Di rumah yang sederhana itu, terdapat sosok wanita dengan kaca mata bacanya sedang berkutat di depan kertas-kertas dan laptop yang menyala. Beberapa kali rambut kuncirnya bergoyang mengikuti gerak tangan dan tubuhnya.
“Raisya.”
Panggilan itu membuat sosok wanita yang berkutat dengan serius melepaskan kaca matanya. Ia alihkan pandangan dan menatap gemas dua sosok dengan umur berbeda itu.
“Kali ini apa lagi.”
Raisya bangkit, berjalan lurus ke arah dua sosok itu.
“ihh, ini salah kak Kiel, Riel gak salah.”Azriel menunjuk sosok laki-laki di sampingnya.
Zakiel yang ditunjuk Riel menatap tajam, tapi tatapan tajam itu berhenti ketika netra hitamnya bersitatap dengan netra hijau.
“Kenapa tubuh kalian kotor seperti itu?” Raisya melipat kedua tanganya di dada.
“Kak Kiel melempar tanah ke tubuh kekar Riel.” Azriel mengerucutkan bibir dan bersedikap dada mengikuti gaya Raisya.
Zakiel melotot tidak terima. “Hay, bagaimana bisa anak sekecilmu berkata seperti itu. Kau!” Zakiel semakin melotot tajam melihat Riel yang memeletkan lidahnya mengejek.
Raisya merasa kesal dengan tingkah mereka berdua. Helaan nafas terdengar dengan jelas, membuat mereka berdua terdiam menatap Raisy takut-takut.
“Aku hitung sampai tiga, jika kalian tidak mengganti pakaian dan membersihkan kekacaun yang kalian buat, siap-siap kuping kalian aku buat putus.”
Mereka berdua segera menutup kuping dan menggelengkan kepala, kemudian berlari meninggalkan Raisya sendiri.
Raisya tersenyum melihat tingkah mereka. Sudah hampir dua bulan ia tinggal di rumah sederhana ini. Sendiri. Zakiel dan Riel hanya sesekali berkunjung, bahkan menginap di tempat ini. Mereka seakan memberikan privasi khusus untuknya.
Kakinya melangkah menuju sofa tempat ia berkutat tadi. Lagi-lagi senyum indah ia sunggingkan. Rasa tidak percaya merasuki hatinya. Ia tidak percaya bisa sampai pada titik ini.
“Tuhan, terimakasih telah mengirimkan mereka.”
“Tolong jaga Jhonatan, Ibu, dan juga paman Hanry."
Netra hijau itu terpejam mengingat mereka bertiga yang menyayanginya. Hanya tinggal mereka, maka ia akan sekuat tenaga menjaga dan mendoakannya. Situasinya saat ini tidak memungkinkannya untuk pergi menemui mereka. Jhonatan yang masih koma, ibu yang di luar negri sana, dan paman Henry yang entah kemana.
******
Farel menatap tajam Andres yang meringkuk kesakitan. Entah sudah berapa kali Andres masuk rmah sakit setelah mendapat serangan dari laki-laki bermata hitam itu.
“Angkat, bawa ke rumah sakit.”
Ricard yang mendengar perintah mutlak Farel mengangguk dengan cepat dan memberikan kode pada anak buahnya untuk membawa Andres.
“Arghhhh.” Farel menarik rambutnya.
Ricard meringis melihat tuanya yang frustasi. Entah mengapa ia merasa bingung bagaiamana harus bersikap. Tuanya tidak marah karena istrinya yang sudah hampir dua bulan tidak pulang, tapi marah ketika Raisya hilang tidak ada kabar.
“Kau, pergi! Tangani semua meeting hari ini.”
Helaan nafas dan wajah tertekan terlihat di wajah Ricard. Selalu seperti ini, ia akan menjadi sasaran empuk atasanya untuk menyelesaikan segala urusan kantor. Tapi ia bisa apa? Menolak? Jangan harap!
“Baik tuan.”
Farel menatap Ricard yang berjalan keluar. Netra hitamnya tertetup dengan nafas yang memburu. Pikiranya terlalu berantakan, semua hanya karena Raisya yang belum ditemukan.
“Kau, wanita sialan! Beraninya membuatku kehilangan fokus!” Farel menggertakkan gigi.
Tangan kekarnya meraih botol anggur yang masih tersegel. Engan sekali sentak tutp botol terbuka.
Gluk... Gluk... Gluk...
Farel menenggak habis anggur dalam botol itu secara langsung. Senyum kecut ia tunjukkkan mengingat hidupnya yang berantakan.Otaknya sibuk berpikir dimana tempat Raisya bersembunyi.
