Hari itu Kota Pendar seketika gempar. Betapa tidak? Pejabat Kota yang dikenal oleh penduduk sebagai bangsawan yang baik bahkan dermawan, kini ditangkap oleh pejabat istana dengan tuduhan melakukan perdagangan terlarang, yaitu perdagangan manusia. Bukan dia saja, Kepala Keamanan Kota ikut ditangkap pula dengan tuduhan membantu Pejabat Kota dalam perdagangan terlarang itu.
Semua bukti memberatkan kedua orang itu. Pengakuan dari enam anak buah Pejabat Kota serta barang bukti berupa sepuluh anak perempuan yang akan dijual. Serta tertangkapnya juragan kapal barang sebagai pihak yang akan mengirim anak-anak itu untuk diperdagangkan.
Betapa penduduk kota amat bersukacita atas tertangkapnya para pelaku perdagangan manusia. Dan rasa terima kasih mereka kepada Pejabat Penyelidikan Rahasia beserta pasukannya yang begitu besar atas keberhasilan mereka dalam menggagalkan perdagangan terlarang itu, bahkan berhasil menangkap pelakunya. Dan mereka tidak menyangka dalang pelaku kejahatan besar itu adalah Pejabat Kota. Itulah mengapa kota itu begitu gempar.
Maka bagaimana jika mereka mengetahui kalau ada seorang bocah yang punya andil besar atas keberhasilan pejabat istana itu? Entah kegemparan seperti apa yang akan terjadi?
Namun Dhafin sudah memberitahu Jenderal Felix agar tidak melibatkan namanya sebagai orang yang ikut andil dalam gagalnya perdagangan terlarang itu. Bahkan dia punya andil besar.
Letnan Fidell, Wakil Pejabat Penyelidikan Rahasia, amat penasaran dengan keputusan Dhafin itu. Makanya dia bertanya ingin tahu apa alasan Dhafin memberi keputusan demikian. Maka dijawab oleh Dhafin dengan jawaban yang bijak yang dia tidak menyangka seorang anak kecil bisa berbicara demikian.
"Saya hanyalah seorang anak kecil yang bukan siapa-siapa di dunia ini dan tidak punya orang besar yang bisa melindungi saya dan adik saya ini setiap saatnya. Siapa yang berani menjamin kalau orang-orang di luar sana melulu hanya orang-orang yang senang terhadap peristiwa besar ini? Peristiwa terbongkarnya kejahatan seorang Pejabat Kota? Adakah di antara kita yang berpikir kalau di antara mereka ada yang benci terhadap peristiwa besar ini...?"
"...Nah, kalau di antara segelintir yang benci itu tahu kalau saya yang bukan siapa-siapa ini ikut terlibat dalam terbongkarnya kejahatan besar ini, bukankah nyawa saya bisa terancam...?"
"...Taruhlah saya tidak perduli dengan nyawa saya. Lantas bagaimana dengan nasib adik saya ini? Bukankah nyawanya juga terancam karena dia bersama saya selalu...?"
"...Biarlah orang-orang hanya tahu kalau tuan-tuan sajalah yang punya andil besar atas terbongkarnya kejahatan besar ini tanpa harus melibatkan saya. Karena hal itu sudah merupakan kejadian yang lumrah 'kan...?"
Dengan tertangkapnya pelaku perdagangan manusia, berarti anak gadis mereka terselamatkan. Bagaimana kalau pelaku kejahatan besar itu belum tertangkap? Tentu anak gadis mereka terancam menjadi korban perdagangan manusia.
★☆★☆
Sebentar lagi Pejabat Kota dan Kapten Darius beserta para penjahat lainnya akan dibawa ke kotaraja untuk diadili di Pengadilan Istana Kerajaan. Tinggal menunggu keputusan Jenderal Felix kapan berangkat ke kotaraja. Sepuluh anak perempuan yang jadi korban juga diikutsertakan. Di samping sebagai barang bukti kejahatan, juga meminta keputusan pihak istana tentang nasib kesepuluh anak itu. Karena ternyata mereka sudah tidak punya orang tua lagi.
Siang itu di kamar Dhafin....
