Kami semua panik. Aku yang tadinya hanya tinggal di kamar langsung berlari keluar mendekat ke arah asal suara. Sebenarnya aku keluar karena memang takut di tinggal Ibu sendirian di dalam kamar.
"Bu ... " pekik ku membuat Bapak dan Kang Tejo tergopoh-gopoh menghampiri tubuh Ibu.
Wajah Kang Tejo sangat pucat. Bisa di liat raut wajah yang ketakutan terpampang jelas di wajahnya. Bapak segera mengangkat tubuh Ibu dan memindahkannya ke lincak (bangku panjang yang terbuat dari rangkaian bambu ) panjang di ruang tamu.
"Minah, tolong kamu ambilkan air hangat di dapur." pinta Bapak ke padaku. Aku yang di suruh untuk mengambilkan air minum hangat untuk Ibu tentu saja tak bergeming sama sekali dari tempatku duduk. Bapak yang melihatku hanya menghela nafas panjang.
"Kamu jaga Mbak mu disini sama Minah. Aku ke belakang dulu." ucap Bapak pada Kang Tejo.
Aku memijit - mijit tubuh Ibu. Apa yang Ibu lihat sebenarnya sehingga bisa membuat Ibu pingsan seperti ini. Setahuku Ibu orang yang tatag (kuat/tabah) saat menghadapi atau melihat segala sesuatu yang menakutkan.
"Bu, Ibu." aku menggenggam tangan Ibu saat ku tahu tubuh Ibu sedikit bergerak. Bapak juga sudah kembali dari dapur membawa gelas berisi air teh hangat untuk Ibu.
"Mbakyu, tadi kenapa njenengan kok bisa pingsan begitu?" tanya Kang Tejo mewakili rasa penasaranku.
"Ndak apa - apa, Kang." ucap Ibu lirih. Rupanya Ibu enggan bercerita kepada kami tentang apa yang beliau lihat tadi. Atau mungkin saja Ibu belum sepenuhnya sadar dari pingsannya sehingga Ibu merasa belum waktunya untuk bercerita.
Aku merebahkan tubuhku di lincak yang tadi Ibu gunakan untuk berbaring. Ibu sudah nampak sehat. Beliau sudah kembali duduk dan berkumpul bersama Bapak dan Kang Tejo di meja tamu sebelah lincak yang ku gunakan.
"Meremo, Nah. Sesok ndak krinan." (" Pejamkan matamu, Nah. Biar besok tidak kesiangan.") ucap Ibu.
Jujur saja sebenarnya mataku terasa sangat berat. Tubuhku juga sangat lelah karena seharian tadi aku sibuk membantu Ibu mengumpulkan melinjo untuk di buat emping dan di jual kembali.
"Bu, Ibu jangan kemana - mana ya. Minah takut." ucapku sambil menarik tangan ibu untuk ku peluk.
"Tadi aku lihat itu Samsul tepat di depan pintu rumah kita, Pakne." samar-samar ku dengar Ibu bercerita menyebut nama pria yang sudah di kabarkan meninggal belum lama ini. Aku memilih untuk tetap terpejam. Namun telinga ini sudah bersiap - siap untuk mendengarkan segala sesuatu yang Ibu ceritakan.
"Tapi tadi dia ada di seberang, Mbak. Tapi ya itu, pas aku ngobrol sama Kang Kusno kok tiba-tiba nggak ada lagi." Kang Tejo menimpali.
"Dia mendekat kesini, Kang. Tepat persis berdiri di depan pintu. Sebelah tadi Kang Tejo berdiri juga." ucap Ibu membuat Kang Tejo melompat dan menaikkan kedua kaki ke atas bangku.
"Sudah tidak ada lagi, Kang. Sudah pergi dia itu." ucap Bapak mencoba menenangkan Kang Tejo.
"Deknen neror awak dewe, Kang." ( Dia meneror kita semua, Kang.")
"Ora (tidak), Kang. Itu bukan Samsul. Itu jin yang menyerupai Samsul." ucap Bapak.
