Makan malam kali ini terasa lebih sunyi. Aku, Bapak dan Ibu mempercepat kegiatan makan malam tanpa ada obrolan di sela-sela kegiatan kami. Ingin rasanya segera menyudahi dan segera beranjak masuk ke dalam tempat tidur dan tertidur hingga esok pagi.
Krraasssaaakkk ... blug ...
Aku menatap ke arah Ibu, begitu juga Ibu. Wajahnya nampak memucat, namun masih terlihat tegar. Ibu kembali menyendokkan makanan ke dalam mulut. Begitu juga Bapak. Mereka berusaha bersikap sewajarnya. Namun aku tahu, Bapak dan Ibu menyimpan rasa takut dan khawatir sama sepertiku.
"Ndak usah di perhatikan, Nduk. Kamu lanjut saja makannya. Cepetan." perintah Bapak dengan suara lirih. Aku mengangguk. Ku rampungkan segera acara makan malamku. Aku harus kuat saat menghadapi teror malam ini. Apalagi mengingat ada yang berani membongkar makamnya. Aku membayangkan sosok pocong menyeramkan itu akan meneror dengan membabi buta karena makamnya di rusak orang tak bertanggung jawab.
Klotak ... dug ... dug ... dug ...
Terdengar suara seseorang memukul pelan kandang. Bapak beringsut, berjalan menuju jendela untuk mengintip keluar melalui celah. Aku mendekat ke arah Ibu, memegang erat lengan Ibu. Ibu yang masih berusaha tenang memeluk ku erat. Namun tak bisa di bohongi. Detak jantung Ibu terasa sangat cepat.
"Kita tetap disini saja." perintah Bapak. Ruang tengah menurutku memang paling nyaman. Berharap pocong Mas Samsul tidak masuk dan tiba-tiba muncul di hadapan kami. Toh selama hidup kami tak pernah mengusiknya.
"Ada apa, Pak?" tanyaku pada Bapak yang masih mengintip keluar.
"Ada yang berdiri di tengah-tengah kandang." jawab Bapak.
"Pocong?" tanyaku spontan. Bapak menggeleng.
"Ndak jelas, Nduk. Bapak masih lihat, takutnya orang yang punya niat jahat sama kita."
"Maling?" aku menebak - nebak ucapan Bapak.
"Bisa jadi seperti itu." jawab Bapak pelan.
"Itu pocong, Pak. Ndak mungkin ada orang berani keluar malam semenjak ada pocongnya Mas Samsul." bantahku.
"Bisa jadi, Nduk. Namanya orang punya niat jahat, apapun tak akan menghalangi niatnya." kini Ibu mulai bersuara.
"Tadi Bapak tanya sama Pak Kusno, katanya benar rumor tadi yang Minah cerita." ucap Bapak kembali duduk bersama kami. Ibu telah selesai merapikan bekas makan dan meletakkannya di dapur tanpa mencucinya.
"Kira-kira siapa pelakunya ya, Pak?" tanya Ibu.
"Ya belum di ketahui, Bu. Hanya saja menurut saksi yang melihat, ada laki-laki bertubuh tinggi besar terlihat berjalan melewati makam."
"Ada yang lihat gitu, Pak?" timpalku.
"Iya, Mbah Tomo. Yang rumahnya dekat sama makam." jawab Bapak.
Menurut cerita Bapak, Mbah Tomo melihat gelagat orang mencurigakan berjalan di sekitar makam. Dia mengira hanya orang yang kebetulan saja lewat. Namun setelah dipikir-pikir, semenjak kejadian teror pocong ini tak pernah lagi ada warga yang berani melintas sekitar makam setelah malam datang. Kalaupun hanya warga desa lain yang lewat, tak mungkin juga bakal lewat jalan dekat makam. Jalannya hanya berupa setapak kecil dan sepi. Masih ada jalan utama desa yang lebih lebar dan terang karena tak banyak pohon besar menutupi jalan. Lagipula sama desa sudah diberikan listrik dan lampu-lampu kecil untuk penerangan jalan. Meskipun tidak semua warga mampu memasang listrik, namun desa kami sudah ada penerangan di beberapa tempat sebagai fasilitas desa.
Malam ini kami menggelar tikar dan melapisinya dengan kasur kapas di ruang tengah. Kami bertiga tidur bersama malam ini. Tak kudengar lagi ketukan-ketukan misterius seperti tadi.
