Di suatu malam setelah dua bulan berlalu....
Malam terus merangkak saat demi saat. Gelap menghampar membungkus Kota Pendar. Kini kota itu sudah terlelap tidur dibuai oleh angin malam yang dingin.
Saat itu Dhafin tengah berada di balkon kamar penginapannya. Kepalanya sedikit mendongak menatap langit yang kelam. Malam ini langit hanya berhias bintang, tak ada sang dewi malam bergelayut.
Meski sepasang mata kelam Dhafin menatap langit, tapi pikirannya tengah menerawang. Menerawangi kehidupannya yang amat menyedihkan ini. Nasibnya kini sama persis dengan Ariesha, tidak punya lagi orang tua. Hidup sebatang kara menjalani kehidudupan yang keras ini.
Beberapa hari sebelum dia meninggalkan gua tempatnya selama lima tahun tinggal dalam persembunyiannya, Siluman Kalyan, gurunya telah menceritakan riwayat hidupnya yang sebenarnya.
Siluman Kalyan, dengan kemampuannya bisa melihat masa lalu, menceritakan kepadanya kisah tragis yang menimpa keluarganya. Kerajaan kakeknya direbut oleh pemberontak yang didalangi oleh salah seorang selir kakeknya dan dibantu oleh adik sang selir jahat itu.
Sang selir jahat meracuni kakeknya hingga terbunuh. Pula membunuh neneknya, sang permaisuri. Sedangkan adik sang selir bersama anak buahnya yang begitu banyak dan memiliki kehebatan tinggi membantai banyak perwira dan pejabat istana yang masih mendukung pemerintahan kakeknya.
Dalam peristiwa itu pulalah ayah dan ibu serta istri ayahnya yang lain ikut terbunuh. Beruntung dia dan saudaranya dari ibu yang lain berhasil diselamatkan oleh dua pelayan. Salah satu pelayan itu adalah bibi yang mengasuhnya selama lima tahun. Dan pada akhirnya bibinya ikut terbunuh pula setelah anak buah sang selir jahat mengetahui persembunyiannya.
Dalam peristiwa itu pula, salah seorang selir kakeknya berhasil selamat dari tragedi berdarah itu dan membawa putrinya. Hingga peristiwa ini diceritakan padanya, selir dan putrinya itu belum diketahui keberadaannya oleh anak buah sang selir jahat. Juga saudaranya dari ibu yang lain belum diketahui keberadaannya. Sedangkan dia sendiri sudah dinyatakan lenyap alias tidak ada di dunia karena mati akibat jatuh ke dalam jurang.
Ketika mengenang kembali peristiwa itu, rasanya teramat sakit dan amat memilukan. Akan tetapi apa mau dikata Dhafin harus menjalani semua takdir menyedihkan itu. Apakah dia harus dendam kepada selir jahat itu yang juga terhitung neneknya atau tidak? Apakah dia juga harus dendam kepada anak sang selir yang sekarang naik tahta, sesuai yang dikabarkan Siluman Kalyan, atau tidak? Yang mana raja baru itu terhitung pamannya.
Memikirkan nasibnya di masa depan, Dhafin menjadi bingung sekaligus risau. Kalau dia membalas dendam kepada sang selir dan pamannya itu, akan terulang lagi tragedi berdarah, dan darah kembali tertumpah membasahi istana kakeknya. Namun kalau dia tidak menghentikan kejahatan sang selir dan pamannya, tentu kejahatan akan terus bersemayam di istana kakeknya. Sungguh membingungkan.
Untuk saat ini dia tidak mau dulu mendekati orang-orang bangsawan. Mengingat orang-orang bangsawan membuat hatinya semakin pilu. Itulah makanya dia tidak mau berteman dengan Putri Aneska dan Nona Aliesha, karena dua gadis kecil itu jelas-jelas anak bangsawan.
★☆★☆
Dhafin segera bangun dari lamunan panjangnya. Kepalanya sedikit merunduk, lalu mata kelamnya memandang ke jalan. Tanpa sengaja dia melihat seseorang yang tengah menarik paksa sesosok tubuh kecil yang mulutnya dibekap oleh orang itu. Dhafin menduga sosok kecil yang ditarik paksa itu adalah anak kecil seusia Ariesha.
