terserah kamulah," Aneska akhirnya pasrah juga.
"Hei, Bocah Tengik! Lekas periksa Nona Aneska!" perintah Alisha cepat.
"Nona Jessica," kata bocah itu menyebut nama depan Aliesha. "Kalau Tuan Putri tidak percaya saya untuk mengobati penyakitnya, tidak usah dipaksakan."
"Panggil aku Aliesha, bukan Jessica," tegur Aliesha meralat panggilan bocah itu padanya.
"Biasanya orang itu dipanggil nama depannya," sanggah bocah itu berpendapat.
"Kamu mau mulai bertengkar lagi hah?" sungut Aliesha mulai emosi lagi. "Sekarang, cepat periksa Nona Aneska!"
"Baik."
Akhirnya bocah itu mengalah lagi, daripada urusan berkepanjangan. Setelah urusannya selesai disini, dia ingin cepat-cepat pergi. Tidak ingin berlama-lama. Dari pengamatannya tadi, dia sudah bisa meraba penyakit apa yang diderita Tuan Putri Kecil ini.
★☆★☆
Setelah meletakkan tasnya di atas kursi tak jauh dari tempat tidur, bocah lelaki itu akan segera memulai pekerjaannya. Tapi sebelumnya dia melakukan penghormatan dulu kepada Aneska. Tangan kanannya diletakkan di dadanya, tangan kiri di belakang, terus kepala berikut badannya tertunduk sedikit. Lalu berkata seolah meminta perijinan.
"Tuan Putri Aneska, ijinkan saya memeriksa keadaan Tuan Putri dulu."
Diperlakukan sedemikan sopan dan hormatnya begitu, gadis siapa yang tidak tersanjung. Termasuk Aneska ini. Dia langsung terkesan akan kesopanan bocah ini. Meskipun sebenarnya dia tidak terlalu menuntup setiap orang untuk terlalu resmi dalam menghormatinya sebagai Tuan Putri.
"Kalau kamu mau periksa, periksa saja," kata Aneska ketus seolah tidak mau menunjukkan kalau dia terkesan dan tersanjung atas penghormatan bocah itu. "Tidak usah pakai hormat-hormat segala."
"Baik, Tuan Putri."
"Kamu cukup memanggilku Aneska saja, tidak perlu pakai embel-embel Tuan Putri segala," anjur Aneska masih ketus.
"Tapi, Tuan Putri, permintaan Tuan Putri itu sudah melanggar etika," sanggah si bocah dengan lembut tapi masih bersuara dingin.
"Kenapa kamu itu begitu keras kepala hah?" sungut Aneska tambah ketus. "Hal seperti itu saja kamu sudah ajak berdebat. Tinggal turuti saja kenapa?"
"Baik, Tuan... eh Nona Aneska."
"Ya, sudah, silahkan kamu periksa keadaanku!"
Karena Aneska duduk agak ke tepi tempat tidur, maka tidak perlu bocah itu naik ke tempat tidur. Sejenak dia memeriksa denyut nadi Aneska. Sedangkan Aliesha sudah mengambil tempat di sebelah kiri Aneska di atas kasur.
Setelah memeriksa nadi Aneska, bocah tabib itu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis kecil berpakaian tebal dan berbulu itu, dan berhenti berjarak kurang dari dua jengkal, terus mengamati sepasang mata dan bibir si gadis kecil dengan teliti.
Tapi perbuatan bocah itu membawa perasaan lain bagi Aneska. Melihat wajah tampan si bocah begitu dekat, merasakan tatapan mata si bocah yang hitam kelam, membuat perasaan Aneska bergetar. Jantung berdegup cukup kentang. Terasa ada desiran halus di dalam relung hati. Entah perasaan gila apa yang dirasakannya ini, dia sendiri tidak tahu.
"Kenapa kamu malah menatapku seperti itu?" ketus Aneska dengan agak gugup.
"Jangan bergerak dulu, Nona Aneska!" cegah si bocah sambil cepat menahan pipi kiri Aneska yang hendak melengos dengan tangan kanannya.
"Apa yang kamu lakukan?"
Plaaak!
Dengan telak telapak tangan kanan Aneska menampar pipi kiri bocah itu. Meski tidak terlalu keras dan tidak sampai meninggalkan bekas, tapi cukup panas. Lebih daripada itu si bocah sudah dua kali kena tampar hari ini. Hati siapa yang tidak geram kalau begitu. Tapi bocah itu sudah pandai menekan perasaannya agar tidak emosi.
"Saya sedang memeriksa keadaan Nona," kata bocah tabib itu dengan menekan suaranya yang hasilnya bernada dingin. "Mestinya Nona memahaminya. Tapi kenapa Nona tidak bisa bekerja sama?"
"Tapi kenapa kamu harus menatapku begitu lama?" ketus Aneska masih tidak terima.
