"Minah ada di dalam. Kamu masuk saja, Nduk." terdengar Ibu berbicara dengan seseorang. Aku bangun dari tempat tidurku. Dengan kepala yang masih terasa pening aku bergerak perlahan menuju pintu kamar.
"Atun." panggilku pada teman kecilku tersebut. Dia hanya terkekeh kecil dan menunjukan deretan gigi putihnya yang rapi.
"Dari mana, Tun?" tanyaku penuh selidik. Aku tahu biasanya Atun akan muncul di depanku kalau dia memiliki informasi penting. Aku yakin kali ini pun sama. Atun pasti punya cerita yang akan ia beritahukan padaku.
"Kamu kenapa, Nah?" tanyanya sambil menepuk pundakku membuatku mengaduh kesakitan. Bukan karena tepukannya yang sangat keras, namun entah mengapa seluruh tubuhku rasanya begitu sakit dan ngilu bisa disentuh. Aku menggeleng dan meminta Atun ikut masuk kedalam kamar.
"Kamu kalah juga, Nah?" tanya Atun penuh selidik. Wajahnya menunjukan kesan mengejek. Aku melengos dan mencebik dibuatnya.
"Jangan takut, Nah. Kuatkan imanmu. Itu pesan Bapakku." ucap Atun membuatku menghela nafas panjang.
"Kamu tak tahu apa yang ku lihat semalam, Tun. Dia muncul tiba-tiba tepat di depan mataku. Nangarep mripatku, Tun." ucapku kesal.
"Koyo opo wujude?"
Aku menghela nafas panjang, bingung, antara mau menceritakan pada Atun atau hanya kusimpan sendiri saja seperti apa sosok yang ku temui semalam.
"Aku tahu, Nah. Sudah ku bilang kalau aku tahu." ucapnya kemudian.
"Maksudmu, apa?" tanyaku.
"Sama sepertimu, sama seperti warga desa yang lainnya. Setiap hari aku dan keluargaku juga disambangi oleh teror pocong." ungkapnya.
"Lalu?"
"Aku tak perlu takut. Bapak sama Ibuku bahkan tetao bersikap sewajarnya saat pocong itu datang kerumah." ucapnya.
"Apa Bapak sama Ibumu tak merasa takut?" tanyaku penasaran.
"Takut. Hanya saja kami lawan." jawabnya membuatku sedikit tak mengerti.
"Kami tak menganggap sosok itu berada di sekitar kami. Kami mengalihkan dengan melakukan sesuatu dan berpura-pura tak melihat sosok itu datang menghampiri kami." jawabnya sambil terkekeh.
"Edan." jawabku.
Aku menatap langit-langit kamar sambil memikirkan kembali apa yang Atun katakan.
"Mikir apa, Nduk?" suara Bapak mengagetkan.
Aku menceritakan apa yang Atun katakan pada Bapak. Tak banyak tanggapan dari Bapak. Beliau hanya mengangguk-angguk entah setuju atau tidak. Aku tak pernah tahu apa isi kepala beliau.
"Pak, apa nanti malam Bapak akan kerumah Kang Tejo lagi?" tanyaku.
"Iya, Nduk. Paling tidak sampai tujuh hari."
Aku menerawang jauh. Itu artinya selama tujuh malam hanya akan ada aku dan Ibu dirumah.
"Bapak tidak sampai pagi lagi, Nduk." ucap Bapak membuatku tersenyum.
Suhu tubuhku sudah kembali seperti semula. Kata mantri desa, aku hanya kelelahan dan syok sehingga membuatku jatuh sakit. Ibu terlihat sangat lega mendengar ucapan Pak Mantri. Mungkin Ibu berfikir nasibku akan sama seperti Yu Siti atau bahkan Kang Tejo. Meskipun Ibu selalu menepis apa yang aku ucapkan kalau aku akan berakhir sama dengan mereka. Namun aku tahu kekhawatiran itu nampak jelas diraut wajahnya.
"Bu, semalam makam Samsul meledak." ucap Bapak tiba-tiba.
"Astaghfirullah."
"Kok bisa, Pak?" aku dan Ibu bertanya hampir bersamaan.
"Kasihan sekali Pak Dayat. Nasib Samsul sesudah meninggal pun masih seperti itu. Padahal dia anak yang baik." ucap Ibu.
"Katanya dia meninggal karena dijadikan tumbal." ucap Bapak membuat kami terperanjat.
