Salsha menatap pintu kaca di depanya itu. Sudah sepuluh menit sejak Farel pergi ke toliet namun, tidak ada tanda-tanda ia akan kembali.
Ia merasa takut jika Farel kembali bersikap digin seperti kejadian sebelum ia pergi ke sumbawa. Dalam hati Salsha mengumpat keras, merasa bodoh telah melupakan kebiasaan Farel. Bagaimana bisa ia mengingat Max?
Kecemasannya semakin kuat setelah setengah jam lebih ia menunggu seakan sia-sia. Ia mencoba menghubungi nomer Farel, tapi ia selalu mendengar nada sibuk.
“Kau sedang menelfon siapa Farel?” Salsha menggigit bibirnya. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca, rasa malu, takut, kecewa bercampur menjadi satu. Ia tatap makanan di depanya yang sudah pasti mendingin. Bahkan tatapan penasaran dari pelayan yang berada di depan pintu semakin membuat suasana hatinya tidak tenang.
Ia lirik jam yang melingkar indah di tangan kirinya sekali lagi. Tepat jam 2, artinya Farel meninggalkanya tepat satu jam. Menahan air mata, Salsha beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
“Tunggu mbak.”
Panggilan itu menghentikan langkah Salsha yang berusaha meninggalkan ruangan itu, tanpa menimbulkan rasa penasaran dari orang-orang. Salsha menatap pelayan itu dengan alis terangkat sebelah.
Pelayan pria itu menelan ludh kasar. Rasa gugup karena bertemu dengan seorang model utama, sekaligu rasa takut karena tatapan tajam itu membuat nyalinya menciut. Tapi ia harus melakukan tugasnya.
“Maaf, makanan anda belum di bayar.”
Serasa jatuh tertimpa tangga, Salsha merasa nasibnya sungguh luar biasa. Bukan hanya ditinggal tanpa kejelasan, bahkan ia juga dipermalukan di depan banyak orang. Dapat ia lihat dari sudut matanya beberapa orang saling berbisik.
Tenggorokanya terasa tercekat, segera ia menelan ludah secara kasar. Dengan meraih sisa-sisa harga dirinya ia meraih tas kecil yang ia pegan, mengambil puluhan lembar uang berwarna merah yang membuat pelayan itu melototkan mata.
“Maaf, ini terlalu banyak.”
Salsha mengabaikan ucapan pelayan itu. Segera ia meninggalkan tempat itu dengan harga diri yang sudah terhempas entah kemana.
Salsha menatap jalanan yang sepi, ia mendesah melihat hp\_nya yang sudah kehabisan daya.
Tin... Tin..
Salsha menatap aneh mobil yang behenti di depanya. Ia merasa tidak asing dengan mobil hitam itu, tapi ia juga lupa siapa pemiliknya. Mengabaikan mobil aneh itu, ia berjalan dengan sepatu hak 12 senti.
“Hay.”
Salsha terdiam membeku mendengar suara itu. Suara yang sangat ia hindari. Bagaimana bisa pemilik suara itu sudah ada di jakarta? Dengan cepat ia ayunkan kakinya berusah menghindar.
Tarikan bahunya membuat langkah kakinya terhenti, bahkan tanpa sadar kakinya terkilir.
“Auch.” Salsha meringis merasakan perih di kakinya.
Sosok yang menariknya yang tak lain Max menatap Salsha khawatir. Namun, rasa khawatir itu seakan menguap melihat pakaian yang digunakan Salsha. Tanpa pikir panjang ia melepas jaket di tubuhnya dan memakaikan di tubuh Salsha. Salsha membeku menatap Max yang menutup tubuhnya dengan lembut.
“Sudah ku katakan berulang kali, jangan pakai pakaian kurang bahan.” Max menggeram.
Salsha terdiam menatap cara Max menutup tubuhnya. Hatinya terasa hangat, tapi tidak ada getaran yang ia rasakan ketika bersama Max seperti ia bersama Farel. Mengingat Farel membuat perasaanya berantakan.
Salsha terperanjat. Max mengangkat tubuhnya seperti pangeran yang mengangkat tubuh seorang putri.
“Kau! turunkan aku.” Salsha memberontak berusah terlepas dari rengkuhan Max.
Max menatap Salsha tajam. Bagiaman bisa ia membiarkan Salsha berjalan dengan kaki seperti itu. Tidak akan ia biarkan Salsha merasakan kesakitan selama masih ada dirinya.
“Max.” Salsha semakin memberontak melihat Max yang mengabaikan ucapanya. Ia hanya takut jika ada paparazi yang melihatnya seperti ini, akan ada skandal besar yang sudah pasti mencoreng pamornya dan menyert nama Farel. Ia tidak mau itu semua terjadi.
