Suara kokok ayam jantan terdengar saling bersahutan. Lantunan puji - pujian dari langgar juga sudah terdengar. Rupanya aku berhasil tidur malam ini hingga subuh datang. Ibu rupanya sudah bangun.
"Bu." panggilku pada sosok wanita yang sudah tak berada di sampingku.
Aku beranjak keluar untuk mencari Ibu atau mungkin Bapak. Mungkin Ibu sedang sholat subuh di kamar belakang. Kamar belakang dili gunakan untuk tempat sholat kami para wanita. Kalau Bapak biasanya pergi ke langgar setiap tiba waktu Sholat.
"Kang." panggilku pada Kang Tejo saat melihat beliau duduk termenung membelakangiku.
"Lihat Ibu, Kang?" tanyaku kembali. Namun tak ada jawaban yang keluar dari mulut beliau. Aku memilih untuk berlalu dan langsung menuju kamar belakang dimana biasa Ibu melaksanakan Sholat.
"Lah."
Aku terpaku saat melihat Ibu dan juga Kang Tejo sedang sholat berjamaah bersama Bapak yang menjadi imamnya. Ternyata Bapak tidak pergi ke langgar untuk Sholat berjamaah. Kakiku mendadak lemas. Tubuhku merosot ambruk bersandar pada pintu kamar.
"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Ibu seusai Sholat.
"Bapak sama Kang Tejo nggak ke mushola?" tanyaku heran.
"Yo ndak toh. Kan kamu lihat sendiri Bapakmu sama Kang Tejo disini. Kang Tejo maunya sholat dirumah saja." jawab Ibu lembut.
"Kenopo, Nduk? Bapak menimpali. Aku menggeleng. Aku tak mau Kang Tejo kembali ling lung seperti semalam. Kini kulihat kondisi Kang Tejo sudah membaik. Sudah mau Sholat dan terlihat baik-baik saja.
"Bu." panggilku lirih pada sosok wanita yang telah melahirkanku itu.
"Apa toh, Nduk?"
Aku mendekat. Bahkan aku merapat erat ke tubuh Ibu yang sedang sibuk mengiris tempe untuk di goreng.
"Iki opo toh yo." sungutnya sambil menyikut pelan tubuhku.
"Ish Ibu. Minah mau cerita."
"Cerita apa?"
"Tadi pagi pas Minah cari Ibu, di ruang tamu ada Kang Tejo. Dia duduk menghadap jendela samping membelakangi Minah yang baru keluar dari kamar." ceritaku setengah berbisik.
Ibu tak menjawab. Beliau hanya mengerutkan dahi.
"Ih Ibu. Minah ndak bohong. Minah tanya ke Kang Tejo, Ibu dimana. Tapi Kang Tejonya diam saja." lanjutku.
"Terus?" rupanya Ibu belum paham dengan maksud ceritaku.
"Kang Tejo kan tadi pagi Sholat subuh berjamaah kan di belakang?" ucapku sambil memukul pelan paha Ibu.
"Astaghfirullah." entah apa yang membuat Ibu kaget dan beristighfar. Tapi dari raut wajahnya tak bisa di pungkiri kalau beliau benar-benar terkejut.
"Ma ... maaf, Bu. Sakit?" tanyaku merasa bersalah.
"Tenanan, Nduk?" tanya beliau sambil mengguncang pundak ku. Aku hanya mengangguk bingung dengan ekspresi Ibu mendengar ceritaku.
"Yasudah. Kamu siap-siap ke sekolah saja sana. Sudah siang." tiba-tiba Ibu mengalihkan pembicaraan kami ke hal lain. Mengomel seperti biasa panjang lebar supaya aku bergegas mandi dan sarapan sebelum pergi ke sekolah.
Tak ada yang janggal dengan Kang Tejo. Pagi ini ku lihat beliau begitu sehat. Bahkan makan dengan lahap masakan Ibu. Bahkan seolah-olah beliau lupa akan kejadian kemarin sore selama perjalanan dari rumahnya kemari. Saat kami melihat sosok misterius di kebun tempat Mas Samsul mengakhiri hidupnya.
"Pakdhe sudah sehat?" tanyaku.
"Sehat, Nduk. Bapakmu merawat Pakdhe semalaman." jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu makan yang banyak. Biar ndak lemes nanti di sekolahan." ucapnya kemudian yang ku jawab dengan anggukan.
"Oh iya, Ibu mana?"
"Kerumah Yu Siti." jawab Bapak.