Menyusul di belakang orang itu dua orang lainnya. Tampak kepala dua orang yang ada di belakang itu celingak-celinguk bagai pencuri yang takut ketahuan. Mereka terus berjalan cepat mengikuti orang yang di depannya yang membawa paksa anak kecil.
Belum jelas siapa tiga orang yang menangkap anak kecil itu. Tapi Dhafin bisa menduga kalau tiga orang itu bukanlah para berandalan pasar yang telah dihajar sekitar hampir lima bulan yang lalu.
Begitu tiga orang penangkap anak-anak itu hilang di belokan jalan, Dhafin langsung melompat turun ke bawah dengan cepat. Jarak dari balkon ke bawah sekitar tujuh hasta. Tapi anak seusia Dhafin yang sebentar lagi 11 tahun dengan mudah melakukannya. Dan mendarat ke tanah dengan baik dan cukup ringan, nyaris tak bersuara.
Setelah sampai di tanah, Dhafin langsung menggenjot tubuhnya, berlari dengan kencang menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dan cukup cepat dia sudah sampai di belokan jalan dan langsung bersembunyi di sudut toko. Lalu mengintai tiga orang tadi yang menuju sebuah kereta penumpang tak jauh lagi jaraknya.
Kemudian Dhafin mengendap-endap lebih mendekat lagi. Saat mereka tiba di kereta, salah seorang menengok ke belakang. Maka dengan cepat Dhafin menyembunyikan dirinya di salah satu tiang bangunan toko yang cukup besar.
Begitu tiga orang itu masuk ke dalam kereta bersama 'barang tangkapan' mereka, dengan gerakan cepat Dhafin mendekati kereta dari arah belakang. Terus melompat naik ke atas kereta bersamaan kereta berjalan. Tubuhnya cukup ringan mendarat di atap kereta dengan posisi berjongkok, sehingga tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Lalu segera berbaring tengkurap.
Sepanjang kereta berjalan, Dhafin terus mengamati keadaan sekitar yang masih terdapat bangunan toko dan rumah penduduk kota. Dan semakin lama kereta berjalan, semakin meninggalkan pemukiman kota. Sepertinya kereta ini akan pergi ke suatu tempat yang jauh dari pemukiman.
Di tengah kereta berjalan, Dhafin mendengar suara tiga orang itu berbicara.
"Dasar, Bocah Sialan!" hardik salah seorang yang entah siapa. "Mau coba-coba melarikan diri hah?!"
"Hei! Kau jangan sampai menamparnya!" kata yang lain yang sepertinya mencegah kawannya yang akan menampar si bocah.
"Benar. Kalau sampai 'barang' ini lecet sedikit saja, Juragan akan marah besar," kata yang lain lagi. "Juragan maunya 'barang'nya mulus sebelum dikirim."
"Habisnya aku kesal sekali," kata orang yang pertama tadi mendongkol. "Sudah ditangkap, mau coba melarikan diri!"
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan," kata orang yang kedua menenangkan. "Sudah biasa pekerjaan kita begitu. Yang penting 'barang' Pejabat Kota tidak lecet."
Saat orang yang kedua menyebut Pejabat Kota sebagai pemilik 'barang', Dhafin langsung kaget bukan main. Rupanya perdagangan manusia ini didalangi oleh Pejabat Kota.
"Kapan 'barang' akan dikirim?" tanya orang pertama.
"Tiga hari lagi," sahut orang ketiga. "Tepatnya jam sepuluh malam."
"Apa seperti biasa Kapten Darius memeriksa 'barang'?" tanya orang kedua.
"Itu sudah pasti," sahut orang ketiga. "Sebelum jam sepuluh Kapten Darius akan datang memeriksa 'barang'. Setelah itu 'barang' akan dikirim dari markas ke pelabuhan tepat jam sepuluh."
Tak ada lagi suara orang berbicara. Kereta terus berjalan semakin jauh dari pemukiman. Dhafin terus mengamati keadaan sekitar yang ternyata ditumbuhi banyak pepohonan.
★☆★☆
Dari jarak 20 tombak Dhafin melihat sebuah rumah yang berdiri sendiri. Di sekitarnya tampak pepohonan yang menghitam. Dhafin yakin ke situlah kereta ini menuju. Setelah itu dia melenting ke belakang kereta, lalu segera berlari cepat bersembunyi di balik pohon.
