Zaidan memperhatikan Dinda yang duduk dengan gelisah, dengan pandangan menerawang jauh ke depan. Sejenak dia diam, serta mengurungkan niat untuk menjalankan mobilnya. Mencoba merasakan apa yang Dinda pikirkan.
Beberapa kali Dinda mengambil nafas serta mengeluarkan dengan berlahan. Dada ini terasa sesak. Ingin segera melepaskannya. Ada getar yang dia rasakan bila berdekatan dengan Zaidan. Dia berusaha menata hati dalam diamnya.
"Dinda."
"Ya. mas." Kata itu tiba-tiba meluncur dari bibirnya. Tak biasa dia memanggil dirinya dengan sebutan itu. Membuat Zaidan menarik nafas dan terdiam. Ada mahnet yang dihantarkan dalam kata 'mas' yang diucapkan oleh Dinda. Namun juga gembira. Sinyal penerimaan atas keinginannya telah ditunjukkan.
"Aku suka panggilan ya engkau pakai barusan" Timbul keisengannya. Kira-kira sadar apa tidak Dinda mengucapkan kata-kata yang membuat angannya melambung.
"Tak bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan itu?" jawab Dinda dengan tertunduk malu. Membuatnya Zaidan gemes. Dia hanya tersenyum menatap Dinda. Alhamdulillah...hatinya bersorak. Ternyata sadar. Lalu dia konsentrasi kembali mengemudi.
"Seandainya dalam waktu minggu ini aku menemui kakakmu, apa engkau siap?"tanya Zaidan tiba-tiba.
"Secepat itukah?"
"Mas takut, kedekatan kita akan mengundang pandangan yang tidak baik terhadapmu nantinya."
"Ijinkan sesaat aku mengadu pada yang di atas, agar jalan kita menjadi terang. "
Tak disangka pemikiran Dinda sangat hati-hati dalam menata hatinya untuk mengambil keputusan. Membuat Zaidan makin terpesona.
"Baiklah aku menunggu dengan iringan doaku juga."
"Tapi mas berharap tidak terlalu lama ."
Sebenarnya ingin kujawab sekarang. Tapi aku belum sanggup mengatakanya. Bisik hati Dinda dalam diamnya. Sekilas ditatapnya Zaidan dengan senyuman.
"Oke ...maafkan mas nggak sabar."
Perlahan dihidupkan mesin mobilnya. Dan membawanya menuju jalan yang masih lenggang meski matahari sudah mendekati puncaknya. Sekarang memang bukan hari libur, hingga tak banyak yang berkunjung di pantai. Mereka bisa menikmati pemandangan dengan leluasa. Sebelum kembali pada rutinitas semula.
Mobil berjalan dengan kencang setelah memasuki jalan raya perkotaan. Berpacu dengan kendaraan yang juga melintas sama.
Sekilas Zaidan melihat Dinda yang sedang duduk disampingnya, memainkan hpnya. Tampak ia serius menaggapi chat yang masuk.
"Dari siapa?" Tanyanya penasaran.
"Silvi ... temanku di toko."jawab Dinda santai.
"Ada apa?"
"Rahasia perusahaanlah." jawabnya santai.
"Oh...."
Mendengar itu Dinda tersenyum menatapnya. Jangan bilang kalau kamu cemburu ya ....
Kembali Zaidan sibuk dengan kemudinya. Dan menjalankan mobil lebih pelan.
"Kita mampir ke kantor polisi dulu ya."
"Ada apa mas?"tanya Dinda agak terkejut dan bertanya-tanya.
"Ada urusan sedikit." jawabnya. Setelah parkir segera dia turun dan berjalan menuju ke dalam kantor polisi seorang diri. Meninggalkan Dinda di dalam mobil, dan juga Anya yang masih tidur di jok tengah.
Lebih kurang 1 jam Zaidan di dalam kantor polisi membuat Dinda bosan. Dia turun sejenak melepas penat yang dirasakan di sendi-sendinya. Secara tidak sengaja dia melihat sebuah mobil berwarna hitam. Sejak memasuki kota, mobil itu selalu di belakangnya. Dindapun menghentikan geraknya. Segera masuk ke mobil kembali. Hatinya risau. Sebenarnya ada apa ini?
Dia hanya bisa mengamati dari dalam, Sampai mobil itu pergi.
Sementara Zaidan di dalam kantor polisi menemui seseorang yang tadi malam masuk ke rumahnya tanpa diundang. Dia duduk berhadapan dengan seorang laki-laki. Yang mempunyai postur tubuh tinggi, gempal, kulit sawo matang dan berambut ikal agak panjang. Dan hanya dibatasi sebuah meja.
Lama mereka diam dan berpandangan.
"Mengapa engkau diam?" tanya Zaidan keras. Tetap saja dia membisu.
"Aku tak pernah berurusan denganmu. Siapa yang menyuruhmu." Dengan nafas panjang Zaidan pun berdiri.
"Baiklah kalau kamu diam." Dia hendak berlalu pergi. Namun di cegah oleh lelaki itu.
"Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti keluargamu. Tapi ibuku dan putriku dalam bahaya. Bila kamu bisa menyelamatkannya, aku akan memberitahumu siapa dalang pembunuh istrimu."
"Mengapa aku harus percaya. Katakan saja pada polisi. Mereka pasti akan melindunginya."
"Tak semudah itu."
"Baiklah, tapi katakanlah!"
"Yang diincar olehnya sebenarnya bukanlah istrimu tapi putrimu."
"Bagaimana kamu tahu? Apakah kamu yang membunuh istriku."
"Aku tak ingin terlibat dalam pembunuhan. Saat itu aku tak mau. Lalu ia menyuruh orang lain melakukannya. Karena tak berhasil, sekarang dia menyuruhku melakukannya. Aku tak berdaya. Ibuku dan anakku dijadikan tawanannya. Keluargamulah yang menginginkan putrimu tiada."
"Tak mungkin. Aku makin tak percaya padamu. Keluargaku yang mana?"tanya Zaidan tajam.
"Pamanmu!"
"Jangan bohong, kamu ingin memecah belah keluarga yang selama ini membesarkanku." kata Zaidan tak kalah sengitnya.
"Terserah ..."
Zaidan diam dan berpikir sejenak. Mencoba mencerna kata-kata orang itu. Antara percaya dan tidak.
"Kenapa baru kau katakan sekarang. Mengapa sebelumnya engkau diam. Seandainya sebelum kejadian ini kamu mengatakannya padaku kita bisa bersama-sama mengungkap pembunuhnya. Dan kamu tidak harus mendekam di sini. Bila kamu keluar segeralah pergi jauh bersama keluargamu. Aku tak ingin melihatmu lagi."
"Baiklah."
"Tapi biarlah ini menjadi urusan polisi." jawab Zaidan. Dan pergi meninggalkannya.
Dengan menyembunyikan resah di hatinya dia berjalan keluar, kembali ke mobil. Menemui Dinda yang sedang binggung dengan mobil yang baru saja dilihatnya. Lalu duduk di belakang kemudi tanpa sedikitpun menoleh pada Dinda. Fokus hendak menjalankan mobil. Dinda ingin menceritakan apa yang tadi dilihatnya namun ditahan melihat wajah Zaidan yang tegang.
"Oh ya sekarang aku antar engkau ke rumahmu." Setelah lama diam membisu.
Dinda menganguk dan mencoba tersenyum.
"Mas, sebenarnya ada apa?" tanya Dinda hati-hati.
"Tadi malam rumahku disatroni orang. Itu saja." jawab Zaidan tenang.
"Boleh aku ngomong?" tanya Dinda hati-hati. Zaidan hanya tersenyum simpul.
"Waktu mas masuk, aku lihat ada mobil berhenti lama disana seperti sedang mengawasi. Mobil yang sama, yang selalu di belakang kita, saat masuk ke dalam kota."
"Mulai sekarang kamu harus hati-hati. Tapi harus tetap tenang."
"Sebenarnya ada apa?"tanya Dinda serius
"Sebelum dalang dibalik pembunuhan terhadap istriku, keluargaku akan selalu dalam bahaya." jawab Zaidan dengan tetap fokus di belakang kemudi.
"Rumahmu yang mana..?" Setelah kami memasuki kawasan pertokoan yang ada di depan perumahan elite.
"Masuk situ ...!"
Kemudian dia putar kemudinya mengarahkan pada gang yang ditunjuk Dinda. Setelah berjalan 25 meter dari belokan, sampailah di depan toko roti
"Sudah. Berhenti."
"Yang mana...?"
"Yang bercat putih. Ada pohon lelengkeng dan jambu airnya."
"Oh ... itu...."
"Thanks, untuk hari ini." ucap Zaidan. Dari Anya dan aku yang selalu menunggumu untuk selalu bersama kembali. Kata-kata yang ingin dia ucapkan tapi susah untuk keluar.
"Oh ya, itu toko rotiku."
"Kamu juga punya toko roti?" kata Zaidan demi dilihat nya sebuah toko yang cukup besar dengan etalase dan meja kursi yang tertata rapi.
"Hebat ..." ujar Zaidan.
"Mampir!"
"Tidak. Siang ini aku ada meeting."
"Oh ya. Selamat bekerja. Dan terima kasih sudah diantar...!" kata Dinda sambil membuka pintu mobil. Kemudian keluar menuju tokonya.
"Assalamualaikum ... by ... by." kata Zaidan.
"Walaikum salam.." jawab Dinda dengan lembut.
Dengan santai Dinda melangkah menuju tokonya yang tampak ramai dengan pembeli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Neng Yuni (Ig @nona_ale04)
Mampir lagi kak, semangat 😊
2020-11-23
1
My sister...
hadir kak..
2020-10-23
0
✰ཽᴰˢVenthy Vey💫ƒσε✰ཽ
tinggalkan jejak kakak😘😘😘
2020-09-26
0