SENYUM ANYA
Awas adik ..." reflek tangan ini meraih gadis kecil yang melintas di depanku. Rupanya ia tak menyadari bahwa ada dahan besar yang akan jatuh.
Dan benar. Brrrukk ....
Dahan itu jatuh tak jauh dari kami berdiri.
Spontan tangannya yang mungil memelukku.
"Anya ... ayah kan capek kalau kamu lari terus."kata seorang lelaki yang datang dengan berlari sampai terlihat kelelahan.
"Adik namanya Anya?"
"Ya ...."
"Adik kalau mau lari jangan di sini. Ada bapak-bapak sedang menebang pohon. Kalau tertimpa ... bagaimana?"
Dia terdiam dan menatapku lama. Kulihat ada butiran-butiran bening menetes dari sudut mata indahnya. Wajah manis kini mulai tertutup kabut kesedihan.
Dengan langkah gontai, pergi meninggalkan diriku terpaku tak mengerti. Kuikuti saja kemana langkah itu akan pergi.
"Anya ... maafkan ammah ... Ammah tak sengaja." Aku berjongkok dihadapannya.
"Anya ... tak baik seperti ini." Suara lembut seorang lelaki yang berada di belakang kami.
"Maafkan kami, Ammah."
Dia meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Namun tak sangka, putri kecil itu akan berontak. Dan berlari pergi sambil berteriak.
"Aku nggak mau maafkan, kalau bunda nggak mau beliin es krim."
"Anya, bunda sudah ..."
Mengapa kata-katanya itu terhenti. Dan kulihat raut wajah lelaki itu berubah suram, seakan menahan kesedihan.
"Bunda belum meninggal. Itu bunda." sambil mengarahkan telunjuknya kepada diriku. Deg ... mengapa dia menunjuk ke arahku.
"Ah, maaf Ammah."
"Tak mengapa." jawabku spontan.
Dia terus membujuk putri kecil itu. Atas keinginan yang belum jelas. Hingga terlihat kerepotan. Ku berjalan mendekati dan mencoba ikut menenangkan.
"Tapi kalau sudah dibelikan es krim, menurut sama ayah ya ... Anya manis."
Kucubit hidungnya yang mancung. Senyumnya merekah dan memelukku dengan manja.
"Aku mau es yang itu."
Putri kecil nan manis ini melepaskan pelukannya. Dan berlari ke arah penjual es krim yang sejak tadi berkeliling.
"Anya, jangan lari!" panggil lelaki yang tak ramping. Walau tubuhnya tak seluruhnya penuh dengan daging.
Rasanya aku ingin tertawa menyaksikan mereka berdua. Dengan langkah lebar kuhampiri, dan ikut mengantri mendapatkan es krim.
Entah mengapa pesonanya menyita perhatianku. Tatapan, senyuman serta gayanya, mengingatkanku pada masa kanak-kanak dulu.
Biarlah kunikmati pagi ini dengan riang. Toh, tujuanku kemari demikian. Udara yang segar di ruang terbuka hijau tak layak untuk diabaikan. Ditambah celoteh si kecil yang baru ku kenal. Jangan sampai terlewatkan.
"Bolehkah ammah kupanggil bunda?"
Dia berceloteh sambil makan es krim, hingga tak sadar butiran es menyentuh hidungnya. Lalu kuusap dengan tissu yang kubawa dengan manja. Membuat kita tertawa gembira.
"Lha ... dari tadi panggil apa?"
Dia hanya tertawa seakan ingin mengajakku bermain-main dengan kata-kata itu. Aku menuruti kemauannya yang kadang tak kumengerti.
Sejak awal memanggilku dengan sebutan 'bunda' saja, membuat diriku ingin tertawa. Ada saja si putri kecil ini.
Tapi biarlah, mungkin bisa jadi obat atas kesedihan yang tersimpan rapat dalam alam bawah sadarnya. Terlihat jelas di bola matanya yang sayu. Hingga wajahnya penuh mendung, tinggal menunggu kapan hendak jatuh.
"He ... he ... he ...." jawabnya tertawa.
"Ayah, boleh aku bermain dengan Bunda?"
Sejenak lelaki itu terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun kemudian melempar senyuman.
"Anya, Ammah kan juga ada keperluan. Kasihan kan!"
Tampak sungkan dia memandangku. Namun putri kecil ini tak menghiraukan. Dia balik menatapku. Dengan pandangan mengiba penuh harap. Aku dibuat tak berdaya untuk meluluskan permintaannya.
"Insya Allah tidak ... ya ...?" jawabku gugup.
Baru sadar, kami belum saling kenal. Sepintas kupandangnya. Tapi terus terang tak berani lama-lama. Supaya tidak ketahuan, kualihkan pandangan pada rumput yang terhampar.
Melihat diriku salah tingkah dan gugup. Tampak senyumannya tersungging menawan. Dia mengangkat kedua bahu seakan berkata , terserah.
"Anya, jangan lari ..." aku berteriak memanggil putri kecil itu. Tapi sayang dia telah menjauh. Dan tak mungkin aku dapat mengejarnya.
Aku ikuti kemana ia pergi dengan berlahan. Sambil menikmati pemandangan pagi yang indah. Kicau burung, hembusan angin dan udara yang segar.
Aku tahu dia menuju air mancur, yang ada di tengah taman. Ingin melihat ikan-ikan yang sedang berenang. Sebelum sampai padanya, kubelikan makanan ikan. Dari penjual di sekitar tempat itu.
Tampak keceriaan di wajahnya ketika keberikan itu padanya. Tak henti-henti dia tersenyum, sambil melempar makanan ikan dari pinggir kolam.
