Lioney Crowley terus menghujani Julliane dengan banyak hadiah tanpa menemuinya. Hadiah itu tidak dibuka Julliane menumpuk hingga membentuk pegunungan. Julliane malas membukanya. Memang saat pertama kali mendapat hadiah ia senang, tetapi jika terus-terusan datang malah membuat Julliane risih.
Terdengar suara ketukan pintu. Tangan Julliane terburu-buru memasukkan kertas ke dalam laci. Daftar nama ini tidak boleh diketahui siapa pun. Julliane tersenyum menyapa orang yang datang.
Namun, orang yang masuk malah cemberut menghampiri Julliane. "Kenapa Kak Juli tidak mengajakku untuk melihat Kyler yang dipermalukan?" gerutu Ellaine.
Ellaine mendengar kejadian tadi pagi dari pelayan dan Edgar. Sayang sekali ia tidak bisa menyaksikannya secara langsung. Padahal itu kejadian langka. Rumor tentang Duke Orsin akan segera tersebar luas. Tidak, pasti tersebar karena Ellaine sendiri yang akan menyebarkannya.
Berusaha saling menyelamatkan satu sama lain membuat Ellaine dan Julliane semakin dekat. Sifat Ellaine tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, tetapi ia jadi lebih sering mengungkapkan isi hatinya pada Julliane.
"Maafkan, aku Elle. Aku takut kejadian kemarin masih membebanimu, jadi kupikir lebih baik kamu istirahat saja." Senyum bersalah tersungging di bibir Julliane.
Jika tahu akan terjadi kejadian seperti tadi, aku akan menontonnya bersamamu dan Edgar, Elle.
"Padahal keadaanku akan lebih baik jika melihatnya secara langsung." Ellaine merajuk.
"Baiklah aku salah. Aku akan menuruti semua permintaanmu."
Mata yang berbinar-binar menatap Jullaine. Ellaine menangkup tangan kakaknya. "Benarkah? Datanglah ke acara minum teh yang kuadakan minggu depan, Kak Juli."
Undangan Ellaine malah menguntungkan Julliane. Ia akan masuk dalam pergaulan kaum bangsawan. Sebenarnya ia sudah menunggu-nunggu undangan minum teh, tetapi meski membuka surat-suratnya hingga akhir, yang datang hanyalah surat dari lelaki yang ingin menemuinya.
"Aku akan datang, Elle." Julliane langsung menyetujuinya.
Ellaine tersenyum cerah lalu tiba-tiba berubah kebingungan. "Ngomong-ngomong siapa yang mengirimkan hadiah-hadiah yang berada di ruang tengah, Kak Juli?"
"Lionel Crowley, tetapi aku tidak akan membukanya. Dia ingin mendekatiku tetapi tidak pernah datang menemuiku."
"Orang yang aneh."
Ellaine setuju dengan pendapat kakaknya. Lelaki yang hanya memberi hadiah sama sekali tidak menarik. Seorang lelaki juga harus menghabiskan waktu dan perhatian kepada seorang gadis. Ellaine menceritakan keluh kesahnya pada Julliane tentang lelaki yang mendekatinya. Tidak ada yang menarik. Mereka berdua menghela napas panjang. Julliane mengantar Ellaine sampai ke ruang tengah. Ia memandangi tumpukan hadiah di sudut ruangan.
Aku akan mengembalikan semuanya besok.
***
Pelayan-pelayan memindahkan hadiah-hadiah ke kereta kuda. Butuh tiga kereta kuda untuk memuat semua hadiah itu. Kereta-kereta itu meluncur mengembalikan hadiah yang diterima Putri Pertama. Setelah ruang tengah bersih, datanglah satu hadiah lagi. Hadiah kali ini dibungkus dalam kotak kecil tanpa nama pengirim. Julliane mendesah menerimanya, meski tanpa nama ia tahu siapa yang mengirim hadiah itu. Karena para pelayan sudah kembali ke pekerjaan mereka masing-masing, Julliane hendak mengembalikan hadiah ini dengan kereta kuda lagi.
"Kenapa kamu tidak membukanya, Juli? Mau dibawa ke mana hadiah itu?" tanya Ian yang bertemu dengan Julliane di depan istana selir.
"Tanpa dibuka, aku sudah tahu isinya. Aku akan mengembalikan ini pada pengirimnya."
Lionel selalu mengirimkan hadiah yang hampir sama. Aksesoris permata dalam bentuk anting, kalung, gelang atau cincin. Kalau bukan itu kain yang mahal atau pajangan. Julliane sama sekali tidak membutuhkan semua itu.
Namun, Ian terlihat terluka mendengar ucapannya. Kesal, marah, kecewa dan sedih bercampur jadi satu. Ia langsung meraih hadiah itu dari tangan Julliane. Tentu saja, Julliane kebingungan dengan tindakan Ian. Apakah Ian berniat membantunya untuk mengembalikan hadiah itu?
