Sore ini Pak Sukma meminta beberapa orang untuk melihat dimana waktu itu Bapak dan Kang Tejo melihat laki-laki yang di ceritakan semalam. Setelah berbincang-bincang cukup lama dan serius, akhirnya Bapak dan Pak Sholeh ditemani Pak Sukma sendiri mengintai tempat kejadian dimana Mas Samsul ditemukan. Tak ada gerak gerik yang mencurigakan disana. Bahkan tak ada sedikitpun tanda-tanda ada orang berada ditempat itu.
"Kang Kusno yakin?" Pak Sukma memastikan kebenaran ucapan Bapak.
"Yakin sekali, Pak. Waktu itu sudah surup." jawab Bapak yakin. Tentu saja semua itu patut di curigai. Mendekati waktu maghrib tetapi masih ada saja orang yang berani berkeliaran di tempat yang bagi para warga dianggap sebagai tempat pembuangan anak jin. Tempat yang sudah terkenal angker dan sarat dengan hal mistis. Maka wajar saja jika tubuh Mas Samsul sudah kaku saat di ketemukan oleh warga yang akan pergi ke sawah yang dimana letak sawahnya melewati tempat itu. Jadi jarang sekali ada orang melewati tempat itu dari dekat kalau memang tidak ada kepentingan.
"Sosoknya tinggi, jangkung. Mirip sekali sama almarhum." ujar Bapak yang membuat Pak Sukma dan Pak Soleh bingung.
"Tidak mungkin juga Samsul sendiri yang berada disana. Iya kan, Pak?"
Mereka terdiam. Apa mungkin memang benar-benar Samsul. Kalau memang benar sungguh malang sekali nasib anak itu, hidup di dunia sudah penuh cobaan. Matipun masih belum bisa tenang.
"Apa tidak pernah ada tahlilan untuk almarhum di rumahnya, Pak?" tanya Bapak pada Pak Sukma. Pak Sukma menggeleng. Entahlah, Pak Dayat sekeluarga belum pernah mengadakan doa bersama untuk peringatan kematian putranya.
"Nah, itu, Pak." Bapak menunjuk kesebuah tempat yang sedari tadi sudah mereka intai. Hari sudah mau surup. Langit juga sudah mulai berubah warna. Meskipun pandangan sudah terhalang oleh cahaya matahari yang mulai kembali ketempat peraduannya, namun masih sangat jelas bagi mereka untuk melihat sosok jangkung ditempat kejadian. Sosok tersebut terlihat seperti kebingungan, kadang melihat ke atas, kadang seperti orang yang sedang frustasi.
"Benar-benar mirip." gumam Pak Soleh setelah melihat sosok tersebut.
"Apa waktu pemakaman Samsul semua wajar-wajar saja, Pak?" tiba-tiba Ibu mengajukan pertanyaan yang membuatku juga penasaran dengan jawabannya.
"Ya biasa saja toh, Bu." jawab Bapak singkat.
"Apa tidak ada kejanggalan-kejanggalan saat pengurusan jenazah hingga sampai di liang lahat?" aku berdecak, sungguh kesal rasanya Ibu harus membahas hal semacam ini dimalam hari. Apa Ibu tak takut kalau nanti Mas Samsul akan datang lagi kemari tengah malam. Aku menarik kedua kaki ku dan menekuknya hingga lututku menyentuh dada. Hawa dingin yang sudah mulai terasa karena memasuki musim kering mulai terasa menusuk kulit. Bahkan tulang-tulangku juga merasakan hal yang sama.
"Seperti biasa, Bu. Hanya saja matanya tak bisa di tutup. Sudah berkali-kali di coba untuk menutupnya, tetap kembali terbuka." ujar Bapak yang di iringi Istighfar berkali-kali oleh Ibu.
"Kok bisa begitu ya, Pak."
"Bapak juga ndak tahu, Bu. Bapak hanya ikut memandikan, jadi Bapak juga tidak berani bertanya macam-macan marena khawatir akan ada yang tersinggung." ujar Bapak.
"Tatapan matanya seperti ada rasa ketakutan kalau menurut Bapak." tambah Bapak mengakhiri ceritanya. Keadaan kembali hening, kami bertiga hanyut dalam pikiran kami masing-masing.