Di situ ada Dhafin dan Ariesha tentunya. Dan ternyata juga ada Jenderal Felix. Tujuan mengapa pejabat istana itu ada di situ tentunya ingin mengajak Ariesha ikut bersamanya ke kotaraja. Lebih tepatnya ingin mengajak tinggal bersamanya.
"Kenapa tuan begitu ngotot mengajak saya agar mengikuti tuan ke kotaraja?" tanya Ariesha memberanikan diri.
"Bukankah saya sudah mengatakan kalau saya ingin mengangkatmu sebagai anak?" kata Jenderal Felix bersungguh-sungguh.
"Apakah karena Tuan melihat saya sebatang kara," tanya Ariesha, "terus Tuan merasa kasihan kepada saya, lantas Tuan memutuskan untuk mengangkat saya sebagai anak? Apakah karena hal itu?"
Jenderal Felix tercengang mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan Ariesha itu. Sejenak dia tidak bisa langsung menjawab saking terkejutnya. Dia tidak menyangka anak seusia Ariesha bisa terbetik dalam benaknya ucapan seperti itu.
"Kalau Tuan cuma kasihan kepada saya, lantas berapa lama akan bertahan?" tanya Ariesha lagi yang membuat Jenderal Felix kembali berpikir keras.
"Saya ingin mengangkatmu sebagai anak bukan cuma kasihan," kata Jenderal Felix setelah bisa menguasai perasaannya. Seolah-olah dia baru saja mengumpulkan puing-puing nyawanya. "Tapi saya amat menyayangimu juga...."
Ketika Jenderal Felix mengatakan sayang kepada Ariesha, Dhafin lantas merasa heran. Dia curiga ada sesuatu yang Jenderal Felix sembunyikan dari ucapan itu. Atau lebih tepatnya belum berani mengungkapkan secara langsung. Seakan-akan Jenderal Felix merasa ada hubungan darah dengan Ariesha.
Lain yang Dhafin pikirkan, lain juga yang Ariesha pikirkan. Dia masih menuntut adanya perlindungan secara utuh dari keputusan Jenderal Felix mengangkatnya sebagai anak. Maka dia mengatakan dalam bentuk tanya.
"Tuan menyatakan karena sayang kepada saya. Apakah Tuan bisa menjamin seumur hidup Tuan akan menyayangi saya? Lantas bagaimana dengan istri Tuan?"
Lagi-lagi Jenderal Felix tidak bisa langsung menjawab pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Sungguh menghadapi gadis kecil ini sama halnya menghadapi istrinya.
"Kalau Tuan tidak bisa menjamin seumur hidup Tuan akan menyayangi saya, maaf saya tidak bisa mengikuti Tuan," kata Ariesha seakan memutuskan. "Karena sudah ada orang yang menjamin akan menyayangi saya selamanya, yaitu kakak saya ini."
Sehabis berkata demikian, Ariesha langsung memandang Dhafin yang juga memandangnya sambil tersenyum lembut.
"Baiklah, kalau kamu belum setuju akan permintaan saya," ungkap Jenderal Felix kemudian, "setidaknya kamu memenuhi permintaan saya untuk bertemu seseorang."
"Siapa, Tuan?" tanya Ariesha tidak mau menebak.
"Apakah istri Tuan?" kali ini Dhafin yang bicara. Sekali bicara langsung menebak.
"Iya," sahut Jenderal Felix seakan pasrah.
"Apa hubungan Ariesha dengan istri Tuan?" tanya Dhafin membuat Jenderal Felix makin terpojok.
"Apakah Nyonya Meisya Finola nama ibumu, Ariesha?" Jenderal Felix malah bertanya.
"Benar, Tuan," sahut Ariesha heran. "Dari mana tuan tahu?"
"Nyonya Meisya dan istri saya saudara kandung," Jenderal Felix cuma berkata demikian.
Ariesha lalu menoleh kepada Dhafin yang duduk dekat di sampingnya. Lantas bertanya ingin dengar keputusannya.
"Aku harus bagaimana, Kak? Apakah ikut Tuan Felix ke kotaraja atau tidak?"