"Kang, itu kalau mereka yang meninggal secara wajar. Lah ini? Kang Kusno tahu sendiri kan seperti apa jasad Samsul waktu di temukan. Toh kita sendiri juga ikut melihat langsung waktu jenazahnya di turunkan oleh pihak kepolisian." Kang Tejo bersikeras kalau sosok yang tadi ia lihat adalah Samsul yang tak tenang arwahnya karena kematiannya yang tidak wajar.
Bapak tak menjawab. Begitu juga dengan Ibu. Aku yang masih berada bersama mereka pun ikut tak bersuara.
Suara jangkrik terdengar semakin nyaring dan saling bersautan. Udara dingin juga sudah mulai menyusup ke dalam tulang. Bahkan teh panas yang Bapak bawa untuk kami sudah tandas dan tak mampu menghangatkan badan kami. Gemericik air hujan terdengar merdu di luar sana. Entah sejak kapan gerimis turun, kami berempat tak satupun yang menyadari.
"Kamu tidur dulu sana, Nah." pinta Ibu padaku. Aku menggeleng. Tak mau lagi aku tidur sendirian di dalam kamar, yang mana telah ku lihat sosok menyeramkan itu berdiri di sudut kamar. Aku bergidik membayangkan kejadian tadi. Padahal mataku baru saja terlelap. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aku harus membuka mata dan terpaksa melihat sosok itu yang juga menatap ke arahku. Se ingatku aku mendengar Ibu berbisik memanggilku. Ku kira Ibu yang membangunkan aku karena terjadi sesuatu.
"Ayo Ibu temani. Ibu juga sudah ngantuk." ajak Ibu padaku. Aku mengekor di belakang Ibu. Bapak dan Kang Tejo tetap berada di ruang tamu.
Malam ini aku lewati dengan sangat panjang. Berharap pagi segera datang dan mengakhiri rasa ketakutan ku dan juga semua penghuni rumah. Ku lihat Ibu sudah memejamkan mata. Nafasnya tenang dan teratur. Namun ku tahu kalau Ibu belum tidur.
"Bu." panggilku lirih.
"Hhhmmm ... "
"Apa benar tadi ada Mas Samsul di luar sana.?" tanyaku penasaran. Aku tak berani berbicara keras. Takut sosok menyeramkan tadi muncul lagi.
"Ibu ndak tau, nduk. Sudah kamu tidur saja. Jangan mikir yang enggak - enggak."
Tapi tetap saja aku tak bisa tidur. Rasa takut masih terasa. Aku memeluk erat lengan tangan Ibu. Guling yang biasanya ku peluk kini ku letakkan di sebelah Ibu. Aku memilih untuk tidur di dekat tembok. Tak apa aku kesempitan, yang penting aku bersama Ibu. Kasurku memang kecil. Hanya seukuran kecil yang cukup untuk tidur seorang diri. Kasur yang berisi kapuk randu yang sudah cukup tipis karena dimakan usia. Untuk alas tidur pun tak ada sedikitpun rasa empuk atau pun hangat. Hanya saat setelah di jemur di bawah terik matahari akan menambah sedikit volume kasur menjadi lebih tinggi dan sedikit empuk.
Suara air hujan semakin deras. Rasanya hujan ini akan bertahan hingga esok pagi. Aku terus menggenggam lengan Ibu. Aku takut Ibu akan meninggalkanku saat aku sudah terlelap nanti. Suara kodok bersahut-sahutan membuat riuh suasana di desa. Jam dinding terus berdetak menunjukan pukul dua dini haru. Sepertinya pagi masih lama datang.
Lamat - lamat aku mendengar suara dengkuran dari arah ruang tamu. Rupanya Bapak dan Kang Tejo sudah terlelap disana. Pasti itu suara dengkuran Kang Tejo. Karena Bapak tak pernah mendengkur sekeras itu. Aku menutup telinga dengan tangan dan mencoba memejamkan mata. Namun sepertinya sia-sia. Suara dengkuran itu nyatanya masih terdengar berlombaan dengan suara hujan dan kodok yang semakin ramai.
"Iseh krungu wae kupingku, ish." gerutuku.
"(Masih mendengar aja telingaku, ish)." gerutuku. Aku kembali menutup kepalaku dengan selimut dan membenamkan kepala ku di tangan Ibu. Semoga saja kali ini berhasil dan bisa membuatku tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Misik Japar
serasa ikt msuk dlm suasana desa
2022-07-03
1