"Bu, malam ini Minah tidur sama Bapak dan Ibu lagi, ya." pintaku. Bapak dan Ibu tersenyum.
"Ngooeekkk ... ngooeekk ... "
Terdengar riuh suara kerbau dari kandang. Bapak segera beranjak untuk melihat apa yang terjadi. Khawatirnya akan ada orang berniat jahat pada kerbau-kerbau kami atau pencuri yang ingin mengambil kerbau-kerbau kami.
"Astaghfirullah." Bapak dengan cepat kembali menutup pintu belakang dan kembali masuk ke dalam setelah berniat untuk melihat apa yang terjadi di belakang sana.
Sepertinya Ibu paham apa yang terjadi pada Bapak. Ibu memberikan segelas air putih dan langsung di minum sampai tandas oleh Bapak.
"Masih sore sudah keluar, Pak." tanya Ibu yang dijawab dengan anggukan kepala Bapak. Aku pun tahu apa yang Ibu bicarakan. Aku segera merapatkan tubuhku ke arah Ibu.
"Kita di sini saja. Biarkan saja kerbaunya, nanti kalau sudah pergi kan bakal diam sendiri. ucap Bapak perlahan.
Bapak mengintip dari celah pintu belakang, rupanya sosok itu masih betah bertahan disana. Terlihat dari raut wajah Bapak yang tampak cemas.
"Kita tidur saja ya." ajak Ibu membawaku ke kamar. Bapak pun ikut serta. Kami membiarkan sosok itu tetap berada di luar sana dan berusaha untuk mengabaikannya.
Seperti biasa aku membantu Ibu membungkus emping untuk dijual di pasar. Bersyukur sekali semalam sosok itu tak mengganggu kami hingga ke dalam. Sehingga semalam aku bisa tidur dengan tenang dan nyenyak.
"Yu,sehat?" sapa Ibu saat melihat Yu Siti berjalan-jalan pagi ditemani oleh anaknya.
"alhamdulillah, Yu."
Badan Yu Siti terlihat kurus. Jauh seperti sebelum sakit karena sering me dapat teror.
"Kasihan, ya, Bu." ucapku.
"Sudah jangan dibahas terus. Sana kamu siap-siap ke sekolah." ujar Ibu.
"Kang, Kang Kusna." Pak Sukma berteriak memanggil Bapak siang itu sesaat setelah aku pulang sekolah.
"Ada apa, Pak?" rupanya Bapak sedang tidur siang saat Lak Summa datang.
"Ya Allah, kapan, Pak?" tiba-tiba Ibu berteriak karena kaget. Kata Pak Sukma, warga meminta untuk membongkar makam dan melihat apa ada sesuatu yang membuangnya harus repo-repot mengganggu warga desa..
"Tarus bagaimana? tanya Bapak penasaran.
"Pak Dayat tidak menyetujuinya. Sudah seperti apa wujud anaknya setelah sebulan di kuburkan.
"Wajar saja kalau Pak Dayat tidak setuju. Tidak ada orang yang mau makam keluarganya di usik-usik lagi karena suatu hal." tutur Ibu yang dibenarkan oleh semua termasuk aku.
Aku mengikuti Bapak untuk menuju makam. aku ingin melihat sendiri apa yang terjadi disana. Biasanya Atun juga akan berada di sana karena dia memang tergolong pemberani untuk hal-hal yang seperti ini.
Terdengar suara tangisan meraung-raung dari arah makam. Suara seorang perempuan. Ternyata Bu Dayat yang menangisi nasib tragis putranya yang harus menerima cobaan seperti ini.
"Anak ku sala apa? Mengapa kalian semoga tega ingin melakukan semua itu lada anakku." teriak Bu Dayat menggema. Beberapa warga mencoba memberikan pengertian, namun Bu Dayat tetap pada pendiriannya.
"Saya tidak mengijinkan makam anak saya di buka lagi." teriak beliau sambil terus menangis.
"Kalau begitu Ibu suruh saja anaknya untuk berhenti meneror kami. Kami lelah, Bu." teriak salah satu warga. Sepertinya orang itu sangat kesal dengan teror yang terjadi selama ini. abu Dayat terdiam. Tak sedikitpun beliau tanggapan buruk dasi orang-orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments