Entah sampai kapan teror pocong yang katanya jelmaan dari arwah Mas Samsul berakhir. Setiap hari kami dan para warga harus melewati malam yang terasa sangat panjang. Bahkan kadang siang hari pun pocong tersebut berani memberikan tanda tentang keberadaannya dengan membunyikan sesuatu seperti benda tumpul yang di pukulkan ke kayu atau pintu, atau muncul aroma - aroma tak sedap yang datang tiba - tiba.
"Perasaan Pak Dayat bagaimana ya, Bu?" tanyaku pada Ibu yabg sibuk membungkus emping kering ke dalam plastik.
"Pastinya sedih, Nduk. Apalagi anaknya di fitnah seperti ini." ujar Ibu.
"Ibu yakin kalau itu bukan Mas Samsul?"
Ibu menghela nafas panjang. Sepertinya Ibu ingin memberikan jawaban yang mudah dimengerti oleh anak kecil sepertiku.
"Semua yang meninggal arwahnya akan kembali ke Sang pemberi hidup, Nduk. Jadi sudah jelas kalau itu bukan Mas Samsul." ujar Ibu meyakinkanku.
"Ada yang bilang kalau Mas Samsul menjadi tumbal ilmu hitam, Bu." ucapku membuat Ibu langsung menghentikan aktifitasnya.
"Astaghfirullah. Sopo sing kondo, Nduk?"
"Banyak, Bu. Katanya Mas Samsul memang sengaja dibuat linglung supaya mengakhiri hidupnya sendiri."
"Jadi maksudnya Mas Samsul itu di guna - guna?" sepertinya Ibu benar - benar tak mengetahui kabar burung tersebut.
"Iya, Bu. Katanya Mas Samsul dibikin linglung, frustasi karena ditinggal sama Mbak Ayu." lanjutku membuat Ibu manggut-manggut.
"Ibu ingat ndak? Sebelum Mas Samsul di ketemukan sudah jadi mayat kan sudah lain penampilannya. Kusut, tidak fokus setiap ada yang ngajak ngobrol, bahkan seperti pemuda yang sudah tidak memiliki harapan." lanjutku kemudian membuat Ibu berpikir keras.
"Iya, iya, Nduk. Ibu ingat. Tapi apa benar beritanya begitu? Lalu siapa yang sudah tega membuat Samsul seperti itu?"
Aku mengangkat kedua bahu lalu berlalu. Aku ingin bermain dengan Atun saja. Karena saat aku bersama Atun, akan ada berita baru lagi yang bakal ku dengar tentang rumor teror pocong saat ini.
"Semalam ada yang gali makamnya Mas Samsul." celetuk Atun tiba-tiba saat kami sedang sibuk mengunyah buah seri yang ranum. Biasanya kami anak-anak sering memanjat dan mengumpulkan buah seri untuk dimakan. Bentuknya bulat kecil-kecil mirip ciplukan namun warnanya merah bila sudah matang. Rasanya manis, pohonnya tinggi dan rimbun.
Aku terbelalak mendengar ucapan Atun. Bahkan buah seri yang sudah ku kunyah batal ku telan dan terhenti di tenggorokan.
"Tenanan." ucapnya lagi meyakinkan.
"La siapa pelakunya?"
Atun mengangkat bahu. Ia menggeleng.
"Pastinya juga penganut ilmu hitam." ucapnya enteng.
Aku tak mengerti, ada saja yang tega membongkar makam yang belum genap empat puluh hari tersebut.
"Tali pocongnya ilang." Atun menambahkan membuat lidahku tak sengaja tergigit.
"Kamu tahu dari mana, Tun?"
"Tadi pagi ramai, Nah. Aku bahkan ikut melihat kesana. Kuburannya sudah di gali, dan dikubur lagi dengan asal. Patok kayunya pun di cabut dan hanya di letakkan di sembarang tempat." tuturnya panjang lebar.
Memang tak ada takutnya temanku yang satu ini. Bahkan dia berani ikut ke makam untuk melihat kuburan yang selama ini penghuninya sudah meneror warga desa.
"Terus kuburannya tetap di biarkan sepertu itu?" tanyaku penasaran.
"Ya ndak toh. Pak Sukma meminta bantuan warga untuk membetulkan makam Mas Samsul. Wajahnya hitam, sudah mulai membusuk. Bau, sama seperti rumor yang beredar." timpalnya.
Sejenak aku termenung, teringat kembali sosok yang ku temui di ujung tempat tidur kamarku. Sosok yang berdiri tegap dengan wajah menghitam serta membusuk, matanya lekat menatap ke arahku. Dengan kain kafan yang sudah tampak lusuh di penuhi dengan cairan tubuh yang merembes. Menimbulkan aroma busuk yang tak bisa di ungkapkan.
