"Habis ini kita ke restoran kita, Dinda, Alfath."
"Baik pak."
"Sebentar, tunggu Anya belum selesai makan." Interupsi si mungil Anya yang sedang menikmati makanan kecil.
"Ya sayang .... Dimakan saja dulu dengan tenang. Kita tunggu kok." Jawabku.
"Suapi ammah ya ...biar cepat."
"Sip ...." Dia sambut suapanku dengan mambuka mulut lebar-lebar, memakannya dengan lahap.
"Bagaimana sekarang, sudah kenyang?"
"Sudah. Makasih ammah." jawabnya riang.
Kemudian, dia minum dengan berlahan-lahan. Wajahnya terlihat senang, karena perutnya telah terisi. Bermain sejak pagi, membuatnya lapar.
Kami bangkit menuju parkiran, melewati beberapa joglo yang berjejer indah, di samping kanan dan kiri jalan. Ini bisa dijadikan inspirasi di kemudian hari, dalam mengatur rumah makan.
Pak Zaidan dan kakak berjalan terlebih dahulu. Sedangkan aku mengikuti di belakangnya, sambil menggandeng tangan Anya yang mungil.
"Dimana letak restoran itu." aku bertanya setengah berbisik pada kak Alfath.
"Dekat kantor." Jawab pak Zaidan.
Sebenarnya pertanyaan itu untuk kak Alfath. Tapi pak Zaidan yang menjawab. Membuat diri ini tersipu malu
"Makanya ikuti saja, jangan banyak tanya!" Kata kak Alfath dengan nada agak tinggi, disertai wajah yang garang seperti monster. Menyeramkan sekali ....
Aku tak tahu, kenapa kak Alfath menjadi galak, protektif, dingin, jutek dan menyebalkan. Membuat diriku salah tingkah. Padahal kalau di rumah baik dan ramah.
"Ammah ... ammah ... kalau pergi jangan ajak om Alfath."
"Kenapa ?"
"Nanti ammah dimarahi terus."
Nach ... anak kecil saja bisa manilai. Masak nggak merasa sich .... Batinku bergemuruh dengan beribu kata yang tak mungkin diungkapkan.
"Alfath, boleh kali ini aku numpang di mobilmu. Rasanya aku mengantuk sekali. Aku tidak sanggup lagi untuk menyetir sendiri kali ini?" kata pak Zaidan.
Terlihat matanya merah, menahan kantuk berat.
"Boleh Pak, tapi mobil saya tak senyaman mobil bapak." Kata kak Alfath malu-malu. Lebih baik terus terang dari pada nanti jadi pikiran atau beban di hati.
Pak Zaidan pun tersenyum menanggapi ungkapan itu. Beliau terlihat bisa memaklumi keadaan bawahannya. Dia sangat rendah hati. Kesombongan dan keangkuhan jauh dari kepribadiannya. Beliau tidak membeda-bedakan, antara atasan dan bawahan. Menganggap semua sama. Dan satu lagi, dia orang yang peduli.
"Silahkan, Pak." kata kak Alfath.
Dia membukakan pintu untuknya. Dan mempersilahkan duduk di depan bersamanya. Lalu dia menuju ke sisi yang lain. Duduk dengan tenang di belakang kemudi.
"Jangan khawatirkan mobilku. Aku sudah telpon pak Aris untuk mengambil mobilku nanti." Menjawab kegusaran kakak yang tampaknya ragu untuk menghidupkan mobil ini.
Sesaat setelah mobil berjalan, pak Zaidan melanjutkan tidurnya yang sejak tadi, mencoba untuk ditahannya. Di samping kakak yang sedang menyetir mobil dengan tenang. Anya dan aku duduk di jok tengah.
Untuk mengusir kebosanan, kami bermain tebak-tebakan. Kadang juga menyanyikan beberapa lagu anak-anak. Membuat suasana menjadi menyenangkan. , namun sedikit berisik. Sehingga tak jarang kak Alfath harus sekali-kali memperingatkan kami. Agar tidak mengganggu pak Zaidan yang sedang tertidur pulas.
Namanya juga anak kecil. Selalu ada saja yang diperbuatnyal. Wajahnya tak pernah lepas untuk melihat ke luar cendela. Bila ada suatu yang menarik, dia akan bertanya terus, sampai dia merasa puas. Hingga tak jarang aku dibuat kerepotan untuk memenuhi rasa keingintahuannya. Dia memang anak yan cerdas.
