Sheila mendatangi kafe milik Cecilia untuk memberitahu kabar bahagia ini. Ia ingin berbagi pada kakak iparnya itu. Selama perjalanan, Sheila berdendang ria. Kini ia bisa membuktikan jika dirinya mampu mendapat pekerjaan tanpa bantuan dari keluarganya.
"Kak Cecil!" seru Sheila ketika turun dari mobilnya.
Sifat kekanak-kanakan Sheila memang sudah mendarah daging, jadilah ia bersorak tanpa peduli pada orang yang melihatnya. Ia langsung memeluk Cecil yang sedang berdiri menyapa para pelanggannya.
"Kak! Aku berhasil! Aku berhasil mendapat pekerjaan!" seru Sheila.
"Serius kamu, Shei? Syukurlah! Kakak ikut senang dengarnya."
"Iya, Kak. Aku juga tidak mengira jika aku akan bekerja di Avicenna Grup."
"Avicenna Grup?"
"Iya, kakak pasti pernah mendengar tentang perusahaan itu."
"Tentu saja. Siapa yang tidak mengenal Avicenna Grup. Bahkan Papa kan berobat ke rumah sakitnya."
"Eh? Iyakah? Rumah sakit tempat Papa berobat itu juga milik Avicenna Grup?" Sheila tercengang tak percaya.
"Iya, kamu beruntung, Shei. Apa kamu sudah memberitahu kakakmu?"
Sheila menggeleng. "Biarkan saja dia tahu sendiri." Sheila terkikik.
"Kamu itu! Kak Rangga sangat menyayangimu, Shei. Jangan marah jika dia sedikit kesal padamu."
"Iya, Kak. Aku tahu."
"Shei!" Sebuah suara membuat Sheila dan Cecil menoleh.
"Naina!" Sheila langsung berhambur memeluk Naina, sahabatnya.
"Aku keterima kerja di Avicenna Grup, Na!" girang Sheila.
"Iya, Shei. Kamu sudah mengatakannya ribuan kali sejak tadi meneleponku," timpal Naina.
Cecil yang melihat kesenangan dua gadis itu pun akhirnya mempersilakan mereka untuk duduk dan memesan menu makanan di kafenya.
...*...
...*...
...*...
Hari ini adalah hari pertama Sheila bekerja. Sheila yang biasanya bangun agak siang, kini tak bisa bersantai lagi. Ia segera bersiap dan memakai setelan kerja terbaiknya. Sudah sejak lama ia membeli banyak pakaian kerja. Namun baru kali ini ia bisa memakainya dengan resmi.
Rambut panjangnya ia biarkan tergerai begitu saja. Setelan kantor berupa kemeja, dan blazer berwarna dusty pink sudah melekat di tubuhnya. Dipadukan dengan rok selutut berwarna senada.
"Huft! Semangat, Sheila! Kamu pasti bisa!"
Setiap hari Sheila selalu menggumamkan kata-kata semangat untuk dirinya sendiri. Menurut pakar kesehatan itu penting untuk bisa membuat kita selalu berpikir positif dengan kehidupan kita.
Sheila mengendarai mobil sport warna merah yang dibelikan oleh Rangga sebagai hadiah ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Kakaknya itu memang selalu menuruti apa pun keinginan Sheila.
Tiba di gedung Avicenna Grup, Sheila turun dari mobil dan menuju lift. Sebelum berangkat, Sheila mendapat pesan jika dirinya harus menemui seorang karyawan bernama Harvey, yang adalah asisten dari CEO.
Sheila menuju lantai dimana Harvey berada. Ia celingukan mencari ruangan Harvey.
"Didalam pesan tertulis kalau ruangannya ada disamping ruangan CEO," gumam Sheila.
Setelah mengedarkan pandangan, akhirnya ia melihat papan bertuliskan ruang CEO. Sheila berasumsi jika pasti ruangan di sebelahnya adalah milik Harvey.
Sheila mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Masuk!" Ketika terdengar sahutan dari dalam, barulah Sheila masuk.
"Permisi, Pak. Saya Sheila. Saya sekretaris CEO yang baru. Saya mendapat pesan jika saya diminta menemui bapak terlebih dahulu," jelas Sheila dengan mengulas senyum di bibir tipisnya.
Sejenak Harvey tertegun melihat Sheila yang begitu sempurna di matanya.
