Saat ini Dinda tengah sibuk menyelesaikan propasal untuk restoran yang akan dia buka. Alhamdulillah, tidak memerlukan waktu lama. Pekerjaan itu telah beras. Setelah itu, baru dia bisa istarahat dengan tenang. Merebahkan badan yang telah lelah seharian di kasur yang empuk, di kamar yang nyaman.
Tepat pukul 01.30, Dinda bangun dan menuju dapur toko rotinya. Berkutat dengan adonan dan panggangan. Dan jadilah sebuah roti yang siap untuk dihias sesuai dengan pesanan.
Nach tinggal sentuhan terakhir. Dengan serius Dinda menyelesaikan pekerjaan menghias kue tart yang yang akan diambil hari ini.
"Sudah bangun, Han." Terlihat bayangan seseorang yang sudah kukenal menghampiri.
"Kamu tidak tidur semalaman, Din."
"Hemmm .... "
Tangannya yang trampil sibuk memainkan vla membentuk bunga-bunga yang indah di atas kua tart yang bersusun tiga. Dominasi warna pink membuat menarik. Dan semakin cantik dengan hiasan sepasang pengantin di puncaknya, memberikan kesan keceriaan dan cinta. Sesuai dengan tema.
"Han, tolong hias kua tart kecil itu."
"Ini bonusnya?" tanya Hani
"Bukan, untuk putri boss."
"Oh ..." jawabnya penuh curiga.
"Ada apa?" kata Dinda sambil terus konsentrasi membentuk bunga-bunga dari buttercream yang dia buat.
"Jangan-jangan ini sogokan ke boss."
"Hani, Jangan bercanda ah!"
"Bossmu single atau sudah menikah."
"Hem ..."
"Apa itu hem. Apa tidak ada jawaban yang lain?"
"Duda, ada apa?"
"Oh ..."
"Masalah?"
"Tidak, hanya ...."
"Kue kamu sepertinya sudah matang."
Segera Hani beranjak pergi meninggalkan kue tars dengan hiasan setengah jadi. Membuka penutup langseng dan meneliti kematangan kuenya. Alhamdulliah telah matang dengan sempurna. Dengan hati-hati diangkat dan dirapikan di atas napan. Agar panasnya segera hilang.
"Din, kamu ikut tidak ke Malang?"
"Entahlah."
"Lha, kamu kan panitia. Masak tidak ikut?"
"Tapi aku lagi sibuk."
"Jangan kerja melulu. Nanti cepat tua. Refressinglah sekali-kali."
"Boleh."
"Nach, begitu dong."
"Din. Tadi pagi Haidar ke sini."
"Lalu?"
"Ya elak ... masak kamu tidak mengerti, Din."
Terlihat rasa gemes di wajah Hani, melihat sahabatnya tidak respect dengan kabar yang mau disampaikan itu.
"Mencari kamu."
"Kok?" Tanya Dinda tanpa mengalihkan pandangan pada kue tart yang sedang dihiasnya.
"Ya ... untuk memastikan kamu ikut apa tidak."
"Oh ... hanya itukah! Kirain apa."
"Menurut kamu apa?" Balik Hani bertanya.
"Tak kira mau menagih hutang. Aku jadi kepikiran, apa pernah aku hutang dengan dia ya?"
"Ya sudahlah, ngomong sama kamu sepertinya merepotkan."
Dengan kesal Hani mengakhiri pembicaraan. Dan mencoba mengalihkan pada topik yang lain.
"Kita libur ya?"
"Hem...."
"Boleh apa tidak?"
"Silvi ikut apa tidak?"
"Dia kan, tidak suka pergi."
"Kalian lagi membicarakan aku?"
Entak sejak kapan Silvi di belakang kami.
"Sudah lama, Sil?"
"Baru saja."
" Semua pesanan kue untuk hari ini sudah siap?"
"Sudah Din. Tinggal packing. Tapi menunggu panasnya hilang."
"Kalian lagi bicara apa?""
"Besok hari rabu teman-teman kampus mau ke Malang. Kamu ikut atau tidak?"
"Tidak."
"Mengapa?" Tanyaku memastikan.
"Aku itu orangnya suka mabuk kendaraan. Dari pada merepotkan. lebih baik tidak. Mau seneng tambah berabe nantinya."
"Tinggal dikerokin, kenapa."
"Siapa yang mau juga dikerokin"
"Ya sudah, Aku jadi merasa tidak enak."
"Tak apa-apa. Din, Hani. Pergi saja kalian. tokonya biar aku yang jaga."
"Ya sudah kalau begitu."
Saat ini baru sekitar jam 2. Tapi keramaian sudah mewarnai dapur toko rotiku. Kesibukan yang seperti ini adalah hal lumrah terjadi. Biasanya sesudah subuh kegiatan ini dimulai. Tetapi kalau banyak pesanan bisa jadi sebelum subuhpun sudah sibuk.
"Silvi, Hani, sepertinya kita perlu orang lagi untuk bagian produksi. Apa kalian punya pandangan."
"Ya. Aku ada, kalau kamu tidak keberatan." Sahut Silvi.
"Boleh. Kalau bisa besok suruh datang. Dan bawa lamarannya."
"Oke."
"Din, apa boleh bekerja paruh waktu."