"Itu bagian dari pemeriksaan, Nona," ungkap si bocah.
Lalu Aneska menoleh ke Aliesha yang tampak tersenyum-senyum. Kini wajah gadis itu melengos ke arah lain saat tahu Aneska menoleh ke arahnya.
"Kenapa kamu senyum-senyum, Kak Aliesha?" tegur Aneska kesal. "Apa kamu senang Tikus Kecil ini mempermainkan aku?"
"Dia tidak mempermainkanmu, Nona," kata Aliesha sambil menahan senyumnya. "Seperti katanya tadi itu bagian dari pemeriksaan."
Lalu Aneska menoleh dan menatap tajam pada bocah tabib itu dan berkata sinis bercampur ketus, "Apa memegang pipiku bagian dari pemeriksaan?"
"Kalau Nona tidak bergerak, itu tidak akan terjadi," kata bocah itu membela diri.
"Alasan! Sekarang, apa kamu sudah selesai memeriksa keadaan penyakitku?" tanya Aneska masih ketus.
"Nona terkena 'Racun Es Merah'," jelas si bocah.
★☆★☆
Baik Aneska maupun Aliesha tidak paham nama penyakit yang diderita Aneska. Mereka juga tidak pernah mendengar dari tabib-tabib yang mengobati Aneska menyebut nama itu. Setiap kali Aneska maupun Aliesha bertanya kepada tabib-tabib itu, selalu dijawab tidak apa-apa, racunnya bisa disembuhkan. Aneska juga bertanya kepada ayahandanya, tidak dijawab pula. Seakan mereka itu menyembunyikan sesuatu darinya.
Namun baik Aneska maupun Aliesha tidak mau tahu apa itu 'Racun Es Merah'. Yang mereka mau tahu apakah dapat disembuhkan atau tidak.
"Apa kamu bisa menyembuhkan racun itu?" tanya Aliesha langsung.
"Sebelum saya jawab apa saya bisa meminta sesuatu?" tanya si bocah yang kini sudah duduk di kursi.
"Kamu itu baru juga kerja setengah sudah minta upah," sungut Aneska yang sepertinya salah tanggap.
"Apa yang kamu minta?" tanya Aliesha yang sedikit mengerti maksud pertanyaan bocah lelaki itu.
"Bisakah kita kerjasama dalam proses penyembuhan?"
"Coba kamu terangkan maksudmu apa sebenarnya?" kata Aliesha yang masih agak bingung.
"Saya bisa lihat kaki Nona Aneska dulu?" tanya bocah itu seakan tak menggubris pertanyaan Aliesha.
Tanpa berlama-lama Aliesha langsung menyingkap sedikit selimut yang membungkus kaki Aneska, terus membuka kedua kaos kakinya. Sedangkan bocah itu segera mendekat, dan terus mengamati kedua kaki Aneska tanpa menyentuh. Setelah bocah itu merasa cukup, Aliesha mengenakan lagi kedua kaos kaki Aneska dan membentangkan lagi selimut yang tadi disingkap sedikit.
"Racun itu sudah menyebar ke seluruh peredaran darah," terang bocah tabib itu setelah kembali duduk di kursinya, "dan sudah mencapai setengah dari proses pembekuan darah. Sehingga proses penyembuhannya tidak cukup hanya menelan pil obat saja, melainkan harus disalurkan energi inti panas dan energi inti penyembuh ke seluruh peredaran darah."
"Ya sudah, lakukan saja," kata Aneska tanpa mau banyak pikir.
"Saya harus menyalurkan dua energi itu melalui punggung Nona tanpa penghalang kain."
"Maksudmu tanpa pakai baju begitu?" tanya Aneska tercengang.
"Mungkin seperti itu," kata bocah lelaki itu seakan tidak tega berterus terang.
"Ah, tidak! Tidak mau!" tolak Aneska langsung. "Enak saja kamu mau menyentuh tubuhku."
"Huh, paling itu akal-akalanmu saja, Bocah Tengik," tuduh Aliesha bernada sinis.
"Tidak ada untungnya saya mempermainkan kalian. Apa yang saya ucapkan adalah fakta, bukan kebohongan."
"Apa tidak ada cara lain," kata Aliesha mencoba menawar. "Misalnya dengan meminum pil secara rutin. Atau boleh menyalurkan kedua energi itu, tapi dengan tanpa melepas baju. Apa bisa?"
"Seperti yang saya sudah katakan tadi, penyembuhan ini tidak cukup hanya minum pil obat saja meski secara rutin. Lagipula, energi inti panas dan energi inti penyembuh yang saya miliki belum mencapai taraf sempurna, masih setengah. Kalau saya paksakan, bukan saja proses penyembuhan tidak lancar, bahkan tidak berhasil. Sedangkan saya sudah kehabisan tenaga, bahkan bisa mati."
