Sudah tiga puluh hari semenjak kematian Mas Samsul, namun teror belum juga mereda. Hampir setiap malam warga desa di buat panik dan ketakutan dengan datangnya sosok yang tidak di harapkan. Apalagi kali ini sampai memakan korban sampai meninggal. Warga berharap, jangan ada lagi korban selanjutnya.
"Yang ngadain pengajian untuk Kang Tejo siapa nanti, Bu?" tanyaku pada Ibu saat tiba dirumah.
"Budhe Tarni, Nduk."
"Berarti Budhe Tarni bakal tinggal disini sampai urusan Kang Tejo selesai gitu ya, Bu?"
Ibu mengangguk lemah. Sepertinya ada yang sedang beliau pikirkan. Namun rupanya Ibu enggan membicarakannya.
"Ibu memikirkan Budhe Tarni, kan?"
Ibu mengernyitkan dahi, menoleh ke arahku.
"Aku juga sama, Bu." ucapku lirih.
"Minah khawatir kalau nanti malam Budhe Tarni diteror juga. Apalagi kondisi Budhe Tarni yang sudah cukup sepuh, apa mungkin Budhe Tarni akan sanggup menghadapi teror sendirian." ucapku yang ditanggapi dengan helaan nafas panjang Ibu.
"Nanti malam Budhe Tarni tidak sendirian, Nduk. Ada istrinya Pak Kades juga beberapa warga ikut melek nanti malam." ujar Ibu membuatku sedikit lega. Entah akan apa yang terjadi bila Budhe Tarni harus bermalam sendirian dirumah apalagi ditengah teror yang sedang melanda.
"Ibu ikut menemani Budhe Tarni juga nanti malam?"
"Bapak yang ikut begadang sama Bapak-Bapak yang lainnya. Memangnya kalau Ibu ikut kamu mau tinggal dirumah sendiri?" jawab Ibu membuatku bergidik membayangkan melewati malam panjang sendirian.
Teng ...
Suara jam dinding berdenting satu kali. Itu artinya sudah jam satu dini hari. Entah mengapa aku terbangun tengah malam seperti ini. Kulihat Ibu masih pulas terlelap dalam tidurnya. Nafasnya yang teratur, membuatku bersyukur masih diberi kesempatan untuk membersamai Ibu sampai saat ini.
"Minah."
Aku terperanjat saat mendengar seseorang memanggilku. Sepertinya aku sangat mengenal suara itu. Namun, tak mungkin sekali rasanya. Ibu, ya, itu suara Ibu yang memanggil. Sedangkan Ibu sedang tertidur pulas tepat di sebelahku.
"Minah, buka pintu, Nduk." lagi-lagi Ibu memanggilku dari luar rumah. Untuk apa Ibu diluar sana tengah malam begini. Lagi pula Ibu sudah bilang kalau Ibu tidak ikut kerumah Budhe Tarni.
"Ada apa, Nduk?" sontak aku menarik tanganku ketikan sebuah tangan meraih dan menggenggam tanganku.
"I ... Ibu."
"Ada apa? Kenapa tidak tidur?" tanya Ibu sambil menggulung rambutnya kebelakang.
"Nduk."
Lagi, terdengar suara Ibu memanggil. Kali ini tidak lagi di depan pintu. Namun tepat di jendela kamar dimana aku dan Ibu berada saat ini.
Ibu memberikan isyarat untuk aku tetap diam dengan menempelkan telunjuknya di depan bibir. Tak tahu mana yang bisa ku percaya. Aku bahkan tak tahu apakah sosok di depanku saat ini Ibuku yang sebenarnya.
Aku membiarkan saat tangan Ibu menggenggam tanganku. Hangat. Aku yakin kalau saat ini bersama Ibuku yang sebenarnya.
"Bu." panggilku pada sosok wanita yang melahirkanku itu yang beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela kamar.
"Astaghfirullah." Ibu mundur kebelakang. Tampaknya beliau telah melihat sesuatu yang seharusnya tak dilihatnya.
"Bu, Minah takut."
Ibu memeluk ku. Terdengar degub jantungnya tak beraturan. Aku tahu kalau sebenarnya Ibu juga takut. Apalagi tak ada Bapak saat ini. Namun Ibu tetao berusaha tegar demi aku.
Aaaahhh ... mengapa harus sekarang aku sangat merasa ingin buang air kecil. Ini membuatku menyesal tak mengindahkan ucapan Ibu untuk tak banyak minum menjelang tidur malam hari.
"Nduk?"
"Kamu kenapa?"
