Setengah berlari aku menuju mobil yang terparkir tidak begitu jauh. Kuletakkan mukena di jok tengah dan segera kusambar kotak obat yang ada di depan. Lalu kuhampiri Anya yang duduk meringis sambil memegangi lututnya yang terluka. Kubersihkan luka dengan kapas, yang dibasahi dengan revanol.
Lalu kututup dengan hansaplass agar tidak terkena kotoran ataupun kuman. Sehingga proses penyembuhan cepat dan baik.
" Bismillah semoga cepat sembuh." Kutiup luka itu berlahan untuk membuatnya tenang.
"Bagaimana sekarang. sudah enakkan?"
"Masih sakit?"
"Masih. Sabar ya ... nanti juga sembuh."
Sebenarnya saat Anya menangis Zaidan juga mendengar. Hanya saja waktu itu dia sedang melaksanakan sholat sunnah. Hatinya gelisah, sehingga sulit untuk khusu'. Dengan sedikit terburu-buru dia menyelesaikan sholatnya. Begitu selesai sholat, segera dia bangkit dan berlari keluar. Dia tertegun ketika dilihatnya Dinda telah mendahului. Dengan telaten mengobati luka putrinya. Dia sadar, kehadiran Dinda sebagai sosok yang dapat membawanya, melupakan peristiwa tragis itu. Sekarang dia terlihat senang dan ceria.
Berlahan Zaidan mendekati keduanya. Dan berjongkok hendak membantu merapikan kapas pada luka Anya.
"Putri ayah yang cantik sholihah. Mana yang sakit. Ayah mau lihat!" Dinda mundur selangkah untuk memberikan kesempatan pada Zaidan mendekati Anya.
"Ini ayah ...." kata Anya bermanja, sambil menunjukkan luka yang sudah terbungkus rapi.
" Sudah bilang terima kasih apa belum, sama ammah Dinda." Sambil memangku Anya.
"Makasih Ammah. Sudah menolong Anya." Sambil mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Hendak memberikan ciuman terima kasih. Otomatis Zaidan merikuti gerakan Anya dan hampir saja membuat kepalanya terantuk dengan kepala Dinda.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun." Serentak keduanya berucap bersama-sama.
Membuat keduanya terpaku tak tahu apa yang dilakukan.
"Maaf ...." Zaidan mendahului memecah kesunyian. Dia merasa bersalah atas kejadian yang baru saja terjadi.
"Ya ...." Jawab Dinda singkat. Pandangannnya lalu beralih pada Anya yang sudah dipangku oleh pak Zaidan.
"Sama-sama ... .Hati-hati kalau bermain. Biar tidak jatuh ." Dia hanya tertawa, lupa dengan rasa nyeri yang di deritannya
"Sekarang sudah bisa jalan sendiri ...?"
Anya mencoba bangkit. Tapi wajahnya tampak meringis.
"Nggak bisa ...."
"Gendong ayah ...." Jawab Anya dengan manja. Membuat Dinda tersenyum.
Senang rasanya menyaksikan kedekatan ayah dan putri semata wayangnya itu.
Mereka berlalu menuju mobil meninggalkan Dinda yang berdiri mematung seorang diri. Dia tidak terbiasa berdekatan dengan seorang laki-laki kecuali kakaknya yang sangat perhatian padanya. Kejadian sesaat itu membuatnya terkejut dan bingung. Dia hanya mampu berbisik dengan lirih beristighfar dalam hati. Ya Allah ampuni saya atas kejadian ini. Dan lindungilah diriku dari terombang-ambingnya hati. Hingga terbawa angan pada sebuah dosa.
Demikian juga dengan Zaidan. Hatinya terusik dengan kejadian tadi. Dia merasa Dinda adalah wanita yang tidak biasa. Sangat mandiri walau sedikit manja. Dan sangat menjaga dirinya terhadap lawan jenis. Dia sangat menghormati sikap Dinda yang demikian. Tentu kejadian itu akan menjadikan beban pada dirinya. Kejadian itu pasti mengganggu pikirannya. Ya Robbi... ijinkan hamba untuk melindungi diri dari dosa pada hambaMu yang lain, dan ijinkan hamba untuk menjadi pelindungnya. Bisiknya lirih dalam hati menyesali perbuatannya.
"Yah, kapan kita ke rumah eyang." Membuyarkan lamunan Zaidan
"Anya kangen ya?"
Anya mengangguk.
"Tunggu liburan nanti kita bisa ke rumah eyang ."
"Ya, masih lama dong."
"Tidak lama, kalau Anya bisa bersikap manis."
"Sekarang Anya mau duduk sama ayah atau sama ammah Dinda."
"Sama ayah."
"Oke."