Sementara kereta itu semakin mendekati rumah yang sendiri itu. Dan tak lama kemudian, kereta itu berhenti di depan pintu masuk. Sedangkan Dhafin sudah mengambil posisi tidak jauh dari rumah itu, tepatnya sebelah kanan. Beruntung pohon di sekitar sini lumayan besar-besar. Sehingga memudahkan dia mengintai tanpa ketahuan.
Tiga orang tadi yang semuanya lelaki dewasa keluar dari kereta bersama bocah kecil yang ternyata perempuan. Mulut gadis kecil itu dibekap oleh kain putih, sedangkan tangannya terikat. Sementara si kusir kereta yang sudah turun duluan tampak mengetuk pintu sambil memanggil seseorang.
Tak lama pintu terbuka lebar lalu keluar seorang lelaki brewok. Lalu terdengar suaranya yang agak besar dan parau bertanya bernada agak marah bercampur kesal.
"Kenapa lama sekali?"
"Biasa, 'barang' sempat melarikan diri," sahut kusir itu santai.
Lalu dia kembali ke kereta. Terus membawa kereta itu ke belakang rumah. Sedangkan tiga lelaki dewasa itu masuk ke dalam rumah bersama bocah perempuan malang itu. Tampak bocah itu manut saja. Jelas, dia tidak bisa apa-apa lagi sekarang. Kemudian lelaki brewok menutup pintu. Hampir bersamaan terdengar pintu dikunci.
Sementara itu, setelah merasa aman, Dhafin keluar dari persembunyian. Terus dengan cepat melenting ke udara naik ke atas atap. Begitu ujung kaki kanannya menotok ujung atap, tubuhnya kembali melenting dan mendarat di bagian pertengahan atap. Sejenak dia terdiam sambil tengkurap di situ, mengamati situasi. Kemudian telinganya dipasang baik-baik untuk mendengar apa saja yang terdengar dari dalam rumah.
Setelah memastikan apa yang dicarinya, kemudian dia bergeser ke sebelah kanannya beberapa langkah. Setelah itu dia membuka satu buah atap genteng rumah pelan-pelan dan hati-hati.
Begitu atap genteng berhasil dia buka, segera dia menengok ke bawah. Dan saat itu juga dia terkejut bukan main. Betapa tidak? Di bawah sana, tepatnya di sebuah kamar terdapat sepuluh anak perempuan. Empat anak kira-kira berumur 13-15 tahun. Mereka tidur di dipan sebelah kanan kamar. Dan enam anak kira-kira berumur 8-10 tahun. Mereka tidur berjejer di dipan sebelah kiri kamar.
Sembilan orang anak tampak tidak bergerak-gerak lagi. Mungkin sudah tertidur pulas. Yang seorang tampak masih sedikit bergerak. Sepertinya anak itu yang baru datang tadi.
Sejenak Dhafin mengamati keadaan kamar yang cukup besar cukup bersih itu. Pintu kamar tampak terkunci rapat. Tidak ada jendela di kamar itu. Memeng benar-benar cocok untuk kamar 'penampungan barang'.
Setelah dirasa cukup mengamati keadaan anak-anak yang malang itu dalam keadaan baik-baik saja, Dhafin lalu memasang kembali genteng yang dibuka tadi. Kemudian dia menajamkan pendengaran, menyimak pembicaraan beberapa orang di dalam rumah. Namun semuanya hanya percakapan biasa.
Kemudian dia turun ke bawah, dan langsung meninggalkan tempat itu. Meskipun gelap, Dhafin masih dapat melihat. Dan dia rupanya sudah menghafal jalan menuju ke pemukiman kota meski baru sekali mengamati. Tidak lama kemudian, tubuh kecilnya sudah hilang ditelan gelap malam.
★☆★☆
Pada pagi harinya Dhafin langsung menceritakan kejadian semalam kepada Ariesha di kamar mereka.
"Kakak pergi sendiri?" tanya Ariesha bernada ngeri.
"Iya, emang sama siapa?" sahut Dhafin santai.
"Kakak tidak apa-apa 'kan?" tanya Ariesha khawatir sambil meraba-raba wajah berikut tubuh Dhafin. Ingin memastikan kalau tidak terjadi apa-apa di situ.