"Bagaimana bisa orang meninggal dijadikan tumbal?"
"Entahlah, Bapak juga tidak tahu. Tapi kata orang pintar, Samsul sengaja dibuat supaya bunuh diri." ucap Bapak membuat kami berdua semakin bingung.
"Bapak jangan cerita begitu, nanti jatuhnya fitnah." ucap Ibu yang sepenuhnya tak ku setujui . Apalagi selama ini banyak kejanggalan yang sulit diterima. Kasus kematian karena bunuh diri bukan hanya Mas Samsul di desa kami. Dulu juga pernah ada kasus bunuh diri seorang kakek yang tinggal sendirian karena ditinggal meninggal sang istri dan anak-anaknya tak ada lagi yang datang menjenguknya. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Miris sungguh, namun memang seperti itu kenyataannya. Disaat orang tua semakin renta, dan anak-anak sudah beranjak dewasa. Memiliki keluarga sendiri, membuat mereka enggan untuk berkunjung ke rumah orang tua mereka. Rumah mereka masa kecil, yang penuh dengan kenangan. Mungkin beberapa dari mereka memang terpaksa karena terhimpit oleh keadaan yang memaksa mereka untuk menahan rindu tak bertemu orang tua mereka. Namun tak jarang juga yang jarak rumahnya masih tergolong dekat tetap enggan untuk sekedar menengok dan melihat keadaan orang tua mereka. Semoga saja kelak aku bisa menjadi anak yang tetap bisa menjaga kedua orang tuaku dimasa tuanya.
"Minah." Ibu menepuk pelan pundakku membuatku terperanjat.
"Ngalamun opo?"
Aku tersipu malu. Aku memeluk erat tubuh wanita yang amat kucintai itu dengan erat.
"Bu, sampai kapan ya teror pocong Mas Samsul ini?" tanyaku penuh harap. Berharap semoga ada jawaban yang akan membuat tenang aku dan juga semua orang.
"Bapak dan Ibu tidak tahu, Nduk. Mungkin setelah empat puluh hari semua akan kembali normal." jawab Ibu lembut.
"Kalau memang benar Samsul dijadikan tumbal, sengaja dibuat linglung agar melakukan bunuh diri. Sepertinya tidak semudah itu, Bu. Pasti akan ada perhitungan yang akan dia minta sebagai pertanggung jawaban atas kematiannya." ucap Bapak yang di ikutin mata Ibu yang melotot tajam ke arah Bapak. Mungkin Ibu tak ingin Bapak menceritakan hal-hal yang menakutkan di depanku. Khawatir akan terjadi hal-hal yang tak di inginkan kepadaku.
"Apa itu ada hubungannya dengan laki-laki yang pernah kita lihat di tempat kejadian dimana Mas Samsul ditemukan, Pak?" tanyaku membuat kedua orang tuaku terdiam. Sejenak Bapak dan Ibu tampak berfikir. Benar saja, mengapa waktu itu tidak terpikirkan kesana. Kita hanya berpikir orang itu hanya mencari rumput untuk pakan kerbaunya.
"Apa yang harus Bapak bilang sama Pak Kades, Bu? Sedangkan waktu itu Bapak melihatnya bersama Kang Tejo." ucap Bapak yang sepertinya menyetujui ucapanku.
Kami semua terduduk dalam diam. Larut dalam pikiran kami masing-masing. Benar saja, kalau pun Bapak berbicara pada Pak Kades soal laki-laki yang kami lihat di area ditemukannya Mas Samsul, kami tak punya bukti apa-apa untuk menyalahkan laki-laki itu. Bisa saja ia hanya benar-benar mencari rumput. Tapi apa mungkin mencari rumput harus sampai sesore itu?
"Pak." panggilku pada Bapak. Sepertinya Bapak pun juga menyadari kejanggalan itu.
Bapak memutuskan untuk memberi tahukan hal ini pada Pak Kades. Niat Bapak, beliau akan menceritakan semuanya malam ini, saat berkumpul di rumah Kang Tejo setelah atau sebelum acara tahlilan di adakan. Semoga saja masalah ini akan segera menemukan titik terang. Sehingga teror ini bisa segera di akhiri dan keluarga Pak Dayat tak perlu lagi menanggung duka terlalu lama atas semua yang telah terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Shyfa Andira Rahmi
🤲🤲
2024-06-23
0