"Nduk, ono opo? Seketika aku tersadar dengan apa yang baru saja ku lihat. Aku melongok ke arah dapur dan mengedarkan pandangan. Entahlah, tak ada siapapun disana. Namun begitu jelas apa yang ku lihat tadi. Ibu, dengan senyum menyeringai tampak menatap lekat ke dalam mataku. Bahkan rasanya tubuhku terasa kaku saat kedua bola mata pada sosok yang menyerupai Ibu beradu pandang denganku.
"E ... enggak, Pak." jawabku terbata. Jujur saja jantungku masih terus berdegub kencang. Rasanya seperti ingin lompat dari tempatnya.
"Dihabiskan tehnya, Nduk." Ibu menegurku saat melihat gelas teh yang hanya ku genggam sudah mulai dingin. Aku hanya mengangguk. Kembali ku sesap perlahan teh buatan Ibu sambil sesekali bola mataku melirik ke arah dapur.
Tidak mungkin tadi aku salah lihat. Sudah jelas-jelas tadi ada perempuan mirip sekali dengan Ibu lewat pintu tepat dimana aku duduk dan menghadap ke arahnya.
"Kamu kenapa, Nduk?" Ibu kembali mengagetkanku.
"Itu, Bu. Tadi ada yang menyerupai Ibu berjalan di sana." tunjukku ke arah pintu membuat Bapak dan Ibu serempak menoleh ke arah yang ku tunjuk.
Bapak berdiri dan segera melihat ke dapur untuk memeriksa apakah sosok yang ku ceritakan tadi masih berada disana. Cukup lama Bapak berada di dapur. Ibu yang penasaran pun akhirnya bangkit dan berniat menyusul Bapak ke dapur.
"Bu, Minah takut." ucapku sambil menarik lengan Ibu.
Deg ...
"Tangan Ibu dingin sekali". gumamku saat tanganku menyentuh telapak tangan beliau. Sontak saja aku terdiam saat kedua tatapan mata kami beradu. Ibu terdiam. Matanya menatap lekat ke dalam kelopak mataku. Hawa dingin tiba - tiba saja terasa menerpa tengkuk leherku. Ibu tersenyum, namun senyumnya terasa dingin dan menyeramkan.
"Paaakkk ... "
Sontak saja aku berteriak memanggil Bapak yang tak kunjung kembali.
Brruuuggghhh ...
Aku kembali berteriak saat Ibu ambruk tepat di sebelahku. Bapak berlari menghampiri aku dan Ibu yang saat ini sudah tak sadarkan diri.
"Ambilkan minyak gosok, Nah." pinta Bapak sambil mengangkat tubuh Ibu dan memindahkannya ke bangku panjang.
"Apa yang terjadi, Nduk?" tanya Bapak sambil menggosok-gosok kaki Ibu dengan minyak gosok yang ku berikan pada beliau.
"Tadi badan Ibu dingin sekali, Pak. Ibu juga terlihat aneh saat Bapak pergi ke dapur." ceritaku panjang lebar pada Bapak.
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, rasanya pagi tak kunjung datang juga. Suara jangkrik dan binatang malam lainnya terdengar saling bersahutan. Bapak masih terus menggosok kaki dan tangan Ibu. Namun sepertinya Ibu belum ada tanda-tanda akan sadar.
"Ibu kenapa, Pak?" tanyaku khawatir.
"Ibumu rapopo, Nduk." jawab Bapak singkat. Namun terlihat dari wajahnya kalau sebenarnya Bapak khawatir dengan kondisi Ibu saat ini.
"Sepertinya tadi ada yang mampir kesini." ucap Bapak membuatku termangu. Aku mengerti apa yang dimaksud oleh Bapak. Sosok yang ku lihat tadi di dapur sepertinya menghampiri Ibu dan masuk ke tubuh Ibu. Makanya tadi saat ku sentuh tangan Ibu sedingin es.
"Ibu bakal tetap baik-baik saja kan, Pak." tanyaku lagi.
"Iyo, Nduk. Kamu tidak usah khawatir. Mendingan kamu tidur lagi sana. Masih malam." pinta Bapak yang tentu saja ku tolak mentah-mentah. Selain aku masih khawatir dengan keadaan Ibu, tak mungkin juga aku berani tidur sendiri di dalam kamar tanpa ada Ibu yang menemani.
Tubuh Ibu menggeliat. Perlahan kedua matanya terbuka. Aku tersenyum bahagia melihat Ibu sudah siuman.
