Malam ini semakin mencekam. Apalagi di tambah cerita Ibu soal Yu Siti yang sudah di keloni sama sosok menyeramkan yang pernah ku jumpai waktu itu. Jangankan untuk bertemu lagi, hanya membayangkan wujudnya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Aku membenamkan wajahku dalam-dalam di bantal. Suara dengkuran halus Ibu sudah terdengar. Sedangkan kedua mataku sayangnya tak mau di ajak untuk bekerja sama.
Dug ... dug ... dug ...
Terdengar sebuah ketukan benda tumpul dari arah pintu depan sebanyak tiga kali. Aku memperjelas pendengaran untuk memastikan dari mana asal suara itu. Hening. Tak terdengar lagi suara ketukan tadi. Kembali aku mencoba memejamkan mata untuk yang kesekian kalinya.
...Dug ... dug ... dug ......
Kali ini suaranya cukup jelas. Suara jangkrik yang tadi terdengar kini mendadak sepi. Bahkan cicak pun tak ada satupun yang berdecak. Jantungku berpacu kencang, darah pun rasanya berdesir mengalir lebih cepat ketimbang biasanya. Ingin rasanya memanggil Ibu yang terlelap di sebelahku. Namun mulutku terasa terkunci. Bahkan tenggorokan terasa sangat kering dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku memberanikan diri menggerakan tanganku perlahan. Ku sentuh jemari ibu yang terletak persis di samping tanganku. Ibu menggenggam jemariku erat. Rupanya Ibu juga terbangun. Aku tak menyadari bahwa suara dengkuran Ibu yabg tadi ku dengar sudah tak ada lagi. Mungkinkah Ibu terbangun dan juga mendengar suara ketukan itu?
"Bu." bisikku lirih. Ibu menoleh menatapku. Tangannya memberikan isyarat padaku untuk diam. Rupanya Ibu juga mendengar suara ketukan tadi.
Dug ... dug ... dug ...
Aku mempererat genggaman tangan Ibu. Perlahan tubuhku beringsut, merapat ke badan Ibu.
"Apa itu, Bu?" tanyaku ketakutan. Ibu hanya memeluk tubuhku erat. Ku dengar suara degub jantung Ibu yang juga tak beraturan. Sepertinya Ibu juga merasakan ketakutan yang sama. Hanya saja Ibu berusaha kuat dan tabah demi melindungiku.
"Kowe meneng wae nang kene. Ibu arep ndelok Bapak." (Kamu diam saja disini. Ibu mau lihat Bapak.) ucap Ibu yang ku jawab dengan gelengan kepala.
Mana mungkin aku mau di tinggal sendirian di dalam kamar. Aku tak mau kejadian waktu itu terulang kembali. Akhirnya Ibu mengijinkan aku untuk mengikutinya dari belakang. Kami mengintip ke ruang tamu di mana Bapak dan Kang Tejo tertidur. Karena Kang Tejo menolak untuk tidur di kamar, akhirnya Bapak menggelar kasur yang cukup lebar untuk tidur mereka berdua. Tampaknya Bapak dan Kang Tejo juga terbangun. Terlihat Kang Tejo yang duduk di atas kasur dengan wajah pucat pasi, sedangkan Bapak mengintip keluar dari celah kayu jendela yang sedikit berlubang.
"Astaghfirullah." Bapak terperanjat saat tangan Ibu memegang pundak Bapak. Sepertinya Bapak tak menyadari kedatangan kami, sehingga sentuhan tangan Ibu membuat Bapak terkejut sedemikian rupa.
"Ada apa, Pak?" tanya Ibu berbisik.
"Pocong." ucap Bapak sambil menunjuk ke arah pintu.
"Astaghfirullah." tubuhku bergetar mendengar jawaban Bapak. Namun masih bisa ku atasi. Beda dengan Kang Tejo yang terlihat amat sangat ketakutan dan pandangan terlihat kosong. Tubuhnya kembali meringkuk membelakangi kami semua. Kami mendekat ke arahnya.
Dug ... dug ... dug ...
Kali ini suaranya berasal dari samping. Karena rumah kamu ini semi permanen yang bagian bawah terbuat dari batu bata, bagian atas masih menggunakan papan kayu yang di jajar rapi dan di beri warna dengan kapur. Jadi setiap ada yang mengetuk pasti terdengar nyaring.
