Farel mendengar celoteh Salsha di dalam mobil. Senyum lembut terukir di wajah tampanya.
“Bagaiamana jika kita pergi Honymoon?” Salsha menatap Farel dengan penuh binar.
Farel terdiam mendengar ide Salsha, menurutnya ide itu tidak buruk.
“Baiklah. Kau mau kemana?” Farel berkata dengan mata tetap fokus pada jalanan.
Salsha tidak bisa menahan luapan rasa senang di hatinya. Segera ia kecup pipi Farel yang membuat Farel terperanjat namun, tetap tersenyum.
“Kau memang yang terbaik. Aku ingin pergi ke itali.” Salsha menatap Farel dengan penuh harap.
Farel tersenyum, anggukan kepala ia berikan sebagai jawaban. Lagi-lagi suara pekikakan bahagia Salsha terdengar memenuhi mobil itu.
Salsha tidak bisa menutupi senyum lebar di bibir manisnya. Ia berharap dengan ide honymoon kedua, membuat hubungan mereka semakin kuat dan langgeng.
Farel memberhentikan mobilnya tepat di depan kafe. Menengok kanan kiri, mengukur luas parkiran dan longgarnya tempat, segera ia jalankan mobilnya untuk parkir.
“Silahkan turun tuan putri.” Farel membuka pintu mobil untuk Salsha membuat Salsha tersipu malu.
“Farel, aku malu.” Salsha menutup wajahnya dengan kedua tanganya.
Farel tersenyum melihat Salsha yang menutup wajah dan tetap di dalam mobil. Dengan lembut ia meraih kedua tangan yang menutupi wajah Salsha yang sudah memerah. Ia terkikik geli.
“Sudah, jangan malu. Ayo kita makan siang bersama.” Farel menyodorkan lenganya dengan sedikit membungkuk.
Dengan wajah memerah, Salsha meraih tangan Farel dan berjalan. Mereka berdua berjalan dengan riang, bahkan sesekali terdengar suara cekikikan dari Salsha karena lelucon yang Farel lontarkan. Salsha bahagia, dan ia berharap kebahagian mereka bertahan selamanya.
“Silahkan.” Farel menarik kursi untuk Salsha. Lagi-lagi Salsha dibuat gemas dan tersipun dengan tingkah Farel. Bagaimana bisa cintanya tidak semakin kuat dengan Farel? Farel selalu menghormatinya dan membuat dia merasa menjadi ratu.
“Terimakasih.” Salsha tersenyum penuh haru.
Mereka memesan makanan faforit masing-masing. Tempat di lantai dua menjadi pilihan mereka, karena mereka membutuhkan tempat privasi. Tempat itu memiliki pembatas kaca di setiap sudut. Jika di luar kaca itu terlihat gelap, tapi tidak dari dalam. Pengunjung yang memesan ruangan itu dapat melihat pemandangan dari luar, bahkan bisa melihat dengan jelas aktifitas mereeka semua yang berada di luar.
“Sayang, coba ini.” Salsha menyodorkan satu sendok sifut.
Farel terdiam melihat sifut itu. Ia bukan alergi sifut, tapi ia tidak terlalu menyukai sifut, bahkan bisa di sebut jijik. Namun, untuk menyenangkan Salsha ia akan menahan rasa jijiknya.
Salsha tersenyum melihat Farel yang mengunyah sifut yang ia sodorkan. Senyumnya perlahan pudar ketika melihat kernyitan di dahi Farel ketika menelan sifut.
“Kau kenapa?” Salsha bertanya dengan nada khawatir melihat Farel yang tersiksa menelan sifut.
Farel berusaha keras menutupi wajah tersiksanya. Sungguh ia merasa menelan kotoran. Bahkan ia menahan perutnya yang begejolak ketika makanan itu mulai melintas dari tenggorokanya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya kurang suka sifut,” Farel berkata dengan canggung.
Salsha mengernyit mendengar penuturan Farel. Sejak kapan Farel tidak suka sifut? Seingatnya Farel termasuk pecinta seluruh makanan termasuk sifud.
“Bukanya kau pecinta sifut?” Salsha bertanya dengan hati-hati.
Farel yang berusaha menghilangkan rasa mualnya dengan meminum air putih berhenti seketika mendengar pernyataan Salsha. Sejak kapan ia suka dengan sifud?
“Apa maksudmu? Aku tidak pernah suka dengan sifud, dari dulu maupun sekarang! bukanya kau seharusnya sudah tahu.”
Atmosfir di ruangan itu berubah mencekam seketika. Salsha membeku mendengar nada tajam Farel. Otaknya sibuk mengingat, apa benar Farel tidak menyukai sifud.
“Bukanya waktu di sumbawa kau bilang suka sifud?” Salsha bergumam dengan lirih.
Farel menedengar gumaman Salsha, matanya menatap tajam ke arah gadis dengan netra hitam itu. Sejak kapan ia pernah ke sumbawa dengan Salsha? Bahkan waktu mereka liburan selama menikah atau pun sebelum menikah bisa di hitung dengan jari. Mengingat kesibukan mereka yang luar biasa padatnya.
