Bapak memintaku untuk membuat teh manis panas di dapur untuk Kang Tejo. Kang Tejo yang memang tinggal sendiri, sehingga tak ada yang melayani atau pun membantu dalam hal urusan rumah tangga. Apalagi saat seperti ini, tak ada satupun keluarganya yang tahu saat kondisi Kang Tejo ambruk seperti saat sekarang.
"Ini, Pak." ku serahkan segelas teh panas pada Bapak. Biarkan Bapak saja yang memberikan langsung pada Kang Tejo.
"Tangi, Kang." ucap Bapak sambil meraih tubuh Kang Tejo yang masih berselimut rapat hanya menyisakan bagian kepala yang keluar dari dalam selimut bergaris tersebut.
"Astaghfirullah. Awakmu panas tenan, Kang." (Badanmu panas sekali, Kang.)
Dengan sedikit di paksa, akhirnya Kang Tejo mau bangun dan meminum teh untuk menambah tenaga. Wajahnya terlihat sangat pucat. Aku yang berdiri di sebelahnya pun ikut merasakan hawa panas pada dirinya.
"Wes mangan durung, Kang?" (sudah makan apa belum, Kang?). Kang Tejo menggeleng.
"Ya sudah. Sebaiknya kamu tinggal dulu sementara di rumah ku. Biar kamu ada yang menemani." bujuk Bapak. Sejenak tampak Kang Tejo berpikir. Mungkin menurutnya sama saja, mau tinggal di mana pun kalau memang pocongnya ingin meneror pasti akan ketemu juga.
"Tapi nang nggon sampean juga ono pocong, Kang." ( tapi di tempat mu juga sama ada pocong juga, Kang.) Kang Tejo ragu untuk ikut saran Bapak.
"Tapi setidaknya kamu ndak sendirian begini, Kang." bantah Bapak.
Kang Tejo tak menjawab. Wajahnya yang pucat terlihat termenung. Terlihat sangat jelas raut wajah ketakutan di sana. Tak memungkiri, aku sendiri juga sangat ketakutan saat melihat sosok putih dengan wajah yang sudah menghitam dan tak berupa wajah dengan aroma busuk yang sangat menusuk itu. Mengingat semua itu membuatku bergidik ngeri.
"Pak, ayo pulang. Sudah mau maghrib." pintaku. Jujur saja aku takut kalau harus pulang hingga petang datang. Apalagi rumah kami cukup jauh.
"Bener, Kang. Kamu ikut Kang Kusno saja kerumah. Dari pada kamu sendirian disini." Pak Soleh akhirnya ikut membujuk Kang Tejo setelah sedari tadi terdiam mendengar cerita Kang Tejo.
Kami berjalan beriringan. Aku meminta Bapak untuk menggendongku. Aku takut kalau harus berjalan sendiri meskipun ada Kang Tejo yang akhirnya mau ikut dan juga Pak Soleh yang arah rumahnya sejalan dengan kami. Hanya saja jarak rumah beliau lebih dekat.
"Kang, sampeyan bisa jalan sendiri kan? Aku takut nanti pulangnya kalau harus ikut ngantar sampeyan juga ke rumah Kang Kusno." ucap Pak Soleh saat kami tiba di persimpangan jalan tadi awal bertemu Pak Soleh.
"Bisa, Pak. Maturnuwun." Kang Tejo tersenyum dan melepas pegangan Pak Soleh dari tubuhnya.
"Matur suwun nggih, Pak." ucap Bapak sebelum kami berpisah di persimpangan. Pak Soleh langsung berjalan cepat menuju rumahnya.
Kami tak bisa berjalan cepat, kata Bapak kasihan Kang Tejo yang masih lemah dan tidak bisa berjalan cepat. Perbanyak doa saja kami sepanjang jalan, berharap tidak bertemu makhluk itu saat perjalanan. Hari mulai gelap, suasana desa juga sudah sepi. Pintu dan jendela warga sudah tertutup rapat. Dari jalanan yang kami lewati, kami dapat melihat perkebunan dimana Samsul dulu di temukan. Memang tergolong sepi sebelum adanya kejadian tersebut, dan kini semakin sepi. Tak ada yang berani melewati jalanan ini lagi. Warga lebih memilih memutar jalan yang lebih jauh lagi melewati jembatan besar di ujung desa kalau ingin pergi atau pulang dari pasar.
"Pak, itu ada orang." tunjuk ku pada Bapak saat kami melewati jalanan tersebut.