Lalu dengan segera dia membuka pintu mobil dengan tangan kanan. Sedangkan satu tangan yang lain menggendong Anya.
"Ammah dinda ...." Teriak Anya membuyarkan lamunannya. Tangan kanan Anya melambai, memanggil dirinya.
Dindapun tersenyum dan merapikan peralatan pppk dalam kotak. Dengan semangat dia berjalan menuju mobil dimana Zaidan dan Anya menunggu. Diikuti oleh Alfath yang baru saja keluar dari masjid.
"Lalu kita berjalan ke arah mana , Pak." Tanya kak Alfath setelah duduk di belakang setir.
"Kita lurus saja. Nanti ada perempatan kita ke kiri. Rumah makan kita berada di pojok. Tepat di tikungan itu."
"Baik pak."
Dengan cekatan tangan kakak menghidupkan mobil. Dan melaju berlahan di jalan yang ramai. Di kanan kiri jalan berdiri gedung-gedung perkantoran dan pabri-pabrik, rapat berjejer.
Namun yang membuat Dinda nyaman dalam perjalalan adalah di tepi jalan berjejer pepohonan yang rimbun, sehingga terik matahari terhalangi dan udara menjadi sejuk. Ditambah lagi dengan coletah Anya yang tiada henti mewarnai perjalanan. Hingga tak terasa telah sampai.
"Alfath, aku turun di sini saja. Kamu parkirkan mobilmu di sana." Sambil menunjuk ke arah plataran luas, terletak di sebelah kanan bangunan itu.
Setelah pak Zaidan turun bersama putrinya, Alfath berlahan membawa mobil ke arah parkiran itu. Tempatnya teduh. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem yang menjulang tinggi. Serta terdapat taman kecil yang mengelilingi sebuah bangunan kecil. Sepertinya sebuah musholla. Di depannya tumbuh pohon kelengkeng yang berbuah lebat. Sangat teduh dengan internit berwarna hitam sebagai payungnya.
Kami keluar, setelah mobil berhenti dan terparkir dengan aman. Berjalan ke arah bagunan yang tak kalah asri, seperti impianku selama ini.
Sedangkan pak Zaidan yang terlebih dahulu turun terlihat berjalan memasuki bagunan tersebut dengan menggendong Anya. Melingkarkan tangan dari leher Zaidan , seakan tak mau lepas. Yang membuat diri kagum, tidak sedikitpun pak Zaidan merasa kesal maupun marah. Membuat Dinda terpesona.
Ternyata perasaannya selama ini salah dalam menilai pribadi pak Zaidan. Saat pertama bertemu terus terang dia merasa kesal karena merasa dipermainkan olehnya. Tapi sekarang dia mulai mengerti bahwa pak Zaidan adalah orang tua berstatus single parent dalam mendidik putri kecilnya. Yang sangat membutuhkan perhatian dan pengawasan yang lebih. Tapi dia begitu telaten dan jarang mengeluh dalam menjalani kewajibannya. Belum lagi dengan tugasnya di kantor yang bertumpuk-tumpuk. Karena membawahi beberapa perusahaan.
Di dalam kami sudah ditunggu oleh beliau, yang duduk santai di sebuah kursi model klasik dari kayu jati. Sedang di sampingnya duduk putri kecilnya, Anya.
"Alfath ... Dinda ayo kemari."
Kamipun berjalan ke arahnya. Dan duduk di depan beliau. Tak lama kemudian ada seseorang masuk yang membawa 4 kotak makanan.
"Bapak Zaidan?"
"Benar saya sendiri."
"Ini pesanan bapak." Sambil memberikan kotak tersebut.
"Terima kasih."
"Sama-sama. Mari pak."
Pak Zaidan mengangguk.
Lalu beliau mengajak kami makan dengan santai.
"Ammah, suapi aku dong."
"Boleh."
"Harus dihabiskan, ya sayang."
"Ammah juga."sambil melirik kotak nasiku yang masih penuh.
"Bagaimana pendapatmu Dinda dengan tempat ini."
"Bagus, indah dan nyaman. Kalau boleh saya jujur, tempat ini seperti yang saya angankan selama ini."
Mendengar itu beliau tersenyum. Benar-benar jawaban yang polos, pikir beliau.
"Berarti bisa langsung dibuka restoran ini." Kata beliau dengan semangat.
"Tapi bolehkah saya melihat dapurnya dulu?"
"Dihabiskan dulu, nanti baru saya tunjukkan dapurnya." Jawabnya senang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
@BUMI_06
aku nyicil KK bcanya
2021-03-22
0
lizzy_aly
seru😊
2021-03-13
1
It's Cars
hai kak🤗nyicil baca dan like sampai sini dulu ya😊
jangan lupa mampir balik😆
2021-01-12
0