"Kakak tidak apa-apa," sahut Dhafin menenangkan sambil tersenyum. "Kamu tenang saja."
"Aku takut kakak kenapa-napa," kata Ariesha masih cemas bercampur sedih. "Mereka itu orangnya kejam-kejam. Dan tidak kenal takut dalam membunuh."
"Sudahlah, kamu tidak usah terlalu khawatir begitu. Buktinya kakak tidak apa-apa 'kan?"
"Sekarang kamu dengar aku, ada berita yang lebih menarik lagi," kata Dhafin setelah melihat Ariesha agak tenang.
"Berita apa, Kak?" tanya Ariesha penasaran.
"Tahu tidak siapa juragan yang mendalangi penjualan manusia itu?" tanya Dhafin seraya menatap serius Ariesha.
"Siapa, Kak?" Ariesha makin penasaran.
"Pejabat Kota," sahut Dhafin pelan bagai berbisik, takut ada yang mendengar ucapnnya.
"Pejabat Kota...!" kejut Ariesha dengan suara agak tinggi.
"Ssst...! Jangan keras-keras suaramu!" kata Dhafin pelan dengan suara ditekan sambil telujuk kiri di letakkan di bibir. "Nanti ada yang dengar!"
"Pe...pejabat Kota...!" kali ini suara Ariesha pelan bagai berbisik. Tapi nadanya terkejut seakan tidak percaya. "Apa kakak yakin?"
"Yakin sekali," tutur Dhafin sungguh-sungguh. "Aku jelas-jelas mendengar orang-orang itu menyebut Pejabat Kota sebagai yang punya 'barang'. Artinya penangkapan sepuluh anak itu atas suruhan Pejabat Kota."
"Kalau kota ini terus dipimpin oleh dia," kata Ariesha bergumam, "bisa habis anak-anak perempuan dijual olehnya."
"Masih ada satu nama lagi yang mereka sebut yang aku menduga dia adalah wakil dari Pejabat Kota dalam perdagangan terlarang ini?"
"Siapa itu, Kak?"
"Kapten Darius...."
"I...itu 'kan Kepala Keamanan Kota...," kata Ariesha kembali terkejut.
Dia tidak menyangka ternyata kota ini dipimpin oleh dua orang berhati busuk itu. Pantas saja kejahatan di kota ini tidak terlalu digubris oleh orang-orang pemerintahan kota, ternyata Pejabat Kota dan Kepala Keamanan Kota dalang dari kejahatan busuk itu.
"Sekarang yang aku pikirkan bagaimana cara menggagalkan perdagangan manusia ini," kata Dhafin seolah menemukan jalan buntu. "Waktunya tinggal tiga hari."
"Maksud kakak?" tanya Ariesha tidak mengerti.
"Tiga hari lagi anak-anak itu akan diangkut ke kapal untuk dijual, Ariesha."
"Tidak mungkin kamu yang akan terjun langsung untuk menggagalkannya 'kan, Kak?" kata Ariesha sebagai isyarat larangan terhadap Dhafin untuk terlibat sendiri.
"Kita harus minta bantuan kepada orang pemerintahan selain Pejabat Kota dan Kepala Keamanan Kota," kata Dhafin seolah tahu maksud ucapan Ariesha.
"Sebenarnya kalau kita melaporkan kejadian inj kepada pejabat istana, waktunya masih bisa keburu," kata Ariesha memberi gagasan. "Tapi kalau kita anak kecil yang melapor, apa mereka mau percaya?"
"Eh, katamu pernah seorang pejabat istana mendatangimu," kata Dhafin setelah agak lama membisu. "Apa setelah kamu menolak untuk ikut dengannya dia mendatangimu lagi?"
"Dia cuma mendatangiku sekali itu saja," sahut Ariesha. "Setelah aku menyamar menjadi laki-laki dia tidak mendatangiku lagi. Sepertinya dia tidak mengetahuiku lagi."
"Semoga saja dia datang lagi dan melihatmu sudah kembali menjadi perempuan terus menemuimu."
Ariesha tidak menanggapi ucapan Dhafin itu. Dia diam saja. Sehingga kebisuan menyergap mereka.
★☆★☆★
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
Purwanto aza
keren ceritanya thor
2023-11-15
2
Harman LokeST
dalam kesendirian berani menghadapi para penjahat
2022-09-17
2