"Memangnya ada apa Sil?" Sejenak Dinda berhenti. Memperhatikan sahabatnya itu dengan seksama.
Silvi diperhatikan seperti itu menjadi gugup. Lalu dia memandang Dinda dengan tersenyum.
"Bukan aku, Dinda. Tapi ada satu adik kelas kita, saat ini pingin bekerja. Tapi masih sekolah."
"Oh ... bagus itu. Boleh saja."Jawab Dinda membuat Silvi senang.
"Terima kasih. Dinda."
Akhirnya selesai juga menghias kue tart ini. Kupandang dengan perasaan puas dan senang. Lalu kuletakkan di atas meja. Siap untuk dibawa tuannya.
"Hani, hiasan kuemu bagus banget."Kecermatannya, ketelitiannya dan keunikkan yang ditampilkan, dalam menghias kue luar biasa. Bisa jadi wakilku nanti ini.
"Bisa saja."
"Kalau dilatih pasti melebihiku, Hani."
"Kalau kamu puji terus, kepala ini tidak bisa dipakaikan helm"
"Ada saja kamu, Hani...Hani...."
"Silvi. Pizza buatanmu rasanya kok beda kemarin. Kamu kasih apa?"
"Kamu suka?"
Aku mengangguk.
"Bisa nggak kamu buat hari ini. Menambah variasi kue kita. Siapa tahu ada yang minat."
"Aku malah berharap demikian."
"Hari ini bisa?"
"Sepertinya bisa, Din. Bahannya juga sudah ada semua. Kemarin bahan-bahan yang kita pesan kebetulan sudah datang. Bahannya tidak jauh beda dengan roti lain hanya saja ... rahasia dong."
"Aku nanti mau bawa 2."
"Untuk boss ya ...?" Hani tiba-tiba menyela.
"Han ... Han. Pikiranmu kok ke arah situ terus sich." Jawabku sambil geleng-geleng. Tapi Hani hanya senyum-senyum tanpa dosa.
"Aku tinggal dulu,aku belum masak nich."
"Masak yang enak ya ..." seru mereka.
Kujawab dengan segera berlalu. Menuju pintu samping, kembali ke rumah induk.
Segera kucolokkan rice cooker sebelum berangkat membersihkan diri yang terasa kumal ini. Tetapi harus kupastikan persiapan untuk makan besok sebelum kutinggal pergi.
Mempersiapkan hidangan adalah pekerjaan rutinku. Untuk bekal kakak dan pegawai tokoku. Sudah jadi hak mereka untuk mendapatkan makan siang. Karena itu satu paket dengan pekerjaan mereka di sini. Apalagi mereka menginap, bisa 3 kali sehari. Tapi alhamdulillah, kalau aku tak sempat masak, mereka dengan suka rela masak sendiri dengan bahan-bahan yang sudah kusediakan di kulkas. Untuk nasinya tinggal colok di dapur toko.
"Din. Nanti banyakin bekalnya ya." Rupanya kakak juga sudah bangun.
"Lha ... kakak, uangnya mana dong. Suruh masak banyak tapi belanjanya nggak ditambah."
"Beres." jawab kakak santai.
"Ini juga untuk kamu. Promasi ..."
Lalu Alfath duduk dengan tenang di kursi yang ada di dapur.
"Din, kakak nggak keberatan kalau kamu menjalin hubungan serius dengan seseorang. Asal jangan di belakang kakak."
"Kakak ngomong apa sich. Dinda tidak mengerti."
Lalu Alfath menarik nafas panjang.
"Bagaimanapun kamu masih tanggung jawab kakak. Kakak tidak mau terjadi apa-apa sama kamu."
"Aku semakin tidak mengerti dengan yang kakak omongkan."
"Tugas kakak tinggal satu yang belum terlaksana untuk kamu. Yaitu menikahkan kamu."
"Ich ... Kakak. Kakak duluan kenapa?"
"Kakak belum bisa, kalau belum menikahkan kamu dengan seseorang yang bisa melindungimu dengan baik."
"Kakak ini bikin aku tambah takut tahu!"
"Kamu takut atau tidak. Masa itu akan datang, adik kakak yang manja."
Lalu Alfath pergi begitu saja. Menuju kamar mandi dan bersuci. Seperti kebiasaannya selama ini. Menjemput fajar dalam ketaatan pada yang Kuasa.
Sedangkan Dinda masih terbengong-bengong. Merenungi kata-kata yang diucapkan kakaknya. Setelah menyiapkan bahan-bahan dan mengolahnya dengan baik. Dia ke kamar mandi, membersihkan diri.
Setelah badannya segar dengan siraman air. Diapun berlalu melewati dapur dan melihat masakannya yang sudah masak. Lalu mematikan kompor sebelum meninggalkannya. Dan sejenak melepas lelah dengan bermunajat pada tempat bergantung yang sesungguhnya. Dialah yang maha segalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
10 like plus rate 5 👍😍
2021-03-10
0
silviaanugrah
hai thor, 10 like dan 10vote untuk ceritamu.
semangat up dan smg ceritanya sukses ya.
aku tunggu feedback nya di ceritaku ya. 😊😍
2021-01-16
0
Neng Yuni (Ig @nona_ale04)
Mampir lagi kak, semangat 😊😁
2020-11-17
0