Rupanya Ibu menyadari ketidak nyamanan padaku. Sedangkan suara Ibu diluar sana tidak lagi terdengar. Hanya ketukan kecil seperti kuku panjang yang di ketuk-ketuk perlahan pada kayu jendela.
"Minah ingin pipis, Bu." ucapku perlahan. Wajah Ibu mendadak berubah. Mungkin Ibu juga merasakan takut sama halnya denganku.
"Ditahan sebentar, ya, Nduk." bisik Ibu yang ku jawab dengan anggukan perlahan.
Kembali Ibu mengintip ke arah jendela. Suara ketukan berpindah ke pintu depan. Kali ini lebih keras dan cepat.
"Ayo." Ibu menarik lenganku untuk segera kebelakang. Aku buru-buru menuntaskan hajadku. Pintu kamar mandi tak berani ku tutup. Bahkan Ibu harus menungguku tepat didepan pintu kamar mandi.
"Ibuuuu ... "
Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Badan gemetar dengan hebat, badan terasa lemas tanpa tulang, jantung berdetak tak beraturan serasa keluar dari tempatnya.
"Ono opo, Nduk?" Ibu menghampiri dan mendekapku.
Aku tak mampu menjawab pertanyaan Ibu. Hanya air mata yang terus keluar dari kedua sudut mata. Ibu memapahku kembali ke kamar. Segelas air putih yang diberikan Ibu segera tandas ku teguk. Perlahan nafasku kembali normal. Dengan sisa-sisa air mata yang masih menempel, aku melepaskan pelukan Ibu.
"Ada apa, Nduk?" tanya Ibu yang sudah sangat penasaran. Namun aku lebih memilih untuk diam. Rasa takut yang masih sangat terasa membuatku masih enggan menceritakan apa yang tadi ku lihat saat berada di kamar mandi. Sosok menyeramkan yang menyembul dari bak mandi dengan kedua bola mata yang berlubang dan wajah menghitam menghadap tepat ke arahku. Meskipun penerangan rumah kami hanya menggunakan lampu petromak dari ruang tengah, dan kamar mandi hanya diberikan lampu teplok ( dengan bahan bakar minyak tanah ), namun sosok itu tampak terlihat sangat jelas dengan mulut menyeringai seperti siap untuk menerkam ke arahku.
Aku tidur di peluk oleh Ibu. Suara ketukan dari luar sudah tidak terdengar lagi. Hanya suara lantang binatang malam yang seolah - olah menantang dan tak peduli dengan datangnya sosok yang tak pernah diharapkan kedatangannya.
"Bu." bisikku perlahan.
"Hhhmmmm ..."
"Minah penasaran."
"Ada apa?" Ibu menoleh ke arahku. Bunyi tempat tidur terdengar nyaring saat tengah malam begini.
"Sosok laki-laki yang waktu itu Minah lihat sama Bapak dan Kang Tejo saat kami pulang kemari." ucapku membuatku merasa sedang di awasi. Ibu mengernyitkan dahi.
"Apa Bapak belum pernah bercerita pada, Ibu?"
Ibu mengangguk.
"Pernah, Nduk. Tapi apa yang membuatmu berfikir macam-macam?" tanya Ibu.
"Minah hanya merasa kalau almarhum Mas Samsul bukan karena bunuh diri." ucapku sedikit memberanikan diri.
"Sssttt ..." Ibu malah membekap mulutku. Wajahnya nampak pias saat kembali terdengar suara dari pintu depan. Kali ini bukan hanya ketukan, namun di gedor dengan sangat kencang. Aku memeluk Ibu dengan erat. Wajah kubenamkan dalam-dalam. Kedua mata ku tutup rapat. Hanya debar jantung kami berdua yang terdengar berdegub saling bersahutan.
"Ibu, Minah takut." bisikku sebelum aku terlelap dalam dekapan Ibu.
"Badannya masih panas, Pak." sayup-sayup terdengar suara Ibu dan seseorang meraba dahiku.
"Bu." panggilku lirih. Ibu tersenyum saat melihatku terbangun. Rupanya Bapak juga sudah pulang dari rumah Kang Tejo.
"Kamu istirahat dulu, Nduk. Badanmu masih panas." ucap Bapak memberi nasehat. Pantas saja kepala ini terasa begitu pening dan seluruh badan terasa sangat lemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Shyfa Andira Rahmi
ngga ada orang ahli agamakah spt ustadz ato kyai🤔🤔
2024-06-23
0
🥰Siti Hindun
huft...jdi ikutan tegang.
2023-10-21
0
alena
ngeri banget teror nya, kenapa di rumah minah terus ya 👻 nya
2022-04-17
0