"Bu. Ibu tidak apa-apa?" tanyaku kegirangan.
"Ibu rapopo, Nduk." kembali Ibu duduk di sebelahku seperti tadi. Meskipun masih tampak sedikit pucat, namun tangan Ibu sudah tidak dingin seperti tadi.
"Anget, Pak." kataku pada Bapak. Tak bisa ku bayangkan kalau sampai terjadi apa-apa pada Ibu. Aku takut Ibu akan drop seperti Yu Siti, yang menjadi linglung dan tak mau berbicara lada siapapun setelah melihat sosok menyeramkan di dalam rumahnya.
Pagi ini Bapak berencana untuk melihat keadaan Kang Tejo. Sudah lumayan lama Kang Tejo tidak datang kerumah untuk sekedar main. Bahkan Bapak juga tak pernah melihat Kang Tejo saat di sawah ataupun sekedar berpapasan di jalan.
"Ibu benar baik-baik saja kalau Bapak tinggal?"
Ibu mengangguk sambil terus melanjutkan kegiatan memasaknya. Aku membungkus emping melinjo ke dalam plastik bening untuk nanti Ibu bawa ke pasar untuk dijual.
"Ibu rapopo, Pak." jawab beliau memastikan.
Kali ini aku tak mau ikut dengan Bapak. Aku mau menunggui Ibu dirumah. Aku takut Ibu pingsan lagi seperti tadi malam. Aku mengira hal buruk akan terjadi juga dengan keluarga kami. Akhirnya Bapak pergi sendiri ke rumah Kang Tejo.
Aku menatap wajah Ibu dalam-dalam. Melihat keteduhan yang terpancar dimatanya.
"Bu." panggilku.
"Dalem."
"Minah takut Ibu bakal seperti Yu Siti." ucapku lirih.
"Hust, kamu kalau ngomong jangan sembarangan." bantah Ibu.
"Lagian Ibu kenapa tiba-tiba pingsan. Minah kan takut, Bu."
"Ibu tidak tahu, Nduk. Wong namanya pingsan kan tiba-tiba. Ibu juga ndak sadar." jawab Ibu sambil tertawa.
"Bapak kok lama ya, Bu." kataku yang tersadar kalau rupanya Bapak sudah pergi terlalu lama. Biasanya kalau ke rumah Kang Tejo Bapak tak pernah selama ini. Sekarang ini sudah siang tapi belum ada tanda-tanda Bapak akan pulang. Berkali-kali aku menengok jalanan depan. Siapa tahu melihat Bapak yang sedang berjalan dari kejauhan.
"Minah."
Aku menoleh ke asal suara yang ternyata Atun berlari tergopoh-gopoh ke arahku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nyari siapa kamu?" Atun terlihat ngos-ngosan.
"Bapakku. Kamu dari mana?"
"Dari sana. Lihat orang pada benerin makam." ucapnya.
"Makam siapa?" aku penasaran lagi dibuatnya.
"Makam Mas Samsul. Ada yang bongkar lagi." ucap Atun membuatku bergidig ngeri. Heran, disaat sang penghuni makam di isukan meneror warga desa, nyatanya masih ada saja yang berani membongkar makamnya. Apa tidak takut akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan pada dirinya sendiri.
"Opo sing di bongkar?" tiba-tiba Ibu muncul dari dalam.
"Makam Mas Samsul, Budhe. Ada yang bongkar lagi." jawab Atun tanpa ada rasa takut.
"Astaghfirullah. Terus sekarang bagaimana?" Ibu juga ikut penasaran.
"Sudah di tutup lagi, Budhe. Tadi ada Pak Soleh, dan beberapa warga lainnya."
"Apa Pak Dayat tahu soal itu?" aku hanya menyimak pembicaraan Ibu dan Atun.
"Tahu, Budhe. Tadi Pak Dayat juga datang ke makam dan ikut membantu mengurug kembali kuburan anaknya."
"Kasihan sekali mereka. Ada saja cobaan yang menimpa keluarganya."
"Iya, Budhe. Istrinya juga dari tadi nangis terus pas orang-orang sedang memperbaiki makam anaknya." lanjut Atun.
"Ya pasti. Siapa yang tidak sedih dan sakit hati kalau sudah ada yang setega itu membongkar makam anaknya." timpal Ibu yang ku setujui dengan anggukan kepala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Rini
Thor dikit amat y lagi up-nya Thor jgn lama lama ya
2022-03-21
1