“Sejak kapan kita pernah ke sumbawa?” Farel menyandarkan punggungnya ke kursi. Suara yang riang berubah menjadi datar, begitu pula tatapanya.
Salsha tergagap mendengar nada datar dari Farel. Alaram tanda bahaya berbunyi di kepalanya, ia yakin Farel sedang mode marah, dan ketika Farel marah itu bukanlah hal yang baik.
“Itu_” Salsha tidak bisa melanjutkan ucapanya. Mulutnya seakan terkunci mengingat fakta yang di ucapkan Farel. Mereka tidak pernah ke sumbawa.
“Jangan-jangan yang kau sebut pecinta sifud itu Max?”
Salsha menegang mendengar ucapan Farel. Ingatan tentang kebersamaannya dengan Max segera memenuhi otaknya. Tangan yang memegang sendok seketika terlepas, mengundang tanda tanya dan decihan dari Farel.
Farel dapat menebak jika ucapannya benar. Ia mengenal betul Salsha. Tidak perlu mendengar jawaban dari pertanyaanya ia segera tahu dari gelagat Salsha.
“Aku ke toilet dulu.” Farel bangkit meninggalkan Salsha yang menatap kepergianya dengan pandangan rumit.
Farel menatap pantulan wajahnya di kaca toilet. Ia tidak merasa cemburu dengan kebersamaan Salsha dengan Max, bahkan ia sudah melupakan penghianatan mereka berdua. Tapi entah mengapa ia merasa semua yang ia lakukan seakan sia-sia, terlebih usahanya untuk menelan makanan menjijikan itu.
Farel menyalakan keran, megambil airnya dengan kedua tangan besarnya dan meraup wajahnya dengan kasar. Setelah merasa segar Farel mengusap wajahnya dengan sapu tangan yang selalu ia simpan di saku jasnya. Menatap pantulan wajahnya sekali lagi, di rasa sudah sesuai segera ia beranjak pergi meninggalkan toilet.
Langkah tegasnya terhenti tiba-tiba. Netra coklatnya menata tajam sosok yang sangat ia kenal sedang berduan dengan laki-laki yang dulu sempat membuatnya uring-uringan. Raisya bersama laki-laki yag bersamanya di taman.
“Beraninya dia berduaan di belakangku.” Farel mendesis dan menatap tajam sosok di pojok kafe.
Farel memilih tempat untuk memantau kegiatan mereka berdua, bahkan Farel seakan melupakan Salsha yang menantinya dengan khawatir di ruang yang berbeda.
Tatapan Farel semakin tajam ketika melihat laki-laki itu dengan santainya mencubit pipi Raisya. Tangan Farel tergenggam erat, bahkan otot-ototnya menyembul keluar.
Farel berusaha beranjak untuk menemui mereka yang berada di sebrang sana. Langkahnya terhenti ketika mengingat ia sudah memutuskan untuk melepaskan Raisya. Kekalutan tercetak jelas di wajah tegasnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Matanya terus mengawasi gerak-gerik pasangan itu. Setiap suara tawa yang ditimbulkan oleh pasangan itu menambah rasa panas di dadanya.
“Permisi tuan.”
Farel mendengus, merasa terganggu dengan pelayan yang menyapanya itu. Ia tatap tajam pelayan perempuan dengan rambut yang di kuncir tinggi itu.
“Anda ingin memesan apa.” Pelayan itu berusaha menahan rasa takut melihat tatapan tajam dari Farel.
Farel menjilat bibir atasnya berusaha mengenyahkan rasa jengkelnya. Dengan helaan nafas ia menyebutkan pesanannya. Ia butuh sesuatu yang segar, agar otaknya tisak panas begitu pula dengan hatinya.
Matanya kembali menatap Raisya yang terlihat tertawa riang bersama laki-laki itu. Giginya bergemeletuk, otot lehernya menegang, dan wajanya memerah. Ia tidak bisa melepaskan Raisya, tak akan ia biarkan Raisya terbebas dari jeratanya dengan segampang itu.
Dengan sekali tegak Farel habiskan minumannya. Melihat Raisya yang beranjak pergi, ia juga megikutinya pergi meninggalkan kafe itu. Farel merogoh kantung jasnya dan meraih gawai.
“Sekali jal**g tetap jal**g. Pulang kerumah. Aku tarik kata-kata ku. Malam ini aku akan menemuimu, siap-siap untuk melayaniku.”
Farel mematikan sambungan telfonya tanpa menunggu jawaban dari sana. Langkah kakinya pergi meninggalkan lafe itu tanpa ragu lagi. Sudah ia putuskan untuk memiliki Raisya apa pun resikonya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Maria Magdalena Indarti
cemburu
2024-05-18
0
Riyamah Riyamah
apa enaknya jadi simpanan seperti burung dalam sangkar tertekan
2022-12-26
0
justagurl
*seafood
2022-06-01
0