"Pak! Pak Harvey!" Sheila memanggil Harvey karena tak mendapat respon dari pria itu.
"Ehem, ah iya. Siapa nama kamu tadi?" tanya Harvey untuk mengusir kegugupannya.
"Sheila, Pak."
"Oh, ya Sheila. Tolong jangan panggil saya bapak. Saya belum jadi bapak-bapak." Harvey mempersilakan Sheila untuk duduk.
"Ah, maaf. Saya hanya bersikap lebih sopan saja," balas Sheila.
"Apa ini pertama kalinya kamu bekerja sebagai sekretaris?"
"Iya, Pak. Tapi, jangan ragukan kemampuan saya. Saya bisa belajar dengan cepat!" Sheila kembali mengulas senyumnya.
"Astaga! Apa begini penampilan sekretaris bos? Dia harusnya menjadi istri CEO, bukan sekretarisnya," batin Harvey.
"Kalau begitu, saya akan jelaskan apa saja tugas kamu sebagai sekretaris Tuan Nathan."
Harvey menjelaskan panjang lebar tentang tugas yang harus dilakukan Sheila. Gadis itu melongo mendengar penjelasan Harvey.
...*...
...*...
...*...
"Ini adalah meja kamu, dan disitu adalah ruangan Tuan Nathan. Kalian sebenarnya satu ruangan, hanya saja dibatasi oleh pintu itu. Kamu bisa melihat bos dari kaca yang transparan itu. Ingat semua yang sudah saya katakan tadi."
Sheila manggut-manggut mendengar penjelasan Harvey.
"Baik, Pak Harvey. Saya mengerti!"
"Eits! Harvey saja!" tegas Harvey.
"Ah iya, Harvey. Terima kasih."
"Lima menit lagi Tuan Nathan datang. Bersiaplah untuk menyambutnya."
Sheila mengangguk paham. Ia mengatur napasnya. Ia menghitung mundur waktu kedatangan bos barunya itu.
Tepat di menit ke lima, terdengar langkah kaki mendekat memasuki ruangan itu. Sheila segera berdiri dan menyapa ramah bosnya itu.
"Selamat pagi, Pak!" Sheila menundukkan kepalanya.
Nathan berjalan melewati Sheila. Ia hanya melirik sekilas saja. Ia masuk diikuti oleh Harvey.
Harvey memberi kode pada Sheila agar mengikutinya masuk ke ruang CEO.
Nathan terlihat duduk di kursi kebesarannya. Sheila memperhatikan bosnya itu.
"Dia cukup tampan. Tapi kenapa irit sekali bicara? Dia bahkan tidak membalas sapaan dariku," batin Sheila.
"Tuan, ini adalah Sheila. Dia sekretaris Tuan yang baru," terang Harvey.
Nathan menoleh sekilas. "Oke! Baiklah, kau boleh pergi, Harvey!"
Harvey memberi hormat kemudian keluar dari ruangan itu. Tinggalah Sheila dan Nathan yang ada di ruangan itu.
Nathan tampak sibuk melihat berkas-berkas yang ada di mejanya. Sementara Sheila, ia bingung harus melakukan apa karena bosnya itu sama sekali tidak memberinya perintah.
"Tolong buatkan saya kopi!" ucap Nathan pada akhirnya.
Sheila mengangguk kemudian berbalik badan.
"Hei, mau kemana?" tanya Nathan dingin.
"Bapak bilang tadi minta kopi. Saya akan bilang pada OB untuk membuatkannya," jawab Sheila.
"Tidak! Kamu bisa membuatnya disini!" Nathan menunjuk satu ruang yang ada disana.
"Oh, iya Pak. Berarti saya yang membuatkan kopi untuk bapak?" tanya Sheila untuk lebih meyakinkan.
"Siapa lagi? Masa saya harus bikin kopi sendiri. Gimana sih?" Suara Nathan terdengar amat mengintimidasi.
"Baik, Pak."
Sheila segera menuju ke ruang kecil yang ternyata mirip sebuah pantry. Sudah ada mesin pembuat kopi dan juga perlengkapan lainnya.
Dalam hati Sheila terus mengumpat. "Apa sekretaris harus melakukan hal ini juga? Kenapa tadi Harvey tidak memberitahuku? Ah sebal!" sungut Sheila dalam hati.
