"Siapa pun pemilik novel ini, aku izin untuk membacanya, ya?” desisnya pada angin di sekitarnya seolah pemiliknya memang ada di sisinya saat itu.
“Thanks, princess...” Stuart menerima perkamen yang diserahkan Hanna.
Biasanya Hanna akan menjawab, namun novel ditangan nya ternyata sudah menyita perhatiannya. Gadis itu bahkan memilih untuk segera menyingkir dari ruangan itu.
Buru-buru mengunci pintu setibanya di dalam kamar. “Baiklah, sebelum larut membaca novel lumayan tebal ini, sebaiknya aku ganti baju dulu,” putusnya segera menuju kamar mandi.
Kalau sudah bersemangat begitu, Hanna akan mengurung diri hingga besok, membaca hingga tuntas isi novel yang kini selalu ada dalam pikirannya itu.
Tidak butuh waktu lama, 15 menit berlalu menghilangkan daki dan bau keringat yang menempel di tubuhnya.
“Baik lah, aku datang...,” ucapnya bermonolog, merebahkan tubuhnya dan bersiap membaca bab pertama.
Harapannya terhempas, tidak semudah itu mendapatkan ketenangan di rumah itu pada jam segini.
“Siapa?” tanyanya kesal. Tidak bisa kah orang-orang di rumah itu membiarkannya tenang? Kadang Hanna berharap dirinya menghilang saja dari rumah itu, berada di tempat yang hanya kehendaknya yang jadi.
“Buka pintunya, Kak”
Itu suara adiknya. Satu-satunya pesaing kasih sayang ibu dalam keluarga itu.
“Kau mau apa? Aku ngantuk. Pergilah!”
“Buka dulu!” Cathy pastinya tidak akan menyerah. Hentakan kaki dilantai menjadi penanda kalau Hanna sangat kesal dengan pengganggu kecil itu.
Crek!
“Ada apa?” hardik Hanna setelah daun pintu penghalang keduanya terbuka. Tanpa mengatakan apapun, Cathy masuk dan dengan santai duduk di tepi tempat tidur Hanna.
“Ayolah, Cat. Aku ngantuk “ dusta nya agar adik kecilnya segera pergi.
“Benarkah kau memukul, Edo?”
Kening Hanna mengerut. Dari mana adiknya itu bisa mengenal Edo?
“Dari mana kau kenal dia?”
“Jawab saja!” seru Cathy memaksa.
“Iya, aku memukulnya. Kenapa?”
“Kenapa kau harus memukulnya? Apa kau tidak tahu, kalau aku sangat menyukainya?” Cathy sudah berdiri, berkacak pinggang di hadapan Hanna.
“Karena dia pantas mendapatkannya!”
“Dasar wanita bar-bar! Kau tahu, karena perbuatan mu, Edo menjauhiku, dia tidak ingin menjalin hubungan dengan adik dari gadis bar-bar. Aku sudah mengharapkannya sejak lama, Kak!” pekikan keras Cathy membuat Hanna sedikit terkejut.
Berbeda pada dirinya, Lusi berteman baik dengan Cathy. Lusi yang merupakan tetangganya itu bahkan sering mengajak Cathy untuk pergi bersama. Namun, tidak sekalipun mengajak Hanna. Bagi keduanya membawa Hanna bersama mereka hanya akan mempermalukan mereka.
“Baguslah kalau dia menjauhi mu. Dia pria brengsek,” sahut Hanna santai.
“Kau yang brengsek. Aku benci padamu, aku malu punya kakak sepertimu. Seandainya bisa diganti aku ingin Lusi yang menjadi kakakku. Tidak bisakah kau menghilang saja? Pergi jauh dari hidup kami?”
Hanna meremas baju tidurnya. Dadanya sakit mendengar perkataan Cathy. Seandainya itu bukan adiknya, Hanna pasti sudah menampar wajahnya, namun nyatanya dia tidak punya keberanian. Dia terlalu sayang pada adiknya itu.
Keduanya saling tatap. Kebencian dan amarah yang dilayangkan Cathy sungguh membuatnya terpukul. Sebegitu benci dan tidak diharapkan kah dirinya?
Cathy sudah pergi, menutup pintu dengan begitu keras tepat di hadapannya.
Tuhan, sakit sekali. Seandainya aku bisa pergi, menghilang dari keluarga ini, pasti akan membuat semuanya bahagia..
***
Hanna melirik novel yang tergeletak di lantai kamarnya. Kesal dengan perdebatannya bersama Cathy tadi, membuat Hanna menjadi tidak mood membaca novel itu dan segera melemparkan ke sembarang tempat. Namun, setelah puas menangis selama satu jam lebih, rasa penasaran gadis itu muncul lagi.