"Yu Siti apa kabar ya, Bu." gumamku pada Ibu yang terlihat sudah memejamkan mata. Namun ku tahu kalau Ibu sebenarnya belum tidur.
"Sudah membaik, Nduk. Sudah mau makan juga tadi sore."
Syukurlah, Yu Siti sudah mengalami kemajuan. Mengingat pernah mendengar cerita dari orang tua sebelum Ibu kalau kita bertemu sosok pocong dan kita sampai jatuh sakit, kemungkinan besar kita tak akan berumur panjang. Apalagi pocong termasuk sosok setan yang galak dan mau mengejar manusia. Bahkan pocong mau meludahi manusia yang tertangkap olehnya. Bahkan kalau sampai kita terkena ludah pocong, tubuh kita akan beraroma busuk yang sangat busuk dan tak bisa dihilangkan hingga ajal menjemput. Entahlah, semoga semua itu hanya mitos belaka.
Rasanya malam ini begitu damai. Bahkan sampai aku terlelap pun tak terdengar sedikitpun gangguan-gangguan yang biasanya sudah muncul bertubi-tubi mengganggu kenyamanan istirahat kami. Hingga akhirnya aku tersentak saat mendapati sebuah benda dingin meraba kakiku. Aku berteriak sekuat tenaga saat melihat sosok hitam legam duduk di bawah kakiku. Bapak menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sedangkan Ibu berusaha menenangkanku.
"Jangan dilihat, Nduk." ucap Bapak sambil memeluk erat tubuhku dan berusaha meraih kepalaku lebih dalam kedalam pelukannya.
"Astaghfirullahaladzim." terdengar Ibu beristighfar berkali-kali dan berdoa menyebut nama Allah untuk meminta perlindungan dari Nya. Nyata bau busuk itu masih tercium kuat. Tak henti-hentinya Bapak dan Ibu membaca doa sebisanya dan ayat kursi berulang-ulang. Lambat laun bau busuk yang sedari tadi mengganggu penciuman mulai memudar. Dari celah-celah lengan Bapak aku tak melihat lagi sosok hitam yang tadi sempat menyentuh kulit kakiku. Tangisku masih terdengar, namun nafasku sudah mulai beraturan.
"Sudah ndak ada, Pak." ucap Ibu pada Bapak. Perlahan Bapak melepaskan pelukannya. Aku masih terus terisak. Ibu kembali memelukku, sedangkan Bapak memberikan air minum kepadaku.
"Kok bisa tahu-tahu muncul disini, Pak." gumam Ibu pada Bapak. Bapak hanya menggeleng, tangannya sibuk memijit kakiku. Perlahan tangisku mulai reda. Untung saja aku tak melihat jelas wajahnya. Hanya bentuknya saja dan kain yang membungkus tubuhnya sudah menghitam.
"Baunya gosong, Pak." ucapku lirih.
"Sudah, ndak usah di ingat." ucap Bapak.
Sampai pagi hari diantara kami tidak ada yang tertidur. Jam dinding menunjukan pukul setengah tiga dini hari. Bapak berulang kali membujukku untuk tidur, namun aku bersikeras untuk menolak. Aku tak ingin kejadian tadi terulang kembali. Bahkan aku tak bisa bayangkan kalau tiba-tiba saja aku tidur dengan memeluk sosok pocong.
Suara binatang malam sudah tak lagi terdengar saling bersahutan. Beberapa ayam jantan milik tetangga juga sudah ada yang mulai berkokok. Berharap pagi akan segera datang dan mengakhiri semua ketakutan kami malam ini.
Ibu beranjak ke kamar mandi, lanjut menuju dapur untuk menyiapkan air panas untuk kami bertiga. Rasanya lumayan menenangkan meneguk teh panas saat suasana mencekam seperti ini.
Aku menghentikan menyesap teh yang sedang ku nikmati saat melihat sosok Ibu melintas pintu dapur sambil tersenyum ke arahku. Bagaimana mungkin ada dua Ibu, sedangkan satu Ibuku tepat ada di depanku sedang memegang gelas teh panas sepertiku.
"I ... Ibu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Rini
Thor kapan up lagi!!
2022-03-15
2
Rini
up lagi y Thor ,semangat
2022-02-25
2