"Apa salahnya kamu memenuhi permintaan Nyonya Felix," kata Dhafin memberi keputusan. "Lagipula kata Tuan Felix beliau adalah saudara kandung ibumu. Yang berarti bibimu. Kamu masih punya keluarga, Ariesha."
Ariesha hanya mengangguk saja. Lalu menoleh kepada Jenderal Felix dan bertanya.
"Kakak saya ikut juga 'kan, Tuan?"
"Mana mungkin saya memisahkan kalian," kata Jenderal Felix sumringah. "Ya sudah pasti lah."
"Baiklah, kami ikut dengan Tuan ke kotaraja."
Betapa senangnya Jenderal Felix mendengar keputusan itu. Hatinya begitu bahagia bukan main. Kalau tidak ingat Ariesha bakal kaget, rasanya dia ingin memeluk gadis itu.
★☆★☆
Kala itu di kediaman Jenderal Felix....
Ariesha dan Dhafin sudah tiga hari di kediaman Jenderal Felix semenjak tibanya mereka di kotaraja. Dan Nyonya Carissa, istri Jenderal Felix menerima kehadiran mereka dengan penuh sukacita.
Ariesha jadi curiga melihat sikap Nyonya Felix kepadanya saat pertama kali dia dan Dhafin datang. Nyonya Carissa menumpahkan begitu saja kasih sayangnya kepadanya tanpa dapat dibendung. Bahkan Nyonya Carissa sampai menangis terharu. Seakan-akan dia bagaikan seorang ibu yang sudah bertahun-tahun baru bertemu kembali dengan anaknya. Bagaimana bisa dia sanggup menahan luapan kasih sayangnya?
Akhirnya pada keesokan harinya sebuah rahasia terkuak. Jenderal Felix dan Nyonya Carissa menyatakan kalau Ariesha adalah anak kandung mereka. Dan wanita yang selama ini Ariesha anggap sebagai ibu adalah bibinya, kakak kandung Nyonya Carissa.
Tentu saja pengakuan itu tidak lantas diterima begitu saja oleh Ariesha. Bagaimana hal ini bisa dia terima begitu saja? Mimpipun tidak pernah kalau ternyata dia putri seorang bangsawan. Kenyataan ini membuatnya terguncang. Bukannya lantas langsung bersukacita.
"Ba...bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya Ariesha dengan suara bergetar. Matanya sudah berkaca-kaca. Untuk menguatkan hatinya Dhafin memeluknya erat-erat, memberi ketenangan padanya.
"Tentu sekarang usiamu sudah sembilan tahun," tutur Nyonya Carissa setelah menyeka air matanya. "Maka peristiwanya terjadi pada sembilan tahun yang lalu...."
Waktu itu Nyonya Carissa dan Nyonya Meisya melahirkan anak perempuan di rumah bersalin yang sama. Namun ternyata anak Nyonya Meisya meninggal saat dilahirkan. Karena tidak terima kenyataan itu, di samping juga rasa bencinya kepada Nyonya Carissa, adiknya, maka Nyonya Meisya bersekongkol dengan suaminya mengambil putri Nyonya Carissa dan menukarnya dengan putrinya yang sudah meninggal.
Waktu itu Nyonya Carissa masih tidak berdaya karena melahirkan Ariesha benar-benar menguras tenaganya. Di samping itu pula Nyonya Carissa ikut terpukul atas meninggalnya putri kakaknya, makin membuatnya merasa bersalah terhadap kakaknya itu. Sehingga apa yang dilakukan oleh kakaknya dan suami kakaknya itu dibiarkan begitu saja seolah diamnya merupakan suatu persetujuan.
Untuk lebih meyakinkan kalau mereka memang orang tua Ariesha, Nyonya Carissa memberitahukan kalau di telapak kaki kiri Ariesha terdapat andeng-andeng berbentuk bundar sebesar kancing baju.
Mendengar Nyonya Carissa menyebutkan tanda lahirnya, Ariesha langsung membuka kasutnya, terus melihat tanda lahir itu. Meskipun sebenarnya dia sudah tahu, tapi begitu melihat andeng-andeng itu membuatnya terkejut juga.
