Perjalanan menujun kampus hanya membutuhkan sekitar 20 menit dari rumah.
Tiba di parkiran, kami bertemu dengan dua ikhwan. Siapa lagi kalau bukan Haidar dan Reza.
Ketua dan bendahara panitia untuk rihlah esok.
"Hai,"suaranya bikin kaget saja. Suara siapa lagi kalau bukan suara Haidar.
"Apaan sich, kok bilangnya hai ... tidak ada kata lain apa?" balas Hani dengan nada 'merdu'nya. Yang selalu bikin kita ketawa.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Ustadazah semua ..."kata Haidar. Terlihat dia tak begitu serius. Sehingga Hani makin cemberut.
Haidar memang tidak fokus. Karena dia malah mencuri-curi pandang pada Dinda. Yang sedang asyik memandang jam di pergelangan tangannya.
"Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh," jawab kami tak kalah heboh.
"Tapi nggak segitunya kali...."
"Lha kenapa?"
"Kami belum pantas disebut ustadzah." jawab Hani.
"Memang untuk kamu?!" jawab Haidar. Masih dengan sikap cueknya, hingga membuat Hani makin geram dan sebal.
"Sudah ... sudah ... kalian kalau ketemu persis tom and jerry dech. Bisa-bisa kalian nanti berjodoh lho."Silvi mencoba menengahi.
"Haaaaah ..." sontak keduanya berteriak bersama-sama. Membuat kami semua makin gembira untuk menggoda mereka berdua.
"Yuk, kita ke kantin dulu." ajak Reza
"Kita semua." tanya Hani.
"Ya, ini soal rekreasi kita besok."
"Aku pergi dulu ya ..." pamit Silvi.
"Mengapa. Kamu tidak ikut?" tanya Haidar serius.
Yang ditanya hanya senyum-senyum.
"Maaf, Aku nggak bisa."
"Dilarang sama Dinda. Tidak diberi libur. Tega kamu, Din ... Din ...?" Jawab Haidar dengan mata senantiasa tertuju pada Dinda. Haidar ... Haidar. Entah apa yang dipikirkannya sehingga pandangannya tak pernah lepas darinya.
"Bukan. Kamunya yang suka menduga yang tidak-tidak."Silvi merasa kurang nyaman dengan perkataan Haidar. Tapi Dinda hanya tersenyum.
"Sudah, kalian ikut saja. Rezeki buat kalian." jawab Reza singkat dan tulus, mencairkan sesuana yang mulai bikin senewen. Dan seketika wajah Hani menjadi cerah mengalahkan sinar matahari yang lagi terik-teriknya. Dia juga mulai pusing lihat Haidar.
"Oke ."
"Nah ... begitu kan manis, dan bisa makan gratis. Iyakan, Za."kata Haidar.
"Heeem maunya ...." jawab Reza dengan bersungut, membuat kami tertawa.
🔸
Sesampainya di kantin, kami memilih duduk di pojok kanan. Berhadapan lansung dengan lapangan basket, dengan pohon-pohon mahoni di sekelilingnya. Semilir angin yang bertiup, menambah kesejukkan. Sejenak kurasa belaiannya menyentuh pipi. Menyamarkan panas dari pancaran sinar mentari yang terik di siang ini. Dan juga dengan rimbunnya daun, yang memayungi kami, semakin membuat kami nyaman duduk bersama. Sambil menikmati minuman es kelapa muda yang sangat segar, yang baru saja dipesan Haidar.
"Enak nich ... esnya. Dan sekarang kami siap mendengarkan." mulai dech... Hani ini. Membuat Haidar meliriknya dengan sebel.
"Gini... untuk rihlah kita di hari rabu, banyak teman-teman minta di undur. Diganti hari Ahad." kata Reza.
"Kalau itu, kemarin sudah dibicarakan di group, kan..?!." Kebiasaan nich Hani, menyela pembicaraan. Dan lagi-lagi Haidar mencoba memperingatkannya, dengan lirikan matanya yang tajam. Tapi yang diitatapnya sepertinya tak ambil pusing dan tak peduli.
Reza yang sudah akrab dengan mereka, sejak awal masuk kampus, hanya senyum-senyum saja.
"Yang ikut 60 orang. Dan untuk pengaturan tempat, untuk muslimah Dinda yang atur. Sedangkan yang muslim sudah diatur sama Haidar. Dan kenapa aku ajak kalian kesini Hani dan Silvi...? Kami perlu orang yang mengurusi bagian konsumsi. Nggak keberatan kan...?"
"Insya Allah bisa." jawab Silvi. Wah, kalau urusan dengan makanan yang mengandung uang langsung pikirannya jadi lancar jaya. Silvi ... Silvi ....
"Untuk 60 saja atau masih ada yang lain?"tanya Silvi serius.
"Insya Allah ustadz beserta keluarganya akan kita ajak," jawab Reza
"Ustadz kita ikut. Enggak seru ah ...." Langsung membuat kami berhenti menikmati minuman es degan ini. Dan tersenyum memandang Haidar yang cengengesan. Dan tertawa bersama.