Bergerak malas, Hanna menjulurkan kakinya, menarik novel mendekat hingga bisa diraih tangannya.
Pukul 23.15, udara dingin kembali menyapa dan kini semakin dingin. Tampaknya hujan di luar sana semakin deras. Sesekali suara petir menyambar pohon kenari yang ada di samping rumah mereka.
Hanna mulai dengan mengusap sampul novel yang berwarna merah bata. Love of my Life , judul novel itu saja sudah di bisa menggambarkan isinya.
Semangat Hanna mulai muncul. Kalau pun dia tidak mendapatkan cinta tulus dalam kehidupan nyata, cukup mendapatkan kisah cinta sejati dalam novel sudah membuatnya gembira.
“Wah, namanya juga Hanna,” ucap Hanna bermonolog, menambah semangatnya untuk membaca novel itu. Kesamaan namanya dengan sang tokoh utama membuat Hanna merasa ini adalah kisahnya yang dituang seseorang dalam tulisan, namun dalam versi happy ending.
Lembar demi lembar mulai dia baca. Waktu terus berjalan, tidak ada rasa mengantuk yang melanda, padahal dia tadi sudah lelah menangis.
Sesekali dia akan tersenyum membaca bagian romantis namun tidak berapa lama Hanna juga menitikkan air matanya kala membaca nasib gadis yang menjadi tokoh utama dalam novel itu.
Dasar baj*ngan si Alex, enak benar jadi pria. Ish, kenapa sih ga William aja yang jadi tokoh utamanya. Kasihan Lady Hanna..
Sesekali Hanna akan menggerutu tidak terima atas apa yang terjadi pada gadis malang itu.
Lady Hanna digambarkan berparas sangat cantik, namun karena rasa tidak percaya dirinya, membuat Alex yang sudah lama dijodohkan dengannya, tidak tertarik pada gadis penakut dan suka mengurung diri itu. Alex juga lebih memilih untuk selingkuh di belakang Lady Hanna.
“Dasar keparat kau, Alex. Seandainya aku jadi Lady Hanna, maka aku akan balas dendam, membuat keadilan atas hidup Lady Hanna," gumamnya. Nasib Lady Hanna yang juga sama dengan nasib dirinya, tidak di hargai dan juga tidak diinginkan keluarganya membuat Hanna ingin sekali berada di dunia novel itu.
Tidak terasa, sudah pukul lim subuh. Hanna sudah sampai di ujung novel, dan matanya juga sudah mengantuk.
Terselip rasa kesal dalam hatinya, kenapa ceritanya begitu menyedihkan, tidak adil buat Lady Hanna. Hanna melirik beberapa lembar terakhir, sisa tiga lembar lagi di penghujung cerita.
Lady Hanna hanya bisa meratap melihat cinta sejatinya, Alex, justru menginginkan adiknya sebagai istrinya.
“Ini ga adil dong!” serunya memukul bantal. Penuh semangat Hanna membalik lembar berikutnya, namun tidak ada tulisan. Segera dibalik lagi lembar berikutnya, mungkin hanya kertas kosong yang terlewat.
Namun, hingga ke ujung sampul penutup, tidak ada lagi tulisan. Hanya kertas putih yang sudah mulai menguning yang kosong.
“Loh, kok gini? Gantung banget?! Gimana nih endingnya? Ini kok malah banyak kertas kosong?”
Di penghujung kertas kosong, ada bekas sobekan kasar. Hanna yang baru memperhatikan mengerutkan keningnya.
“Ah, sudahlah. Aku tidur saja,” gumamnya pada angin malam. Dilemparkannya novel itu di bawah tempat tidur, dan tidak butuh waktu lama Hanna sudah jatuh dalam buaian mimpinya.
Mimpi panjang yang mengubah segalanya. Tidak hanya hidupnya, namun juga mengubah dimensi waktu, menentang kehendak alam yang sudah di tentukan sedari awal.
Mungkin, karena kerasnya keinginan hati seseorang, alam dan penciptanya akan mendengarkan. Tanpa disadari menolehkan kisah baru, sebagai pelengkap kisah yang sudah terpatri.
Bukankah apa yang terjadi dalam hidup kita adalah misteri Ilahi? Mungkin itu juga yang disiapkan sang Pencipta untuk seseorang yang merasa tidak mendapat kebahagiaannya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
mika
ngatain orang GK brani sendiri tu yg brani ,Adi sendiri pun GK brani lawan heleeh ke dia pembrani aja s Hanna ini
2024-05-21
0
EuRo
gak bosen bacanya
2022-04-28
0
Aminah Adam
lanjut
2022-04-14
1