Seluruh tempat yang berpotensi besar menjadi tempat persembunyian Raisya kosong. Andres yang ditugaskan menjadi pengawal rahasia Raisya menjadi sasaran emepuknya. Setiap kabar buruk yang menyangkut Raisya, maka tangan kekarnya tidak akan tinggal diam untuk menghajar Andres.
Drt... Drt... Drt...
Suara gawai mengalihkan pikiran Farel dari Raisya sejenak, terutama melihat nama pemanggil yang entah mengapa sudah ia lupakan keberadaan dalam hidupnya. Salsha.
“Hallo.” Suara datar itu mengawali keheningan.
Hening, tidak ada suara dari sana membuat farel geram bukan main.
“Kenapa kau menelfon?” Farel bertanya dengan tidak sabar.
Masih hening, Farel ingin mengakhiri panggilan itu namun, terhenti dengan perkataan Salsaha.
“Apakah kau mencintaiku.”
Deg!
Tubuh Farel menegang mendengar pertanyaan Salsha. Entah mengapa ucapan yang dulu sering ia lontarkan kini terasa sulit. Seakan tenggorokan dan hatinya terkunci untuk mengungkapkan perasaanya. Apa yang terjadi?
“Jika kau menelfon hanya untuk mempertanyakan pertanyaan konyol, lebih baik kau matikan saja panggilan in!”
“ya, aku sudah tahu jawabanya. Ingat, aku mencintaimu Farel.”
Tut
Farel menatap gawainya yang sudah mati. Entah mengapa ia merasa bersalah setelah berkata dingin, tapi ia terlalu malas sekedar meminta maaf.
****
“Bagaiman?”
Salsha menatap Max yang hany megenakan handuk di belakanganya. Pertanyaan itu menyentil harga dirinya. Sikap Farel yang semakin dingin, ditambah kehangatan yang ditawarkan Max membuat hatinya goyah.
Max menyeringai melihat Salsha yang berwajah tegang. Sudah ia tebak, Farel tidak pernah mencintai Salsha, tapi Salsha terlalu terobsesi dengan sosok Farel. Laki-laki impotent yang sayangnya tampan dan kaya itu.
“Sudahlah, tinggalkan saja laki-laki seperti itu. Ceraikan dia, kemudian menikahlah denganku.” Max meraih bahu Salsha.
Salsha menatap lurus manik hitam Max, di sana ada pancaran cinta yang ia dambakan. Namun, pancaran cinta itu tidak berasal dari sosok yang ia harapkan. Apakah ia harus menertawakan nasibnya.
“Max, ingat kita hanya__”
“Ok, ok. Jangan lanjutkan perkatanmu. Aku faham apa yang akan kau katakan.”
Salsha menatap sendu Max yang berjalan menuju meja kecil, di atasnya ada pakaian yang sudah ia sediakan.
“Max! Apa yang kau lakukan.” Salsha menutup kedua matanya.
Max menyeringai melihat tingkah Salsha. Bagaimana bisa wanita itu menjerit melihat tubuh telanjangnya? Jika mengingat kelakuan wanita itu setiap malam, hal seperti itu tidak pantas ia tunjukkan.
“Kau bertingkah seakan tidak pernah melihat tubuhku saja. Hay, kau bahkan selalu menyentuhnya dan menatap penuh damba.” Max menunjuk benda di antar pahanya yang terkulai.
Wajah Salsha memerah mendengar penuturan Max. Bagaimana bisa pria di depannya ini tidak memiliki rasa malu sama sekali?
“Itu hal yang berbeda! Cepat kau pakai pakaianmu.”
Max menahan tawanya melihat Salsha yang pergi meninggalkan kamar mereka. Mereka sudah tinggal bersama sejak pertemuan menyedihkan itu. Bahkan Salsha hanya mengabari Farel lewat telfon, dan mengatakan jika ia harus pergi ke luar kota selam beberapa bulan.
Salsha melemparkan tubuhnya ke sofa, ia sandarkan punggung kakunya dan menengadahkan kepalnya. Perasaanya gundah, rasa cinta yang besar, bahkan sudah menyentuh titik obsesi membuatnya kehilangan logika. Lebih parah lagi tubuhnya yang selalu mendamba sentuhan membuat ia seakan mengingkari rasa cintanya sendiri.
“Aku seperti wanita munafik.” Gumam Salsha sebelum terhanyut dalam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Anisa Wihandari
Knapa farrel tdk menyuruh pengawal utk mengintai apa yg d lakukan salsha d blkng
2023-08-23
1
💜💜 Mrs. Azalia Kim 💜💜
baru sadar yaaa 😏
2023-01-26
0