Pembicaraan ini terasa membosankan. Tetapi dinikmati saja. Bukankah rancangan yang baik dan cermat, merupakan langkah awal yang selayaknya, agar usaha dapat memperoleh hasil yang menggembirakan.
Tapi rasanya bosan juga. Keinginanku adalah segera eksekusi. Tanpa berlama-lama dalam pembicaraan. Aku sudah tak sabar, untuk mencoba dapur restoran itu. Dan menghidangkan menu-menu yang jadi andalanku.
Untunglah tak lama kemudian, pegawai cafe menghampiri kami, sambil membawa hidangan kecil yang kami pesan, beserta minuman segar.
Dia menatanya di meja kami. Sesekali kami minum dan makan makanan kecil yang tersedia, sambil mengobrol, melanjutkan pembicaraan hingga selesai.
Kulihat pak Zaidan sangat lelah. Dan ingin beristirahat. Mungkin tidurnya belum cukup malam tadi. Tampak kedua bola matanya terpejap-pejap. Rasa kantuknya menyerang. Sejenak kami diam dalam kesunyian. Agar tidak menggangu tidurnya. Biarlah dia beristirahat dulu.
"Ah maaf, aku mengantuk sekali." kata pak Zaidan, ketika sadar dari kantuknya.
"Habis begadang, pak Zaidan?" kata kakak dengan hati-hati.
"Tadi malam, Anya sering terbangun. Sepertinya dia mengalami mimpi buruk lagi."
Kami berdua terdiam. Mencoba mencerna yang dia katakan. Meski kami masih bertanya-tanya arah ceritanya.
"Bayangan peristiwa itu sangat lekat pada ingatan Putriku. Entah sampai kapan dia mampu menghapus dari pikirannya. Semoga Anya bisa segera melupakannya."
"Peristiwa apa, Pak?" membuatku bertanya.
"Peristiwa yang merengut nyawa bundanya."
"Apa yang menimpa lbunda dan Anya?"
Ah, mengapa kata-kata itu meluncur dari bibirku. Tanpa bisa dicegah. Membuat pak Zaidan terlihat semakin sedih. Lalu dia menarik nafas panjang. Mengeluarkannya pelan-pelan.
"4 bulan yang lalu, saat ada pekerjaan di Kalimantan, rumah kami didatangi perampok. Tapi sepertinya mereka datang bukan untuk merampok. Karena semua barang masih dalam keadaan utuh. Mobil, motor, perhiasan, leptop semua tak ada yang disentuhnya. Apalagi dibawa pergi. Entah apa yang mereka inginkan."
"Seandainya saat itu aku segera pulang, mungkin itu takkan terjadi." lanjutnya sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Terlihat jelas bahwa dia sangat menyesal dengan apa yang menimpa keluarganya.
"Mengapa saat bundanya menelpon, aku abaikan. Aku tak tahu kalau jiwanya terancam."
Lalu dia berhenti sejenak. Mengambil nafas dan menghembuskannya dengan berat.
"Sebenarnya saat aku tidak mengangkat telponnya. Aku ingin memberikannya sebuah kejutan. "
Mata pak Zaidan mulai berkaca-kaca. Lalu diam sejenak. Tak lama kemudian mengalihkan pandangan dan menghentikan cerita yang ingin dia sampaikan. Terlihat beliau larut dalam kenangan duka masa lalu beserta istrinya. Membuatnya tertunduk sedih.
Aku bisa merasakan duka yang mendalam, tersimpan di hatinya, sejak pertama berjumpa. Mungkin dengan mengungkapkan pada kami saat ini, akan membuatnya merasa ringan.
"Ah sudahlah, aku kok jadi cengeng di depan kalian. Maaf jadi merusak suasana."
"Tak mengapa pak Zaidan. Saya merasa tersanjung bisa mendengarkan kisah bapak yang sesungguhnya. Bila itu membuat bapak lebih tenang."
Tak dapat kupungkiri, diriku terbawa juga ke dalam ceritakannya. Hingga tanpa terasa, air mata ini tak bisa dicegah untuk menetes. Segera kuusap dengan tissu yang selalu kubawa. Kok aku jadi ikutan cengeng ya ....
Kami semua membisu beberapa saat. Sampai si kecil Anya datang, dengan membawa keceriannya, sehingga suasana menjadi cair kembali. Dengan langkah santai, dia duduk di antara kami. Minum dengan tenang dari gelas yang masih penuh isinya.
"Aku kembali, Bunda. "Dia berkata sambil berdiri, hendak berpindah tempat ke arahku. Lalu rebahan dalam pangkuanku. Dan bermanja, sambil memainkan rambutnya yang ikal. Membuat kak Alfath semakin bertanya-tanya. Tentang kedekatanku dengan mereka berdua.