Aliesha tercenung sejenak memikirkan semua keterangan bocah itu. Aneska pun sepertinya juga demikian. Tapi dia sepertinya masih belum menyetujui proses penyembuhan yang dimaukan bocah itu.
★☆★☆
"Nona Aneska! Sekarang apakah semakin sering demam?" tanya bocah itu tiba-tiba di saat kedua gadis itu masih tercenung.
"Ya, bahkan beberapa kali demam tinggi," Aliesha yang menyahut.
"Tiap berapa hari Nona Aneska menggigil hebat?" tanyanya lagi. "Tiap empat hari atau tiga hari?"
"Tiap tiga hari," sahut Aliesha lagi kaget juga, kok bocah itu menebak nyaris tepat?
"Berarti sekarang dalam sehari menggigil dua kali."
"Kok kamu bisa menebak dengan tepat?" Aliesha tambah tercengang heran. Dan Aneska juga demikian.
"Saya bukan menebak, tapi kepastiannya memang begitu."
Aliesha dan Aneska hanya bisa saling memandang. Mereka tidak menyangka pengetahuan bocah itu dalam ilmu ketabiban sudah begitu jauh. Padahal usianya tidak jauh dari mereka. Lebih tidak menyangka lagi bocah itu telah mengetahui penyakit Aliesha secara rinci.
"Kalau mau diibaratkan angka dari satu sampai tiga," terang bocah tabib tanpa diminta, "penyakit Nona ini sudah mencapai angka dua. Dan proses dari angka dua ke angka tiga tidak berlangsung lama."
"...paling tidak Nona menggigil hebat tiap dalam tiga hari cuma tinggal satu bulan lagi," lanjutnya. "Setelah itu selama dua bulan Nona menggigil tiap dua hari, dan dalam sehari Nona menggigil tiga kali. Setelah itu Nona menggigil setiap hari dan sebanyak empat kali...."
Bukan hanya Aneska dan Aliesha yang makin tercengang mendengar penjelasan bocah lelaki itu. Empat orang pelayan yang duduk bersimpuh di lantai kabin pun tidak kalah tercengangnya. Lebih-lebih lagi seorang pelayan berusia empat puluhan. Sedari tadi dia menatap Aneska dengan tatap sendu.
Dia dan tiga pelayan lainnya sudah melihat sendiri bagaimana menderitanya Tuan Putri mereka ketiga menggigil. Harus memakai pakaian tebal tiap hari. Dan tidak bisa berlama-lama berada di luar ruangan.
"Ah, kamu cuma menakut-nakuti aku saja 'kan?" kata Aneska asal saja demi mengatasi kekalutannya.
Bocah lelaki itu tidak menanggapi. Dia berdiri dari kursi setelah meraih tasnya yang tadi di samping kursi sebelah kanan. Setelah itu dia berkata bernada datar.
"Nona sudah bisa menghitung 'kan berapa lama lagi Nona akan hidup?"
Setelah itu dia melangkah sambil menyampirkan tas di belakang punggungnya, siap meninggalkan ruangan ini.
"Kamu mau kemana?" tanya Aliesha yang sebenarnya hendak menahan kepergian bocah itu.
"Bukankah Nona Aneska tidak mau diobati?" bocah itu terus berjalan. "Jadi, buat apa saya berlama-lama di sini?"
"Aku bukannya tidak mau diobati, tapi... Hu hu hu...," kata Aneska dengan suara tercekat. Setelah itu tangisnya langsung meledak, air matanya langsung tertumpah begitu saja. Kesedihan mendalam langsung menderanya, membayangkan berapa lama lagi dia akan bertahan hidup. Dan Aliesha langsung memeluk bahunya dengan erat. Matanya juga tampak berkaca-kaca, tapi belum sampai menangis.
Namun sepertinya si bocah tidak terpengaruh akan tangisan Aneska yang begitu memilukan, terus saja melangkah tanpa henti, diiringi oleh tatapan Aneska yang masih berderai air mata. Diiringi tatapan Aliesha yang berkaca-kaca yang sepertinya menyiratkan pelarangan bocah tabib itu untuk pergi. Tapi kenapa dia seakan tidak bisa mencegahnya? Dia juga tidak mengerti.
★☆★☆★
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
Dian Dian
bab pertama aja,,critax terlalu crewet,,,terlalu bodoh mcx
2023-04-08
2
Wahyu agung Maulana akbar
mantap Thor semangat buat updatenya 👍🏻
2022-12-20
1
Red Pluto
skiplah ni cerita ,masa heroin gx punya otak, orang mana yang akan bersikap kasar pada orang yang akan dimintai tolong, terus mcnya kata punya masa lalu yg kelam, eh dia terima aja dipermainkan orang.
2022-11-26
1