"Bu, Ibu."
"Opo toh, bali sekolah kok bengok - bengok?" (Apa toh, pulang sekolah kok teriak - teriak?) Ibu menyahut dari belakang rumah. Aku berlari menghampiri, rupanya Ibu tidak sendiri. Apa Mbok Darmi juga sedang duduk di bale bale.
"Wes mantuk toh, Nah?" tanya Mbok Darmi padaku.
"Sudah, Mbok."
Mbok Darmi merupakan kakak dari Yu Siti. Rumah kami juga bertetangga. Sama seperti rumah Yu Siti. Rumah Mbok Darmi dan rumahku di batasi oleh pekarangan kecil milik kami. Hanya saja, rumah Mbok Darmi dan rumah Yu Siti tidak di batasi pekarangan. Hanya sebuah halaman yang tak begitu luas yang menghubungkan rumah keduanya.
"Yu Siti sudah sehat, Mbok?" tanyaku pada beliau. Beliau menarik nafas panjang, tak langsung menjawab pertanyaanku.
"Sehat, Nduk. Tapi ya itu."
"Ya itu apa, Mbok?" aku penasaran dibuatnya.
"Dia banyak melamun. Kadang juga suka tiba-tiba histeris. Mbok nggak tahu mesti gimana. Setiap di tanya, jawabannya pasti selalu Samsul."
"Katanya semalam pocongnya Mas Samsul kerumah Yu Siti, Mbok?" tanyaku penasaran.
"Katanya sih begitu. Tadi pagi Siti masih bisa di ajak bercerita. Dia bilang suaminya ketok - ketok pintu, minta dibukain pintu. Tapi pas dibuka ternyata bukan." ceritanya lagi.
"La memangnya Pakdhe Trisno kemana, Mbok?"
"Ya ndak kemana - mana. Trisno itu lagi di kamar mandi katanya semalam. Dikiranya Siti itu Trisno pergi keluar ndak bilang - bilang." ujarnya lagi. Lalu beliau kembali menarik nafas panjang. Terlihat dari netra tuanya kekhawatiran yang amat sangat kepada adiknya tersebut. Mbok Darmi seorang janda beranak tiga. Anak - anaknya yang dua sudah menikah, dan di boyong oleh suaminya ke kampung sebelah. Ada juga yang di bawa ke kota lain. Yang bungsu bekerja di luar kota. Sedangkan suami Mbok Darmi sudah lama meninggal.
"Mbok, ini di cicipi bakwannya." ucap Ibu sambil menyodorkan piring berisi bakwan yang masih panas. Rupanya Ibu pergi ke dalam untuk membuat makanan kesukaanku dan juga kesukaan kami semua.
"Enak ini, apalagi pake rawit." ucap Mbok Darmi terkekeh. Aku dan Ibu ikut tertawa menimpali.
Aku mengikuti Ibu ke kebun untuk mencari melinjo. Seperti biasa Ibu akan membuat emping melinjo untuk di jual. Sedangkan Bapak membawa kerbau - kerbaunya ke kali untuk di mandikan.
"Kang Tejo kemana, Bu?" tanyaku pada Ibu di sela-sela kesibukan kami mencari melinjo.
"Pulang, Nduk. Kerbaunya ndak ada yang ngurusin."
"Ibu cerita ndak sama Bapak soal Minah liat Kang Tejo tadi pagi di ruang tamu?" tanyaku pada Ibu yang masih memunguti melinjo yang terjatuh.
"Iya, Ibu bilang sama Bapak. Hehehe ... " Ibu malah tertawa membuatku merasa lucu.
"Terus Bapak bilang apa?"
"Ya Bapakmu ndak bilang apa-apa. Hanya saja untung kamu lihatnya wujud Kang Tejo, bukan seperti apa yang di lihat Yu Siti." jawab Ibu sambil terkekeh.
"Ibu, Ih. Minah pernah lihat juga wujudnya." jawabku sewot.
"Oh iya, Ibu lupa. Kamu kan pingsan ya waktu itu karena ketakutan?" ucap Ibu membuatku jengkel.
"Ibu juga, waktu itu Ibu pingsan di belakang. Pasti melihat juga kan sosok Mas Samsul?" Ibu langsung berhenti tertawa mendengar ucapanku yang sedikit mengejek.
"Waktu itu Ibu kaget, Nduk. Hehehe ..." jawabnya mengelak.
"Sama, Bu. Waktu itu Minah juga kaget. Makanya pingsan. Ini kepala Minah masih benjol." ujarku sambil menunjukan benjolan di kepalaku.
"Loh, loh. Itu kenapa? Kok Ibu baru lihat?" Ibu meraba keningku yang tertutup poni.