"Sebentar-sebentar, apa aku tak salah dengar ya ... Anya memanggilmu bunda?!" Kak Alfath memandang ke arahku dengan tatapan penuh selidik.
"Dinda, kamu ini ada hubungan apa dengan pak Zaidan?"
Ups ... kak Alfath kok bisa ngomong seperti itu sich. Di depan pak Zaidan lagi. Bagaimanapun, aku tak bisa menyembunyikan rasa maluku. Aku hanya bisa memalingkan muka dari tatapannya.
Melihat itu, pak Zaidan hanya tersenyum, menghentikan minumnya. Serta meletakkan cangkir ke atas meja.
"Kami belum punya hubungan apa-apa Alfath. Hanya hubungan kerja ini tadi. Kenalnya juga baru saja." jawab pak Zaidan dengan santai.
Rasanya sudah kayak udang rebus saja wajah ini, menahan malu atas sikap Kak Alfath terhadapku kali ini.
" Dinda, kamu itu adik perempuan kakak satu-satunya. kalau terjadi apa-apa sama kamu, kakak juga yang susah."
"Iya, Kak." jawabku singkat, hampir-hampir tak bisa menahan keluarnya air mata. Ternyata di balik sikapnya yang keras tadi, ada kasih sayang di dalamnya.
"Sudahlah Alfath. Percayalah sama adikmu. Insya Allah baik-baik saja. Lagian dia sudah besar. Sudah saatnya untuk bisa memutuskan sesuatu untuk kehidupannya." pak Zaidan mencoba membelaku. Yang membuat kak Alfath diam membisu.
"Anya, mulai sekarang jangan panggil ammah dengan sebutan bunda ya .... Nanti om Alfath marah. Dan ayah jadi sedih. Mengertikan Anya." kucoba menghibur diri dengan bercakap-cakap dengan si mungil Anya. Sedari tadi memperhatikan kami, yang sedikit panas. Tapi dia hanya tersenyum saja sambil menikmati makanan yang ada. Ini yang membuatku gemas dan segera mencubit hidungnya.
"Lalu Anya harus panggil apa?" tanyanya polos.
"Ammah Dinda. Bisakan sayang?" Sambil kukecup pipinya yang tembem persis bakpao itu.
"Baik ammah Dinda yang cantik. Anya sayang sama ammah. Dan semoga Ammah nanti jadi bunda Anya sesungguhnya." Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Sedangkan pak Zaidan hampir-hampir tidak bisa mengusai diri untuk tertawa. Lain lagi sama kakak yang dikit-dikit marah itu. Ah sudahlah...
Anggap saja nasib sial.
"Wah ... tak adil dong. Tadi ibu. Giliran Anya jadi ammah." kata pak Zaidan yang membuatku sebel.
"Aku panggil Dinda saja ah ...."
Enggghhhh ... hatiku dibikin gemes olehnya. Benar-benar menyebalkan.
"Terserah bapak." aku mengalah.
Ada-ada saja orang satu ini. Batinku ....
"Oh ya .... Apa kamu kuliah?" kata pak Zaidan. Membuatku bersorak. Alhamdulillah, akhirnya kembali ke leptop.
"Ya pak, masih semester empat."
"Saya tidak ingin nanti kuliahmu terganggu. Jadi kalau ada apa-apa laporkan ke saya. Kalau pingin angkat pegawai angkatlah. Mungkin untuk spesifiknya kamu yang lebih tahu ." kata Zaidan dengan pasti.
Aku mengagumi pemikirannya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Kurasa ini keputusan yang baik. Agar usaha ini bisa terwujud dan berjalan dengan baik.
"Dan Alfath sementara ini tolong bantu Dinda. Tapi tugasmu di kantor jangan sampai terbelangkai."
"Siap pak." Jawab kami hampir bersamaan. Membuat pak Zaidan tertawa.
"Ternyata kalian bisa kompak juga." kata pak Zaidan, yang melihat kami selalu bersamaan, ketika menjawab pertanyaan darinya.
Ini sich bukan sekedar jadi chef. Tapi hampir-hampir kayak wakil direktur urusan rumah makan. Gumanku dalam hati.
Aku bersyukur, akhirnya bisa membuka restoran sendiri, meskipun modalnya masih milik orang lain. Yang bisa mengelolanya sesuai dengan bakat yang kupunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Titin
semangat thor
2021-03-07
0
Anjelina Gulo
like untukmu kak
2021-01-01
1
_rus
Sudah aku like Thor 👍🏽👍🏽
tetap semangat pokoknya 💪🏽💪🏽
Salam hangat dari "Sebuah Kisah Cintaku" 😁🙏🏽
2020-11-20
3