Saat itu aku melihat kerumunan di rumah Yu Siti. Kebetulan aku melewati samping rumahnya saat harus berangkat maupun pulang sekolah. Nampak beberapa orang terlihat panik setelah keluar dari rumah Yu Siti. Rasa penasaranku membuatku ingin menerobos kerumunan untuk bisa masuk dan melihat ada apa di dalam sana. Namun karena matahari sudah terik, memaksaku untuk menghentikan rasa penasaranku dan harus bergegas kembali ke jalan untuk ke sekolah.
"Nah, Minah." aku menghentikan langkah saat terdengar suara cempreng yang amat sangat ku kenali memanggil namaku.
"Kamu dari mana, Tun?" tanyaku pada Atun yang juga teman sekelas di sekolah.
"Tempat Yu Siti." jawabnya cengengesan.
"Kenapa itu kok ramai?"
"Yu Siti pingsan di depan pintu semalam. Tadi suaminya teriak minta tolong karena Yu Siti tidak sadar-sadar."
"Kenapa?"
"Katanya semalam ada yang ngetok pintu. Dikira suaminya keluar ndak bilang-bilang. Terus minta di bukain pintu pas sudah pulang. Tapi ternyata yang dibukain pintu bukan suaminya."
"Lalu siapa?" tanyaku penasaran.
"Katanya sih Mas Samsul. Tapi mukanya ndak jelas. Hitam. Bahkan bau busuk menusuk sampai ke otak." cerita Atun membuatku bergidik di pagi hari.
"Lah itu kata siapa?" tanyaku makin penasaran.
"Yu Siti. Tadi pas aku kesitu Yu Sitinya sudah sadar. Ih serem banget pokoknya, Nah." ucap Atun sambil bergidik. Aku membayangkan sosok yang diceritakan oleh Atun padaku. Sosok yang sama yang juga pernah ku temui di dalam kamar. Sosok berbentuk pocong dengan ikatan yang masih utuh, wajah menghitam dan busuk di penuhi dengan aroma yang menusuk membuat siapa pun yang mencium aromanya tak akan tahan dan mual dibuatnya.
"Kok Yu Siti yakin kalau itu Mas Samsul?" tanyaku berharap Atun akan memperpanjang ceritanya.
"Memangnya kamu belum tahu?" tanyanya membuatku berkerut.
"Katanya makam Mas Samsul ada yang menggali. Sepertinya ada orang yang memanfaatkan kematian Mas Samsul untuk hal lain." ucapnya membuatku terkejut. Tentu saja, aku belum mendengar berita itu. Ibu pasti lebih tahu soal cerita Mas Samsul. Hanya saja Ibu tak akan bercerita langsung di depanku. Ibu hanya akan bercerita dengan Bapak.
Aku menghembuskan nafas kasar. Terasa berat saat aku berusaha menghirup nafas dalam-dalam. Takut tentu saja. Rasanya hidup menjadi tak nyaman. Apalagi kalau petang sudah mulai datang. Teror suara ketukan, langkah orang melompat lompat, bahkan suara rintihan kerap terdengar semenjak kematian Mas Samsul yang belum genap empat puluh hari. Sekarang apalagi. Makam Mas Samsul dibongkar orang. Pasti malam ini bakal lebih sepi lagi dari biasanya. Rumah Yu Siti yang terletak tepat di sebelah rumahku yang hanya berjarak beberapa meter karena terhalang pekarangan beberapa hari ini juga terlihat sepi. Mas Tono, anak Yu Siti yang dulu sering nongkrong di teras bersama teman-temannya untuk mengobrol atau sekedar ngopi kini sudah tak tampak lagi.
Ah, aku rindu suasana kampungku yang dulu. Aku rindu suasana dimana Mas Tono dan teman-temannya mengobrol dan bernyanyi dengan nada sumbang. Meskipun desa kami belum seluruhnya memiliki listrik di setiap rumah, namun rumah Yu Siti sudah dipasang listrik. Yu Siti termasuk orang yang mampu, bahkan dirumahnya sudah memiliki televisi hitam putih. Kalau hari minggu, aku dan Atun beserta anak-anak kecil lainnya ikut menumpang menonton televisi di rumah Yu Siti. Mereka orang baik, bahkan mereka tak keberatan kalau setiap hari minggu kami repoti dengan hadirnya kami anak-anak kecil dirumahnya. Sedangkan rumahku, tentu saja sudah memiliki listrik juga. Namun aku belum memiliki televisi saat itu.
Aku tak banyak bertanya lagi pada Atun. Atun juga lebih memilih untuk diam tak melanjutkan ceritanya lagi hingga kami tiba di sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
alena
makin seru
2022-04-15
0