"Ich maunya. Kapan sich kamu mau sadar?! Haidar ... Haidar. Masak tidak mengajak mereka. Taaak ... sopaaan ..."jawab Reza ringan dan menyenangkan.
"Jadi berapa?"
"Mungkin 70 cukup. Sekalian snacknya kalian atur."
"Menunya dan jenis kuenya bagaimana?"
"Aku terserah saja. Hanya saja sesuaikan dengan baggetnya."
"Oke."
"Masalah keuangannya hubungannya dengan Haidar."
"Sudahkan. Sepertinya dosenku sudah datang." kata Silvi berpamitan dan pergi meninggalkan kami menuju ruang kuliahnya.
"Sepertinya dosenku juga," kata Haidar pula.
Kamipun berlalu dari kantin menuju ke tujuan masing-masing dengan sedikit tergesa-gesa. Termasuk Dinda dan Reza.
Malang benar nasibku, sudah cepat-cepat menuju ruang kuliah, tak tahunya dosennya tak ada alias tak datang. Gerutu Dinda dalam hati karena kecewa. Tapi senang juga eh ....
Nikmati saja ....
Dengan santai dia menuju ke sebuah bangku kayu yang kokoh, di bawah pohon akasia, yang berada di taman, dekat perpustakaan kampus. Sejenak dia terdiam dan memandang sekitar dengan senyuman. Lalu dibuka hpnya, memilih aplikasi al Qur'an. Membacanya dengan lirih.
Semua itu tak lepas dari pengamatan seseorang yang sedari tadi memperhatikannya. Dia adalah orang yang sama, yang menyambutnya di parkiran tadi. Dialah Reza.
Sudah lama ia menaruh hati pada gadis itu. Sejak awal ospek, dimana dia menjadi senior yang membimbing Dinda. Ada getar-getar lembut yang tumbuh dalam hatinya. Yang mengimpikan kehadiran ratu dalam rumah impiannya. Dan rasa ini adalah yang pertama dia alami. Mengingat dia tak terbiasa bergaul bebas dengan wanita. Perasaannya itu disimpannya dengan rapat. Ini mungkin yang terbaik. Mengingat dia masih kuliah, demikian pula Dinda. Sehingga tak seorangpun mengetahuinya.
Berlahan dia menghampiri Dinda yang sedang duduk sendiri.
"Hai Din. Sedang apa?"
"Hai juga, Kak Reza. Lagi nyantai."
Kemudian dia menutup hpny a dan memperhatikan Reza yang sudah duduk di depannya.
"Kak Reza kosong juga?"
"Ya. Tiba-tiba saja dosennya ijin."
"Sama nich nasib kita." jawab Dinda.
"Dari tadi, aku perhatikan kamu diam aja. Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat Dinda tersenyum.
"Tidak, ini tadi aku lagi tilawah."
"Bukan ini tadi, sejak kamu datang dan di kantin, kamu juga diam."
"Tidak ada apa-apa, Kak."
"Jangan bohonglah. Sejak tadi aku selalu memperhatikanmu."
Membuat Dinda tertawa sampai terlihat giginya yang putih, berjejer rapi, serta lesung pipinya. Semakin tampak manis di mata Reza.
Dia tak tahu maksud Reza yang sebenarnya. Padahal itu merupakan ungkapan tulus dari hatinya yang paling dalam.
"Lagi males ngomong saja. Dan juga capek."
"Din. Kamu pasti ikutkan?"
"Insya Allah."
"Kalau kamu tak ikut, tidak ada gunanya aku ikut."
"Lho. Tidak boleh begitu Kak Reza. Kok menggantungkan keputusan pada seseorang. Apalagi kakak ketuanya."
Membuat Reza tersenyum sekaligus sedih. Karena Dinda tak mengerti juga akan perasaannya. Itu yang selama ini dia rasakan.
"Oh ya, aku minta tolong boleh?"
"Apa, Kak?"
"Pastikan Silvi ikut."
"Memangnya ada apa,Kak?"
"Ajak saja. Ada yang mau kenalan."
"Bener Kak, nanti akan aku bujuk lagi. Kemarin dia bilang tak mau ikut."
"Usahakan sangat!"
"Oke."
Menjadi mak coplang orang lain, sudah sering ia lakukan dan berhasil. Tapi urusan dengan hatinya sendiri, sampai saat ini tak berhasil-hasil juga.
Dinda, kapan kamu mengerti perasaanku. Bisiknya dengan lirih hingga anginpun tak mampu mendengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
sahabat syurga
reza telat kduluan zaidan...cb klo suka sm dinda lgsung ktakan biar gk kduluan org lain...klo aku lbh sk dinda brjodoh dg yg msih bjang ktimbang duda
2021-04-18
0
Neng Yuni (Ig @nona_ale04)
Mampir lagi kak, semangat 😊
2020-12-04
0
My sister...
semangat..
2020-11-06
0