“Diamlah, suaramu menggangguku.” Max mendesis membuat Salsha berhenti memberintak.
Max menatap Salsha dengan wajah datarnya. Sungguh ia tidak ingin membuat Salsha terluka, baik karena fisiknya atau pun karena perkataanya. Ia mengatakn kata-kata seperti itu hanya ingin Salsha diam dan tidak memberontak lagi.
Max meletakkan tubuh Salsha di samping kemudi dengan hati-hati. Ia singkirkan rambut Salsha yang berantakan. Wajah sendu terlihat jelas di wajah cantik itu, membuat Max merasa bersalah.
“Maafkan aku.”
Salsha terperanjat mendengar permintaan maaf dari Max. Apa yang terjadi dengan laki-laki di depanya itu?
“Aku tidak maksud berkata kasar,” Max berucap dengan nada lembut.
Salsha akhirnya faham apa maksud dari permintaan maaf Max. Sungguh ia tidak sedih dengan ucapan Max, tapi ia diam karena membandingkan sifat Max dan Farel. Meskipun Farel perhatian, tapi ia merasa perhatian Farel seperti perhatian seorang saabat. Tidak seperti Max yang menatapnya dan memeperhatiknya dengan penuh cinta.
“Salsha?” Max semakin ketakutan melihat Salsha yang masih saja terdiam. Ia mengutuk sifat kerasnya.
“Tidak apa-apa. Terima kasih telah membantuku.”
Max beranjak ke kursi kemudi, mulai menjalankan mobilnya membawa Salsha menjauh dari kafe. Salsha menatap jalanan sendu, andaikan Farel bersikap seperti Max, ia akan menjadi wanita paling bahagia. Terlepas sifat bajingan Max yang menidurinya, Salsha sadar semua yang dilakukan Max karena rasa cintanya yang besar. Dan hal itu semakin membuat Salsha sedih, karena sampai kapan pun ia tidak akan bisa membalas perasaan Max. Cintanya hanya untuk Farel.
“Kau mau kemana sekarang?” Max menatap Salsha dengan sesekali melihat jalanan.
Salsha menatap lurus ke depan enggan menatap Max. Untuk bertemu Farel saat ini ia belum sanggup.
“Bawa aku ke rumah di jalan xxx”
Max menatap Salsha dengan alis menuki kebawah. Ia berfikir ada yang tidak beres dengan wanita itu. Tangannya dengan lembut mengusap rambut Salsha, membuat Salsha terperanjat dan menatapnya seakan bertanya.
“Kalau ada masalah kau bisa cerita.” Max tersenyum.
Salsha terenyuh melihat senyum itu. hatinya menghangat. Ia seakan mendapatakan tempat berteduh di kala badai menghantam. Tapi sekali lagi ia berusah menyingkirkan fikiran itu, ia harus membatasi intraksinya dengan Max, ia tidak ingin membrikan harapan untuk Max.
“Kenapa kau bersikpa seperti itu?” Sasha menatap lurus tepat di manik mata hitam itu.
Max mengernyit mendengar pertanyaan Salsha. Bagaiaman bisa ia mempertanyakan sikapnya?
“Hay, sudah sewajarnya aku bersikap seperti itu. Bukankah hubungan kita sudah lebih dari sekedar teman?”
Salsha semakin menegang mendengar penuturan Max. Ucapan itu mengingatkan malam panas yang mereka lewati selam di sumbawa. Salsha ketakuta, bahkan tanganya gemetar menyadari ia telah menghianati Farel.
“Lupakan semua yang terjadi di sumbawa,” Salsha berucap dengan tegas membuat Max menghentikan laju mobilnya.
“Apa maksudmu?”
“Aku bilang lupakan, anggap semua itu bukan apa-apa.”
“Kenapa kau bisa berkata seperti itu, setelah malam-malam panas itu aku sudah menganggap kau kekasihku, meskipun statusmu istri orang lain. Aku siap menjadi kekasih gelapmu.”
Salsha semakin kaget mendengar penuturan Max. Sebegitu besarkah rasa cinta Max, atau semua itu hanya obsesi?
“Ingat Max, kau bukan kekasihku. Hubungan kita waktu di Sumbawa hanya sekedar patner ranjang.” Salsha membuang muka tepat setalah mengatakan itu. Max menggeram marah, harga dirinya terluka. Jika seperti itu yang dia inginkan, akan ia tunjukan apa itu patner ranjang sesungguhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
💜💜 Mrs. Azalia Kim 💜💜
seperti nya mereka berdua saling mencintai.... bukan sekedar partner ranjang semata...
2023-01-26
0
💜💜 Mrs. Azalia Kim 💜💜
Sephia
2023-01-26
0