Selesai memberi makan ikan dengan gesit dia berlari.
"Ammah, cari aku!" teriaknya. Lalu bersembunyi di rerumputan yang tinggi.
Aku mengejarnya dengan berjalan santai sambil menikmati pemandangan pagi yang cerah. Secerah tatapan putri kecil yang baru kukenal.
Tetapi tanpa sengaja pandanganku tertuju pada sosok makluk di sana, ayah Anya. Sangat tenang, duduk santai di atas rumput. Sesekali minum air mineral yang dibawa. Serta melakukan olah raga ringan. Terlihat santai.
Dia senang sewaktu Anya memilih diriku untuk menemani bermain. Mungkin kalau dia, bisa habis napas. Dan akhirnya is death. Pikiranku jadi melantur kemana-mana. Aku kok jadi sebel melihatnya.
Dia yang punya anak tapi aku yang repot.
"Ammah di sini ... Ammah mau pergi." kataku memancing.
"Bunda, jangan pergi dong."
Segera putri kecil Anya keluar dari persembunyian. Tanpa aku harus mencari. Langsung memelukku dengan manja.
"Bunda, aku masih ingin main."
"Boleh, tapi jangan di rumput itu. Nanti ada ulat, Anya bisa gatal-gatal."
"Selorotan ya?"
"Boleh."
Kami lomba lari, menuju permainan yang diinginkan. Begitu sampai , tak usah disuruh 2 kali, dia langsung naik ke tempat yang tinggi untuk meluncur.
"Hati-hati, Anya."
Hanya lambaian tangan sebagai jawaban yang kudapat. Aku tertawa melihat keriangannya.
Bermain dengan anak kecil memang menyenangakan. Hingga lupa waktu.
Jarum jam menunjukkan pukul 09.00. Aku ada janji hari ini. Kutengok ke tengah lapangan rumput, di tempat terakhir aku melihat. Tak terlihat batang hidungnya. Kemana dia?
"Mencari saya?" Suara lembut dari bangunan di sampingku, membuatku terkejut.
"Maaf, aku mau pergi dulu, ada perlu."
"Kok pergi!" terlihat alis terangkat.
"Aku virus yang harus dihandari kah?"
Lha kok wajah .... Makin bikin aku senewen.
"Aku ada janji." jawabku singkat dan berlalu pergi.
"Anya, Ammah pergi dulu ya ..."
"Bermain sama ayah dulu."
Aku melangkah pergi dengan tergesa-gesa.
"Sebentar bunda."
Putri kecil nan manis itu terlihat turun dengan terburu-buru, lalu berlari menghampiriku. Ditunjukkannya kedua pipi yang tembem. Siap dikecup. Baiklah aku mengalah. Walau harus telat. Kucium pipinya dengan manja. Tak ada salahnya mengikuti kemauannya.
"Maaf ... gaya bebas."
Lho kok, mau foto nggak bilang-bilang. Kulambaikan tangan supaya mengakhiri aksi yang tak kuingini. Tapi sepertinya dia tak ambil pusing dengan isyaratku. Menyebalkan ! ...
"Maaf Dinda. Sebentar jangan pergi dulu."
Dia melambaikan tangan, sebagai isyarat memanggil diriku. Kuhentikan langkah dan memperhatikannya.
"Ini hpmu kah?" tanyanya pelan.
Baru aku sadar hp sudah tak berada di tangan ... eh saku.
"Terima kasih sudah mengembalikannya."
"Seharusnya aku yang berterima kasih. Sudah menemani Anya pagi ini. Dan membuatnya ceria."
"Maaf ... namamu Dinda kah?"
"Darimana kamu tahu?"
"Maaf aku tadi memperhatikan beberapa orang yang memanggilmu Dinda."
"Dan tak sengaja lihat profilmu. Untuk memastikan hp ini milik siapa."
Aku diam dan menatapnya dengan tanda tanya. Mau marah gimana. Mau nggak marah gimana. Yang penting hpku kembali.
Sebenarnya aku malu, dia sudah melihat-lihat profilku. Ah sudahlah ....
"Sekali lagi, terima kasih telah kembalikan hpku." jawabku agak ketus.
"Maaf." jawabnya dengan senyum yang ditahan.
"Jadi bunda namanya Dinda ya ..." celoteh putri Anya. Yang mampu mengusir kedongkolan di hati ini, tak tahu apa sebabnya.
"Ammah bisa pergi sekarang?" sambil kutatap wajahnya yang mulai merajuk.
"Kapan-kapan kita bisa ketemu lagi," kataku menghiburnya.
"Benar, janji." kutautkan jari kelingkingku dengan kelingkingnya, tanda sepakat.
"Minggu depan ammah main sini lagi ya ..." tanyanya penuh harap.
"Insya Allah."
"Bolehkah engkau kirimkan foro-foto Anya kepadaku?"
"Baiklah ... ke nomer?"
Lalu dia ambil kertas dan pena dari dalam kantong celananya. Menuliskanya dengan cepat. Dan diberikannya padaku. Aku baru tahu bahwa dalam kantung celana pria tidak melulu dompet.
"Tunggu saja." jawabku terburu-buru meninggalkan mereka berdua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
L
hadir thor
2022-08-14
0
sahabat syurga
tamannya kyak di tmpatku...ada tmpt brmain tuk ank2...ada alat2 olah raga jg...tanaman hias jg dan air mancur di tengah2 taman...kok mirip ya
2021-04-17
0
sahabat syurga
bc yg ini dlu aku thor
2021-04-17
0