"Ada Pak Dayat disana?" tanyaku kemudian.
"Adalah. Tapi Pak Dayat tampak tegar. Bahkan tak ada sedikitpun tangisan saat melihat jasad putranya."
"Mungkin beliau sudah ikhlas." ucapku menimpali.
Hening. Atun tak melanjutkan ceritanya. Kami terbuai di dalam pikiran masing-masing. Apa yang akan terjadi nanti malam. Apakah teror pocong akan semakin menjadi. Apalagi sekarang tali pocongnya menghilang. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti malam pocong itu kesana kemari mencari tali pengikatnya yang di ambil oleh orang yang berniat jelek. Aku bergidik ngeri dibuatnya.
"Kamu ndak takut, Tun?" tanyaku pada temanku itu.
"Takut. Tapi aku ndak sendiri. Toh seluruh warga desa juga mengalami." jawabnya enteng sambil tersenyum. Aku tersenyum kecut mendengarnya. Benar juga, bahkan tak hanya aku dan Ibu yang melihatnya. Bapak, Kang Tejo, Yu Siti, bahkan hampir seluruh warga pernah melihat. Termasuk tukang sate yang biasa lewat di jalanan desa kini tampaknya tak pernah berjualan lagi.
Aku bergegas mandi saat jam berukuran besar milik Bapak menunjukan pukul empat sore.
"Tumben sudah mandi?" ucap Ibu.
"Sumuk, Bu."
Ibu masih sibuk membungkus emping ke dalam plastik.
"Bapak mana, Bu?"
"Di kandang." jawab Ibu singkat.
"Pak." panggilku saat ku lihat lelakiku sibuk memberi makan kerbau-kerbaunya. Semenjak ada teror, Bapak selalu memberi banyak pakan untuk kerbau-kerbaunya untuk stok semalaman. Tak seperti dulu, Bapak selalu mengisi ulang pakan setiap malam jika dilihat rumputnya sudah mulai habis.
"Ada apa, Nduk?" jawabnya lembut sambil sesekali membuang rumput yang mulai mengering di wadah pakan.
"Bapak sudah mendengar cerita tadi pagi?"
"Tantang apa?"
"Makam Mas Samsul yang dibongkar orang." ucapku lirih.
Bapak menghentikan kesibukannya. Beliau menoleh ke arahku dan duduk di sampingku.
"Kamu kata siapa?"
"Atun, Pak. Bahkan Atun juga ikut ke makam dan melihat sendiri." ucapku.
"Coba nanti Bapak tak cari tahu. Sekarang kamu masuk. Tutup jendela dan semua korden. Di cek jangan sampai ada yang belum dikunci." pinta Bapak padaku.
Mungkin sama sepertiku, Bapak khawatir kalau nanti malam bakal ada teror yang lebih parah dari biasanya. Apalagi menyangkut orang mati.
"Ono opo toh, Nduk?" tanya Ibu saat melihatku sibuk menutup semua jendela dan korden di jam seperti ini.
"Bapak yang nyuruh, Bu."
"Tumben. Masih sore begini." ucap beliau.
"Bu, Ibu sudah dengar cerita?" tanyaku mendekat pada Ibu.
"Makam Mas Samsul di bongkar sama orang." bisikku. Ibu terperanjat, sepertinya Ibu dan Bapak belum tahu soal berita ini.
"Katanya tali pocongnya juga hilang." lanjutku membuat Ibu semakin terkejut.
"Kamu kata siapa? Jangan mengada-ada."
"Atun, Bu. Tadi pagi geger. Bahkan patok kayunya juga di cabut dan di letakkan di sembarang tempat." ucapku menceritakan apa yang ku dengar dari Atun.
"La Atun tahu dari mana?"
"Atun melihat sendiri, Bu. Dia ikut Bapaknya ke kuburan."
"Astaghfirullah. Bagaimana ini." Ibu tampak gelisah dan kebingungan.
"Ibu cari Bapak?" tanyaku. Namun Ibu tak menjawab, Ibu malah sibuk kesana kemari kebingungan.
"Bapak ke tetangga, Bu. Lagi cari Info soal cerita tadi." ucapku membuat Ibu menghentikan kebingungannya. Sepertiku, Ibu bergegas untuk mandi dan menyelesaikan semua pekerjaannya. Tak lupa Ibu sudah menyiapkan semua makanan di dalam dan mencuci semua peralatan masak yang biasanya di cuci saat kami semua selesai makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Shyfa Andira Rahmi
lahh bocah doyan gosip😁😁
2024-06-23
0
alena
atun si lambe turah 🤣
2022-04-17
1
rakhmawati wakhida
semangat ya thor...... aku juga sabar menunggu episode berikutnya.... 😁😁😁
2022-01-15
1