Rupanya meetingnya lama. Mungkin banyak persoalan yang perlu dibahas. Dengan sabar kami menunggu.
Mengisinya dengan melukis adalah yang menyenangkan. Terlihat Anya menikmatinya. Tak henti-hentinya dia menggoreskan pensil warna pada kertas. Sudah berlembar-lembar kertas yang terbuang sekedar memenuhi hasrat melukisnya. Tak lupa dia menceritakan apa yang telah dilukiskan. Yang sering membuatku tertawa dan ingin selalu menggoda.
"Sudah rapi?" Suara Zaidan memecah kesenyapan ruangan ini.
"Ayah kok lama sich!" Dia menatap ayahnya dengan sedikit kecewa.
"Iya, maaf. Sudah sekarang bereskan semua. Dan kita berangkat."
"Oke." jawabnya sambil menumpuk kertas bekas lukisan dan meletakkan begitu saja di atas meja dekat sofa.
"Sudah ammah. Nanti biar dibereskan ob." Zaidan menghentikanku untuk merapikan tempat itu.
"Kue dari ammah masihkan?"
"Masih." jawabku.
"Ini laptop ammah. Maaf."
Dia berikan laptop itu dengan senyum mencurigakan, seperti ada yang disembunyikan. Setidaknya laptop ku telah kembali. Husnudhan saja kalau dia tidak membuka yang lainnya.
"Tuan putri Anya dan ammah Dinda, silahkan jalan duluan." lni ajaan atau perintah. Habis gayanya seperti berolok-olok.
"Biar aku yang bawa kue sekalian juga makanan dalam rantang itu."
Paper bag dan rantang disambarnya dan dia mengikuti kami dengan tergesa.
"Kita ke pantai ya." usul Anya.
"Boleh, bagaimana ammah ..."
Aku tersenyum. Bukankah ini acara untuk Anya. Dan kami hanya mengikuti keinginannya.
"Asyik juga." Jawabku.
"Tunggu di mobil. Ayah menyusul."
Aku berlalu dari hadapan Zaidan, dengan menggandeng Anya. Sedangkan Zaidan terlihat memberi petunjuk pada pak Aris tentang suatu hal.
"Maaf, Dinda. Harus menunggu." Ucap Zaidan ketika sudah bisa menyusul, ketika kami baru akan memasuki lift.
"Kamu tadi sudah ijin kakakmu."
"Sudah."
Bertiga berjalan beringin. Sambil sesekali bercanda. Hingga kami sampai di tempat parkir. Bersama menuju sebuah mobil.
Setelah meletakkan bawaan di jok kedua. Dengan sigap membukakan pintu untuk kami pula.
"Anya dipangku ammah, di depan."
"Asyik." Spontan Anya berteriak kegirangan. Justru aku jadi tertegun atas permintaan Zaidan.
"Maaf. ada Anya di antara kita . tidak usah sungkan."Dia bisikkan kata-kata itu di telingaku. Kenapa lagi dia...batinku.
"Ayo Ammah, jangan bengong." Anya menarik tanganku, mengajak duduk.
"Iya ammah ini. Dikit-sikit bengong." Zaidan menimpali. Seperti biasa aku dikeroyok sama 2 mahluk menggemaskan ini.
"Oke." Bingung dan gugup, itu yang kurasakan.
"Nach, gitu lebih baik." Katanya ketika aku sudah duduk di depan bersamanya.
"Kita ke pantai, sesuai keinginan tuan putri." Dia melirik kami dengan senang.
Tak perlu waktu lama untuk sampai. Masih sepi belum banyak orang yang datang. Zaidan pun segera memarkirkan mobilnya. Jauh dari tepi pantai.
Anya sudah tak sabar. Ingin bermain-main di tepi pantai. Tangannya yang mungil mencoba membuka pintu mobil yang masih terkunci. Zaidan membuka pintu otomatis itu.
Dengan gembira Anya keluar. Dan berlari ke tepi pantai sambil tertawa senang.
"Anya, hati-hati. Tunggu ammah."Kukejar dirinya yang berlari cepat menuju ombak. Tak mengerti bahaya bila terlalu dalam mencapai ombak. Ada rasa khawatir dalam dada yang mempercepat langkahku ini untuk menggapainya.
"Anya." Sampai juga aku meraih tangannya, bersamaan dengan datangnya ombak yang berkejar-kejaran. Membuatku basah sekujur badan , bermandi air laut.
Tak bisa kupungkiri aku menikmati suasana ini. Lelah semalam terbayar lunas dengan percikkan air yang datang bertubi-tubi.
Dari jauh Zaidan hanya bisa memandang. Ke tengah gelombang yang datang menerjang. Di sana ada seseorang yang mulai mengusik hatinya. Dan juga telah mengisi hati putrinya dengan sejuta keceriaan. Ingin dia berlari mengejar mereka. Tapi sayang mobilnya masih terbuka. Dan dia masih memakai setelan baju kantornya.
Untunglah sebelum berangkat dia sudah mempersiapkan baju ganti. Dengan segera dia sembunyi. Dan keluar dengan dengan baju yang tak sama lagi. Kaos putih dan celana pendek tebal panjang selutut. Segera menyusul mereka dengan berlari.
Menyadari ada seorang pria yang datang, membuat Dinda gugup atas keadaanya saat ini. Berbalut baju basah yang melekat dengan sempurna pada lekuk tubuhnya. Meski dari kepala hingga kaki tertutup. Hanya menyisakan wajah basah sebagai tanda.
Bermaksud pergi, tapi ombak besar menghalangi. Mengejar dirinya yang berlari ke tepi. Namun langkahnya terhenti. Ada Anya yang diam menghadang ombak yang datang. Secepat langkah berbalik arah hendak meraihnya. Tepat ombak datang tangan kecil itu dalam genggaman. Bersamaan dengan Zaidan di posisi yang sama. Tak sengaja kakinya terinjak denga kuat. Tanpa sadar Dinda menjerit lirih.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun."
"Maaf Dinda. Inikah yang sakit?" spotan Zaidan meraih dan memegang kakinya. Sekejap jantungnya terhenti terkesima dengan Zaidan lakukan padanya. Setelah sadar, dia tarik kaki dari tangan Zaidan.
"Maaf." Ucap Zaidan. Dinda masih tertunduk malu dan bingung.
"Ayah, Ammah. Itu ada ombak lagi." teriak Anya mengembalikan kesadaran mereka.
"Jangan dekat-dekat dengan ombak Anya."
"Hanya di sini saja, Ammah."
"Main sama ayah ya..."
"Ya ammah, mengapa kalau ayah datang selalu ammah pergi. Nggak seru ah..!" Zaidan hanya tertawa atas protes yang ditujukan pada Dinda.
"Ammah menyiapkan makan kita dulu." jawabku beralasan.
Dinda segera berlalu dari tempat itu. Dengan pakaian yang basah dan perasaan yang gelisah. Menuju batu karang untuk berjemur sejenak. Agar bajunya sedikit kering. Untunglah saat itu pengunjung belum begitu banyak, sehingga dia bisa leluasa untuk berjemur.
Setelah dirasa kain yang melekat di tubuhnya bisa berkibar, Dinda menuju ke sebuah toko yang sudah mulai buka di tempat itu, membeli baju sebagai penggantiyang basah ini. Serta mencari tempat untuk bersih diri dan ganti. Alhamdulillah sekarang nyaman sudah, dengan pakaian baru yang dikenakan.
Kriiuuk....suara dari dalam cacing-cacing yang ada di perut berteriak lapar. Minta segera diberi makan. Ternyata lama bermain di air membuat perutku keroncongan.
Kugelar tikar kecil di bawah pohon pinus yang ada di tempat itu. Lalu mengeluarkan bekal yang tadi kubuat, menatanya dengan rapi. Sambil menunggu mereka selesai bermain. Ingin makan tapi yang punya belum datang.
Tak lama berselang, kulihat mereka berlari kejar-kejaran ke arahku, dengan sekujur tubuh basah dan wajah yang kotor oleh pasir pantai.
"Kok lemas."
"Lapar."
"Ya sudah. Ayo makan, tapi mandi dulu sana."
"Baik ammah Dinda yang cantik." Jawab Zaidan dengan senyum yang mempesona. Membuat Dinda terkesima dengan keadaan Zaidan saat itu. Yang masih memakai baju basah, dia terlihat aslinya. Segera dialihkan pandangan, agar segera hilang bayangan yang melintasi angan, yang menyeretnya pada dosa.
"Ayo Anya kita mandi dulu. Nanti nggak boleh makan sama Ammah..!"
Tak lama mereka kembali dengan keadaan bersih dan rapi.
"Ammah tolong resletting baju Anya." Sambil membelakangku.
"Baik." Kurapikan bajunya yang tadi masih terbuka.
"Ayah curang , makana duluan."
Kulihat Zaidan sudah membuka rantang dan sedang menikmati isinya. Rupanya dia sudah tidak tahan menunggu. Dengan asyik dia melahap masakanku.
"Ayah habiskan ya..."
"Tidak, itu masih!" Menunjuk rantang dengan mulut penuh terisi.
"Ya ...tinggal sedikit. Untuk ammah mana..?" Aku hanya tersenyum mendengarnya sambil kusendok nasi, sayur, dan lauk untuknya.
"Habis enak sich, masakan ammah Dinda."
"Sudah ini sayang, Anya makan dulu." kata ku sambil menyuapinya bersama aku juga. Alhamdulillah dia makan dengan lahab, malah minta nambah. Sayangnya sudah dihabiskan mahluk itu.
"Ini untuk kita ya sayang." Kataku sambil membuka 2 kotak pizza.
"Asyik ... ayah jangan dikasih ammah."
Kulihat Zaidan melirik dengan kecewa.
"Andaikan bisa menikmati ini tiap hari. Anya pasti suka." Kata Zaidan pelan menerawang.
"Ayah juga, itu buktinya." Sambil menunjuk rantang yang kosong.
"Ammah ...!"
"Hemm ..." Ku tak bisa menjawab karena mulutku penuh terisi.
"Anya pingin, ammah bisa gantikan bunda Anya yang sesungguhnya." Tatapan penuh harap dan rindu , dia tujukan padaku. Aku diam tak tahu harus memberi jawaban apa.
Kulihat Zaidan memperhatikan dan menunggu jawaban juga, atas pertanyaan putrinya itu.
Jawab dong Dinda...aku juga menginginkannya. Bisik hati Zaidan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
adning iza
berjuang dong zaidan
2024-11-09
0
Titin
like mendarat thor
2021-03-18
0
Neng Yuni (Ig @nona_ale04)
Woee ngakak pas kaki dinda ke Injek, aku yang kaget 🤣🤣
2020-11-20
1