"Begitu ya, kalau begitu aku ambil saja. Tidak perlu kamu kembalikan padaku," ucap Ian sambil berlalu.
Julliane bergeming, memproses tindakan Ian di otaknya. Kedua tangannya menutup mulut, untuk menahan jeritannya.
Gawat, gawat, gawat, aku harus segera mengejar Ian.
Julliane berlarian menyusuri lorong diperhatikan oleh pelayan-pelayan. Ia bahkan menabrak ember air yang digunakan untuk bersih-bersih. Untungnya ia tidak terjatuh.
Punggung Ian mulai terlihat. Ia melangkah dengan penuh kemarahan menuju kereta kudanya. Julliane bergegas mempersempit jarak antara mereka berdua sebelum Ian pergi. Kaki Ian telah menapak ke tangga kereta kuda, tetapi ia terhenti karena seseorang menarik lengan bajunya. Ia menoleh melihat Julliane yang terengah-engah.
"Maaf... jangan... pergi... dulu..."
Ian segera menepis tangan Julliane melanjutkan langkahnya. Julliane segara memegangi kedua tangan Ian.
"Dengar... dulu... penjelasanku...."
Ian memejamkan matanya berusaha menenangkan diri. Pada akhirnya ia berbalik. Namun, ia masih diam.
Merasa diberi kesempatan Julliane segera menjelaskan semuanya sambil mengatur napas. "Kukira hadiahmu dari Lionel. Aku benar-benar minta maaf karena tidak tahu Ian. Dia mengirimkan hadiah setiap hari. Aku tadi mengembalikan semua hadiah Lionel karena sudah muak. Sekali lagi aku minta maaf."
Ian bersendekap sambil mengetuk-ngetukkan jari di lengannya. Ia memicingkan mata mendengar penjelasan Julliane mencari kebohongan di dalamnya. Memang tidak ada kebohongan tetapi Ian masih kesal.
"Setidaknya bukalah terlebih dahulu," omel Ian.
"Benar aku salah, tetapi seharusnya kamu mencatumkan pengirimnya."
"Di kerajaanku saat mengirim hadiah, nama pengirimnya berada di dalam agar orang yang menerima penasaran membuka hadiah itu."
"Ini hanya salah paham, jadi kembalikan padaku. Akan kubuka di depan matamu, kalau perlu datanglah ke kamarku nanti untuk melihatku menyimpannya." Julliane menyodorkan tangan pada Ian meminta kembali hadiahnya.
Kekesalan Ian mereda seiring Julliane mau menerima hadiahnya. Ini artinya Julliane lebih memilih hadiah Ian daripada orang lain. Ian merogoh sakunya memberikan hadiahnya pada Julliane. Tangan Julliane segera membuka kotak itu. Terdapat kalung dengan permata hijau yang indah di dalamnya. Tidak terlalu mewah, tetapi terlihat elegan. Berbeda dengan hadiah Lionel yang terkesan mewah yang membuat Julliane tidak cocok. Ada kartu di samping kalung itu. Ian segera mengambilnya dengan wajah memerah.
"Kartu ini aku ambil saja, lagipula kamu sudah tahu pengirimnya."
Julliane masih terpana pada kilauan permata itu. Perlahan Ian tersenyum. "Mau kupakaikan?" tanya Ian.
Julliane mengangguk cepat, segera memunggungi Ian. Tangan Ian dengan lihai memakaikan kalung itu. Julliane memegangi kalung itu sambil tersenyum. Teringat belum mengucapkan terima kasih ia berbalik. "Terima kasih Ian."
"Aku memilih ini karena teringat pada warna matamu, Julliane." Tangan Ian menyentuh kalung yang diberikannya sambil menatap mata Julliane.
Julliane balas menatapnya sambil tersenyum cerah. "Aku akan memakainya setiap hari."
Ian merasakan ada yang ingin keluar dari dadanya. Ia ingin mengelus-elus pipi dan memeluk Julliane, tetapi Ian menahannya. Tindakan yang terburu-buru malah akan membuat Julliane menjauh.
Hati Julliane terasa hangat. Meski tidak bisa mengendalikan emosi, Ian adalah lelaki terbaik di dunia ini. Julliane bahkan membandingkan semua lelaki yang pernah ditemuinya. Terutama ketiga kandidat karakter utama. Julliane merasa lega tidak perlu bertemu mereka lagi. Masalah Lioney juga terpecahkan dengan cepat. Hadiah-hadiah tidak akan datang lagi.
Perkiraan Julliane salah, keesokan harinya hadiah Lioney berjajar kembali ruang tengah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Mom FA
aku nyicil dulu ya tor😍🥰
2022-04-13
1