Air matanya yang menggenang di kelopak matanya langsung tumpah begitu saja. Sedangkan tangisnya langsung meledak seketika. Pelukannya pada Dhafin semakin erat seraya menumpahkan air mata.
Sedangkan Nyonya Carissa kembali menangis tersedu-sedu. Sementara Jenderal Felix, meski tidak menagis tapi matanya berkaca-kaca. Rasa bersalah pula semakin merajai perasaannya. Rasa bersalah karena saat putrinya lahir dia tidak ada, rasa bersalah karena melahirkan kebencian pada diri Nyonya Meisya sehingga tega mengambil anaknya, rasa bersalah karena membuat sahabatnya, suami Nyonya Meisya kecewa terhadapnya.
"Kamu harus menerima kenyataan ini, Ariesha," ucap Dhafin dengan lembut dan tenang. "Kenyataan kalau Nyonya Carissa adalah memang ibu kandungmu, kenyataan kalau Tuan Felix adalah memang ayah kandungmu...."
"Kenyataan ini memang amat memilukan... pada satu sisi," lanjutnya sambil terus membelai rambut Ariesha. "Tapi kamu harus tahu bahwa pada sisi yang lain kenyataan ini merupakan takdir kebahagiaanmu..., kebahagiaan kalau kamu ternyata masih punya kedua orang tua...."
"Apa kamu tidak membayangkan betapa sedihnya ibumu akibat kehilangan kamu selama sembilan tahun?" lanjutnya lagi terus menggugah hati Ariesha agar mau menerima kenyataan. "Hatinya sungguh perih, Ariesha. Pikirkanlah hal itu...."
"Apa yang terjadi pada ibumu dan bibimu bukan urusanmu. Yang menjadi urusanmu adalah menerima Nyonya Carissa dan Tuan Felix sebagai orang tuamu. Kamu berkewajiban berbakti dan membahagiakan mereka. Ingat! Kamu sudah kehilangan sembilan tahun dalam membahagiakan mereka. Apakah kamu akan melanjutkan menghancurkan kebahagiaan mereka?"
Ariesha makin menangis tersedu-sedu mendengar semua perkataan Dhafin yang begitu panjang lebar. Nyonya Carissa apalagi. Sedangkan Jenderal Felix, meski belum menangis tapi air matanya sudah mengalir. Matanya tidak pernah lepas menatap Ariesha. Sedangkan pelayan yang ada di sekitar situ ikut terharu pula akan fenomena ini hingga ada di antara mereka meneteskan air mata pula.
Perlahan Ariesha melepaskan pelukannya pada Dhafin. Menentramkan perasaannya sejenak. Berusaha membendung getaran di tubuhnya. Kemudian dia memandang Nyonya Carissa dengan taptaan haru. Lalu tercetus ucapannya meski sedikit parau, agak pelan tapi jelas terdengar di telinga semua orang yang ada di ditu.
"Ibu...."
Sontak Nyonya Carissa mengangkat kepadanya, lantas menatap haru pada putrinya ini. Wajahnya yang cantik masih dibanjiri air mata. Perlahan wanita cantik itu berdiri dengan dibantu oleh suaminya. Begitupun pula Ariesha juga ikut berdiri dengan dibantu oleh Dhafin.
"Ibuuu...."
"Anakku...."
Kedua ibu anak itu segera melangkah cepat, terus saling berangkulan dengan erat. Melepaskan kerinduan yang telah lama terpendam. Merajut kebahagiaan yang telah lama tergerai.
"Aku berjanji padamu, sayang," kata Nyonya Carissa dengan lembut tapi mantap, "aku tak 'kan pernah lagi melepaskanmu. Aku akan membahagiakanmu di sepanjang sisa hidupku."
"Ibu...."
★☆★☆★
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
Gian Dido
yaa.... sendiri lagi...
2023-12-15
1
Purwanto aza
josss
2023-11-15
2
Musanif Efendi
rela berpisah waktu orang tua seperti apa kayak gitu
tinggal kan saja tidak usah di pedulikan orang tua kayak gitu
2023-02-24
1