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, mobil ini berhenti tepat di depan sebuah gedung perkantoran yang megah. Dengan halaman yang luas. Ada taman kecil di pinggir-pingirnya. Cukup untuk berteduh. Namun kami hanya bisa diam di dalam mobil. Tak tahu harus melakukan apa. Menunggu pak Zaidan terbangun dengan sendirinya.
"Om, aku mau turun ya...." kata Anya tak lama kemudian. Memang terasa jenuh berada di dalam mobil. Terlihat tangan mungilnya, berusaha membuka pintu mobil, yang masih terkunci. Kubuka pintu itu. Bersama-sama kami keluar, menuju taman yang ada di pinggir halaman kantor ini. Sekedar untuk menghilangkan penat, yang terasa selama dalam perjalanan. Meninggalkan kakak dan pak Zaidan yang masih dalam keadaan tertidur pulas.
"Sudah sampai tho...?"
"Ya ...pak."
"Mengapa kalian tidak membangunkanku?"
"Kami tak tega, Pak."
"Hemmm ...ada-ada saja kamu Alfath."
"Mana Anya dan Dinda?"
Dilihatnya tak ada orang lagi di mobil ini selain mereka berdua. Diapun menengok keluar mobil. Dilihatnya, Anya yang duduk dibawah pohon, berlindung dari sinar matahari yang sedang panas-panasnya. Melepas lelah dan menikmati sejuknya semilir angin berhembus. Sedangkan Dinda terlihat membasuh kedua tangan dengan air pada kran yang tersedia di taman kantor.
"Alfath ...kamu panggil mereka. Aku mau memesan makanan online dulu. Nanti kita makan di restoran yang kita tuju."
"Baik, Pak."
Kak Alfath melambaian tangan kanannya, sebagai isyarat memanggil, agar mereka kembali. Tapi sayangnya, baik Dinda maupun Anya tidak melihat. Mau tak mau Alfath berjalan, menghampiri keduanya untuk mengajak kembali. Dan segera melanjutkan perjalanan.
"Pak Zaidan ...apa tidak sebaiknya kita mencari masjid untuk sholat dulu. Ini hampir memasuki waktu sholat dhuhur."
"Oke, kita sholat dulu. Agar tenang." jawab pak Zaidan.
Setelah mobil berjalan 3 menit, kami menemukan masjid kecil yang asri. Kita semua turun dan menuju masjid itu. Tempat wudhu tersedia untuk masing-masing. Terlihat bersih dan terawat.
Namun aku tak lupa, untuk mengambil peralatan sholat, yang ada dalam tas di jok tengah. Sebagai jaga-jaga kalau di dalam masjid tidak menyediakan peralatan sholat bagi para musafir. Lalu, menuju ke tempat wudhu untuk bersuci. Dengan menggandeng Anya, yang tampak senang mengikuti.
Segar terasa saat air jernih menyentuh dan menembus kulit ariku. Dari wajah, tangan hingga kaki basah oleh air wudhu. Benar-benar menyejukkan.
Rupanya Anya tak kalah manis, dengan menirukan semua gerakan wudhuku. Walaupun tak sempurna, namun cukup lumayan untuk anak seusianya. Hanya sayang, percikan air wudhu mengenai sebagian bajunya, sehingga terlihat basah semua. Akupun hanya bisa tersenyum. Segera kuambilkan baju ganti yang senantiasa disiapkan dari rumah, mungkin oleh pak Zaidan, atau yang lainnya.
Demikian juga saat kami mengikuti sholat berjamaah. Dia tak beranjak dari sisiku, bahkan ikut sholat disampingku, dengan tertib, walau tak lengkap rekaatnya.
Selesai sholat, tanpa bisa aku cegah dia berlari keluar, tak sabar menungguku melipat mukenah, menuju halaman depan masjid yang dipenuhi tanaman hias. Ketika ada kupu-kupu terbang rendah, mengitari bunga asoka, yang berwarna merah, matanya melirik dan tergoda untuk mengejarnya. Tanpa memperhatikan bahwa pijakannya adalah batu kecil-kecil yang kasar. Keseimbangannya tidak stabil akhirnya tergelincir dan jatuh terduduk.
Mendengar tangisannya aku segera berlari keluar melihat apa yang terjadi dengannya.
"Sudah ...sudah. Tidak usah menangis. Tunggu ammah di sini. Ammah mau ambil dulu kotak obat di mobil." setelah mendudukkannya dengan tenang di beranda masjid.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Titin
like thor
2021-03-08
0
Lia halim
Good..mereka rajin beribadah juga y
2021-01-28
0
My sister...
hadir kak..
2020-10-07
0