"Ndak mungkin ada orang di jam segini, Nduk Nah." jawab Kang Tejo menimpali ucapan ku. Tapi aku bisa membuktikan bahwa apa yang aku ucapkan itu benar. Bapak dan Kang Tejo pun melihat sosok laki-laki berperawakan tinggi berada di perkebunan dimana tubuh Samsul tergantung.
"Sopo kae, Kang? Menungsa apa setan?"( siapa itu, Kang? Manusia apa setan?) tanya Kang Tejo sembari merapatkan tubuh ke arah Bapak. Bapak tak menjawab. Beliau memperhatikan dengan seksama sosok laki-laki yang terlihat sedang melakukan sesuatu di perkebunan itu. Sambil menggendongku, Bapak berjalan mengendap-endap ke arah rerumputan yang lebih tinggi supaya sosok tersebut tak melihat kami yang sedang mengamati. Begitu juga Kang Tejo. Beliau hanya mengintil di belakang tubuh Bapak.
"Kang, ayo. Ndang mulih." (Kang, ayo. Cepetan pulang.) Kang Tejo merajuk. Selain ketakutan yang melanda, keadaan tubuh Kang Tejo yang tidak sehat mengurungkan niat Bapak untuk melanjutkan mengamati sosok tersebut. Sepertinya sosok tersebut juga tak menyadari keberadaan kami.
"Kang, itu tadi manusia kan ya?" ucap Kang Tejo sambil duduk di ruang tamu kami. Sepertinya pembahasan tentang sosok yang kami temui tadi dijalan akan menjadi cerita selanjutnya malam ini.
"Kayane menungso, Kang." (sepertinya manusia, Kang.) jawab Bapak.
"Ngapain kira-kira ada orang disana saat malam seperti ini, Pak?" tanyaku tak kalah penasaran.
"Bapak ndak tahu, Nduk. Sudah sana, kamu belajar. Besok sekolah." bujuk Bapak padaku. Jujur saja aku kecewa. Saat aku ingin ikut mendengar obrolan Bapak dan Kang Tejo tentang sosok tadi, Bapak malah menyuruhku untuk masuk ke dalam.
"Pak." aku berlari kembali keluar menghampiri Bapak.
"Opo toh, Nduk?"
"Ibu mana? Kok ndak ada di dalam?" tanyaku karena tak mendapati Ibu di rumah sejak kami sampai di rumah sejak tadi.
Wajah Bapak berubah panik. Benar saja, ternyata Bapak tak menyadari keberadaan Ibu dirumah.
"Mbak Retno, Kang?" Kang Tejo juga sama paniknya dengan Bapak. Ternyata kami semua tak ada yang menyadari keberadaan Ibu di rumah. Setiba kami di rumah tadi aku di minta Bapak untuk buru-buru mandi lagi karena harus bergantian dengan Bapak. Meskipun aku tadi sudah mandi, Bapak bilang supaya badan ku bersih dan tak di ikuti makhluk halus dari luar sana. Entahlah, itu kepercayaan yang di turunkan oleh orang tua jaman dahulu kepada anak cucunya. Harus bersih-bersih badan setelah pergi dari luar rumah, apalagi kalau melewati tempat yang tergolong angker.
"Sudah pada pulang toh?" tiba-tiba saja Ibu muncul dari belakang.
"Ibu dari mana jam segini?" tanya Bapak.
"Ibu dari rumah Yu Siti. Jare mambengi Yu Siti di keloni pocong." ( katanya semalam Yu Siti di kelonin pocong.) ucap Ibu sambil menutup pintu belakang.
"Astaghfirullah."
Aku merapatkan tubuh ke arah Ibu. Bagaimana tidak, rumah Yu Siti bersebelahan dengan rumah kami. Hanya saja di batasi oleh kebun yang tak begitu luas dan di tanami aneka sayuran oleh ibu.
Bapak menoleh ke arah Kang Tejo yang terduduk lemas di bangku panjang. Wajahnya tampak pucat dan raut wajah ketakutan tergambar jelas di sana.
"Bu, aku takut." ucapku sembari memeluk Ibu.
"Pasrah sama yang Kuasa, Nduk. InsyaAllah kita ndak apa-apa. Banyak berdoa, ngaji, sholat." perintah Ibu yang ku jawab hanya dengan anggukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Shyfa Andira Rahmi
👍👍
2024-06-23
0
Shyfa Andira Rahmi
penasaran thorr c,Nah sekolah apa yaa tpi kalo masih digendong sd x ya thorr🤔🤔
2024-06-23
0
alena
poconge pengen kelon 🤣
2022-04-15
1