"Duh, berapa takaran kopinya ya?" Sheila bertanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ia teringat jika Rangga dulu sering dibuatkan kopi olehnya. Sheila membuat kopi sesuai takaran yang selalu ia gunakan untuk Rangga.
Setelah selesai, Sheila membawa cangkir kopi itu ke meja Nathan.
"Permisi, Pak. Ini kopinya!" Sheila bicara dengan amat sopan dan lembut.
"Ah iya, terima kasih." Nathan langsung menyeruput kopi buatan Sheila.
Matanya membulat kemudian menatap Sheila. Sejenak Sheila juga menatap Nathan.
"Aduh! Jangan-jangan kopinya tidak enak! Mati aku!" batin Sheila dengan harap-harap cemas.
"Kopi buatanmu lumayan juga! Sekarang kembali ke mejamu dan lakukan tugas yang sudah dijelaskan oleh Harvey!" ucap Nathan datar.
Sheila segera berbalik badan dan keluar dari ruangan itu.
"Apa itu tadi? Apa dia memuji kopi buatanku? Tapi kenapa ekspresinya biasa saja dan nada bicaranya juga datar. Astaga! Sepertinya dia pria yang menyebalkan! Dasar gumpalan es!" gumam Sheila dalam hati.
Sepeninggal Sheila, Nathan menghela napas lega.
"Kenapa pihak HRD memilih sekretaris model begitu sih? Siapa tadi namanya? Ah, sudahlah. Tidak penting juga!" gumam Nathan kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Sore harinya, Sheila keluar dari ruangan karena sudah diperbolehkan pulang oleh Nathan. Hari pertamanya bekerja cukup melelahkan karena ia harus membuat seluruh laporan yang harusnya dibuat oleh Harvey.
Beruntung Sheila cukup cerdas dan bisa cepat belajar. Ia tidak terlalu kesulitan saat membuat laporan tadi.
Sheila tiba diparkiran dan langsung menuju mobilnya. Ia masuk ke dalam mobil dan tak lama mobil pun melesat keluar dari parkiran basement.
Nathan yang baru keluar dari lift tak sengaja melihat mobil mewah berwarna merah melewatinya. Ia mengernyitkan dahi.
"Siapa yang memakai mobil berwarna mencolok seperti itu disini? Apa ada karyawan yang memiliki mobil mahal?" gumam Nathan dengan masih menyimpan tanya.
"Ah, sudahlah. Besok saja aku bertanya pada Harvey."
Nathan berjalan menuju mobilnya. Seorang supir membukakan pintu untuknya. Sebenarnya Nathan lebih suka menyetir sendiri. Namun karena kesibukannya, Lian meminta Nathan untuk memakai supir agar lebih aman dalam berkendara.
...*...
...*...
...*...
Tiba di rumah kontrakannya, Sheila segera membersihkan diri. Setelahnya ia memakan makanan yang tadi dibelinya saat perjalanan.
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk disana.
"Simpan nomor ponselku. Harvey."
Sheila manggut-manggut dan melanjutkan makannya. Tak lama ponselnya berdering lagi.
Pesan masuk lagi dari Harvey.
"Ini nomor Tuan Nathan. Jangan lupa menyimpannya."
Sheila mengerucutkan bibirnya.
"Hmm, kukasih nama siapa ya?"
Sheila berpikir sejenak. Kemudian ia memiliki ide jahil.
"Gumpalan Es!" Sheila terkikik.
"Lagi pula dia tidak akan mengecek ponselku juga kan!"
Karena merasa lelah, Sheila mengistirahatkan tubuhnya di ranjang dan bermain menuju alam mimpi.
#bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
❤️⃟Wᵃf🍁Ꮮιͣҽᷠαͥnᷝαͣ❣️🌻͜͡ᴀs
giman reaksi nathan yah kalo tau yg naik mobil mewah sekretaris nya🤣🤣
harvey bener bgt sheila lebih cck jd nyonya bos 😁😁
2022-07-29
1
Last Oct
wkwkwk🤣🤣🤣🤣 pantes,, sekalian "es kepal yg terkepal kepal' 🤭🤣
2022-07-27
2
Last Oct
emang kenapa sekretaris seperti Sheila di mata Nathan ...🤔
2022-07-27
2