"Terbentur pintu pas mau lari keluar, Bu. Hehehe ... Minah takut lihat pocong di sudut kamar." jawabku cengengesan.
"Ndak lucu." Ibu rupanya sewot. Ibu tidak bisa di bohongi. Luka memar ini ku dapat bukan karena terbentur pintu saat melihat pocong. Tentu saja aku takut setengah mati saat melihat sosok itu di dalam kamar dan posisi aku sedang sendirian. Jangankan untuk berlari, untuk memanggil Bapak atau Ibu pun aku tak sanggup.
"Ndak kerumah Yu Siti, Bu?" tanya Bapak sepulang dari ngangon kerbau.
Bapak bercerita, katanya Yu Siti ketakutan. Sepertinya beliau sangat takut dan syok setelah semalam bertatap muka langsung dengan pocong. Katanya Yu Siti selalu berteriak setiap ditanya kenapa dan ada apa oleh Mbok Darmi dan Mang Trisno.
"Nanti sore Ibu kesana, Pak." ucap Ibu sambil membereskan emping - emping yang di jemur.
"Kapan desa ini tenang lagi ya, Pak." tanyaku pada Bapak yang sedang menyesap kopi hitamnya di ruang tamu.
"Besok nunggu empat puluh hari, Nduk. Kita lihat saja." jawab Bapak menenangkan.
Di desa kami memiliki kepercayaan bahwa arwah orang yang meninggal akan masih tetap tinggal di sekitar kita selama empat puluh hari. Selama tujuh hari pertama katanya arwah orang yang sudah meninggal tetap ada di dalam rumah, di sekitar kita dan bersama kita setiap hari. Hari ke delapan hingga hari ke empat puluh arwah mereka yang sudah meninggal juga akan tetap ada dan tinggal bersama kita di rumah. Namun tak sedekat sewaktu tujuh hari pertama. Mereka akan berada di sekitar rumah, pekarangan maupun halaman. Mereka tetap melihat kita, hanya saja kita yang tak bisa melihat mereka.
Entah itu merupakan suatu kebenaran atau tidak, namun kepercayaan itu sudah ada sejak dulu dan turun temurun di ceritakan oleh orang tua terdahulu.
Sore hari aku dan Ibu menjenguk keadaan Yu Siti. Ibu membawa kue apem kesukaan Yu Siti. Biasanya Yu Siti sering meminta Ibu membuatkan kue apem untuk cemilan di rumah. Siapa tahu Yu Siti mau makan kue apem buatan Ibu untuk sedikit melupakan kejadian tadi malam. Apalagi kata Bapak, Yu Siti tak mau makan dan minum. Yu Siti hanya bergumam, terdiam, dan banyak melamun. Bahkan kondisinya selalu was - was seperti sedang mengawasi sesuatu.
"Yu." panggil Ibu lirih. Yu Siti tampak syok. Pandangannya kosong. Namun beliau merespon panggilan Ibu. Beliau menoleh ke arah Ibu lalu kembali menatap ke arah pintu kamar.
"Ini dimakan apemnya. Aku bawa apem kesukaan Yu Siti." bujuk Ibu sambil meletakkan sebuah kue apem di tangan Yu Siti. Yu Siti mau menerimanya, bahkan beliau menggenggam erat kue apem yang di berikan Ibu. Namun ditunggu hingga cukup lama, Yu Siti belum juga memakan kue apem yang beliau pegang.
"Jajal di dulangke, Sri." (coba di suapin, Sri) pinta Mbok Darmi pada Ibu. Ibu menyuapkan secuil apem ke Yu Siti.
"Istighfar, Yu. Eling, jangan melamun terus." bujuk Ibu sambil menyuapkan kue apem sedikit demi sedikit. Rupanya Yu Siti mau memakannya.
"Salahku opo, Sri? Kok Samsul wani - wanine nongol nangarepku." tiba - tiba Yu Siti terisak. Ia menangis meratapi nasibnya. Mbok Darmi ikut menangis. Akhirnya setelah seharian tadi adiknya diam saja, kini mulai mau berbicara lagi.
"Sabar, Yu. Sabar. Yu Siti ndak sendiri. Jangan takut, Istighfar. Dia bukan Samsul. Dia hanya setan menyerupai wujud Samsul." bujuk Ibu sambil berusaha menenangkan Yu Siti yang semakin terisak. Mas Tono dan Pakdhe Trisno yang tadinya berada di depan, berlari masuk saat mendengar suara tangisan Yu Siti dari dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
rakhmawati wakhida
menunggu episode berikutnya. udah pinisirin banget thor..... ☺☺☺
2022-01-10
3