Tak ada yang bersuara. Kami semua terdiam. Kami hanya duduk berkumpul untuk mengurangi rasa cemas dan takut karena ketukan yang ternyata berasal dari kepala si pocong yang di ketuk - ketuk ke dinding rumah kami. Aku memeluk erat tubuh Ibu. Hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Entah kemana semua binatang malam, suaranya lenyap bak di telan bumi.
Aku menangis ketakutan, sedangkan Kang Tejo terlihat bergetar hebat tubuhnya. Ibu memelukku erat, sedangkan Bapak berusaha menenangkan Kang Tejo.
"Istighfar. Baca doa-doa biar nggak di ganggu sama dia." ucap Bapak.
"Eling, Kang. Ojo koyo ngono." ( Ingat, Kang. Jangan seperti itu.) bujuk Bapak pada Kang Tejo yang masih saja bergumam sendiri karena saking takutnya. Aku yang melihatnya malah menjadi semakin takut dibuatnya.
"Ayo." Ibu mengajak ku kembali ke kamar. Setelah memberiku air minum, kami berdua pindah ke kamar Ibu yang lebih luas tempatnya.
"Minah takut, Bu." ucapku.
"Sudah ndak apa-apa, Nduk. Sudah pergi itu pocongnya." ucap Ibu.
Ibu mengintip dari celah jendela. Karena rumah kami masih menggunakan papan kayu yang di jajar, jadi wajar saja jika masih ada celah di sela-sela sambungannya.
"Astaghfirullah."
"Ada apa, Bu?" tanyaku penasaran saat Ibu berjingkat kebelakang saat mengintip keluar ke arah kandang.
"Ndak ada apa-apa." jawab Ibu seraya menutupi sesuatu. Bukan Minah namanya kalau tidak penuh rasa penasaran. Segera aku turun dari ranjang dan ikut Ibu mengintip keluar sana. Sosok yang pernah ku temui di kamar sedang berdiri tegak di antara tiang kandang bagian tengah. Kandang milik Bapak ada dua. Sosok itu berdiri di tengah - tengah antara kedua kandang. Wajahnya tak tampak karena sepertinya menghadap membelakangi. Nafasku naik turun, irama jantung kembali berpacu seperti berlomba ingin berlari dari tempatnya. Namun tubuhku terasa kaku. Aku tak mampu untuk sekedar menoleh ataupun kembali untuk ke tempat tidur.
"Sudah Ibu bilang ndak ada apa - apa." ucap Ibu sedikit sewot sambil menarik tubuhku ke dekapannya.
"Minah lihat, Bu." ucapku lirih.
Ibu tak menjawab. Beliau hanya sibuk menenangkanku yang saat itu sangat syok karena sosok tersebut. Ibu menuntunku untuk kembali ke tempat tidur. Menyuruhku untuk kembali tidur karena sudah tengah malam. Apalagi besok aku harus sekolah. Kata Ibu, selama ia masih di luar sana. Itu artinya kita masih aman dan menganggap makhluk itu tak ada. Setidaknya kita tidak seperti Yu Siti yang sampai di temani saat tidurnya.
"Bu, bagaimana dengan Yu Siti?" tanyaku karena tiba-tiba jadi teringat akan Yu Siti.
"Ada adiknya yang di desa sebelah datang menemani." jawab Ibu singkat.
"Pakdhe Wito?" tanyaku lagi. Ibu mengangguk. Beliau memaksa ku untuk segera tidur. Ibu tak mau aku terus menerus membahas tentang sosok menyeramkan tadi.
"Berdoa, Nduk. Ingat, derajat kita jauh lebih tinggi di banding mereka. Mereka hanya mengganggu. Tak akan melukai kita selama kita tak pernah lepas dari doa, dzikir, eling sama Allah yang memberi kita hidup." nasihat Ibu padaku.
"Bu, benarkah itu Mas Samsul yang jadi pocong setelah meninggal?" tanyaku.
"Semua orang yang mati akan kembali ke Sang Pemberi hidup, Nduk. Itu bukan Mas Samsul. Kita doakan saja supaya Mas Samsul tenang di alamnya. Kita sudah berbeda alam dengannya." jawab Ibu menasihati.
"Tapi kan, Bu. Mas Samsul meninggalnya ndak wajar." bantahku.
"Sudah, sudah. Jangan di bahas terus. Kamu kapan mau tidur?" Ibu mulai sewot karena pertanyaanku. Karena aku takut Ibu tambah marah, yang ada nanti aku di suruh tidur sendirian. Akhirnya aku memilih untuk diam dan mencoba untuk memejamkan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Misik Japar
suka klo ada novel horor yg ada masukn unsur agm
2022-07-03
0