"Apa perlu kita ke sana bos?" Tanya Ramon menunduk sedikit sambil berbisik.
"Nggam usah, mereka akan menertawakan Gw duduk di kursi roda. Ini sudah cukup membuktikan kalau dia selingkuh dan memilih pria itu dari pada Gw. Lebih baik Lo cari tahu siapa laki-laki yang bersamanya dan sejak kapan mereka memiliki hubungan." Tegas Zein dengan wajah yang memerah karena emosi.
"Baik bos! Gw akan berikan laporannya secepatnya." Ujar Ramon ia mengambil ponselnya lalu mengirim pesan pada seseorang.
"Siapa yang kalian lihat?" Sela Alika melihat kearah dinding kaca. Namun tidak melihat apapun di sana karena Monika dan pria itu telah masuk ke dalam salah satu toko.
"Ayo pulang, bukan urusan kamu. Kamu sudah selesai kan?" Tanya Zein.
"Bagaimana mau selesai? aku nggak tahu pin kartu kamu berapa?" Alika menyerahkan kartu black card milik Zein.
Zein mengusap wajahnya dengan kasar. Ia lupa memberi tahu Alika pin kartunya. "Ramon, selesaikan!" Perintah Zein.
Ramon mengambil kartu dari tangan Alika lalu menyelesaikan pembayarannya.
Setelah urusan di kasir selesai, mereka langsung pulang. Zein tidak suka dengan suasana ramai apalagi itu Mall. Kebanyakan mata pengunjung melihat kearahnya seolah mengejek. Bahkan ada yang berani terang-terangan merendahkannya.
"Itukan Tuan Zein? kenapa dia duduk di kursi roda?" Ujar salah satu pengunjung yang mengenal Zein tapi tidak berani mendekat.
"Gantengsih tapi sayang cacat." Ujar pengunjung Mall yang lain.
"Percuma saja ganteng jika kaki lumpuh, tidak ada gunanya."
"Biarpun Dia banyak uang, aku nggak akan mau dengan pria cacat."
Itulah yang Zein sempat dengar begitupun dengan Alika dan Ramon.
"Nggak usah di dengerin omongan orang. Bukan mereka kok yang ngasih kita makan." Ungkap Alika sambil berjalan di samping Zein. Ia tahu Zein merasa tidak enak mendengar ucapan mereka.
"Jangan sok tau apa yang aku pikirkan. sedikitpun Aku tidak perduli dengan apa yang mereka katakan." Ujar Zein dengan wajah datarnya.
"Ihh, Dasar batu karang! dibelain malah nyindir." Gumam Alika tapi masih bisa di dengar oleh Zein.
Zein hanya diam mendengar Alika, pikirannya mengingat penghianatan Monika. Selama ini dia yang membantu Monika mewujudkan impiannya. Monika menjadi brand ambasador berbagai produk juga karena campur tangan Zein.
Saat di lobi Mall, Ramon membuka pintu mobil untuk Zein dan Alika. Ramon mengendarai mobil kembali ke Mansion.
Drrtt.. drrtt.. drrtt...
Zein mengangkat ponselnya yang berbunyi di saku celana panjangnya. Ia mengambil lalu menggeser tombol hijau kemudian memperlihatkan wajah Feronica.
"Halo Mah." Jawab Zein.
"Zein, kamu dan Alika ke butik Tante Inggrid ya? Alika harus mencoba gaunnya terlebih dulu, takutnya nggak cocok." Ujar Feronica.
Zein melirik Alika sekilas, gadis itu sedang asik bermain dengan ponselnya.
"Hanya Alika saja kan Mah? Mama kan tau ukuran aku." Tanya Zein.
"Kalau bisa berdua sayang? kamu ini gimana sih! Kalian harus pilih gaun yang seperti apa yang akan kalian pakai. Sudah, sekarang juga kamu ke sini. Mama tunggu." Ujar Feronica lalu menutup sambungan teleponnya.
"Ramon, Kita ke butik Tante Inggrid." Perintah Zein.
"Baik bos." Sahut Ramon lalu memutar stir mobil ke arah butik.
Zein menghela napas, tidak bisakah dia bersedih dan menangis untuk sesaat? Ingin rasanya menumpahkan segala kesedihannya saat itu juga akibat perselingkuhan Monika. Ingin menangis namun tidak mungkin karena dia seorang laki-laki.
Ia bersandar di kursi untuk menenangkan diri, memejamkan mata sambil menekan pelipisnya berkali-kali. Hatinya sangat sakit, cinta yang terlalu besar untuk Monika membuatnya hancur. Semua perhatian yang dia berikan pada Monika ternyata sia-sia. Ia tersenyum miris meratapi akhir percintaannya. Di saat Dia berencana untuk membatalkan pertunangannya dengan Alika saat Monika kembali, ternyata Tuhan memiliki rencana lain dengan menunjukkan perselingkuhan Monika. Ia menggerakkan kepalanya mencari posisi yang nyaman, hingga kenyamanan itu dia dapat di pundak Alika.
"Kamu kenapa?" Tanya Alika.
"Biarkan seperti ini sebentar." Lirih Zein tanpa membuka mata.
"Dia kenapa ya? apa dia sedang mabuk perjalanan? ah, mana mungkin? dia kan sering naik mobil. Mungkin dia hanya kelelahan. Tapi kenapa bahuku yang jadi sandaran? kan ada kursi yang empuk." Batin Alika.
"Sandar di bahuku tidak gratis ya?" Ujar Alika agar Zein bangun tapi Zein justru tidak bergerak.
"Aku akan bayar." Lirih Zein hingga beberapa menit kemudian Ia tertidur.
"Ihh, Dia malah tidur." Kesal Alika saat kepala Zein hampir jatuh.
"Ramon, bos kamu kenapa? apa Dia sakit?" Tanya Alika.
Ramon melirik ke kaca spion melihat Zein sedang bersandar di pundak Alika sambil tertidur.
"Mungkin lagi patah hati Nona." Jawab Ramon.
"Patah hati kenapa?" Tanya Alika.
"Maaf Nona, saya tidak bisa menjelaskannya. Tanya pada Tuan Zein saja jika ingin tahu." Jawab Ramon sambil fokus melihat ke arah jalanan.
"Mana mungkin dia mengatakan padaku? kamu sama saja dengan bosmu, pelit bicara." Kesal Alika.
Ramon hanya diam, ia takut Zein bangun dan marah padanya. Selama Ia bekerja pada Zein, ia tidak pernah membicarakan masalah pribadi bosnya dengan orang lain. Bahkan dengan kedua orang tua Zein sekalipun Ramon tetap akan tutup mulut.
"Masa sih patah hati? Mana mungkin orang patah hati bisa tidur dengan nyenyak." Gumam Alika membiarkan Zein tertidur.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di butik. Alika membangunkan Zein, tapi Zein tidak mau bergerak. Alika menepuk pipi Zein dan Zein tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Monika aku mencintaimu." Zein mengigau menyebut nama Monika membuat kening Alika langsung berkerut.
"Eh, bangun! Aku bukan Monika." Kesal Alika karena tangannya masih digenggam erat oleh Zein. Alika menarik tangannya hingga membuat Zein terbangun.
"Apa yang kamu lakukan? jangan macam-macam denganku!" Bentak Zein.
"Siapa yang macam-macam denganmu? bukannya kamu yang macam-macam denganku? bangun dan sadar! kita sudah sampai di butik. Pundak aku pegel dan tanganku sakit karena ulahmu." Kesal Alika langsung keluar dari dalam mobil karena Ramon sudah membuka pintu untuknya.
Setelah Alika keluar, Ramon membantu Zein untuk pindah di kursi rodanya.
"Ramon, Dia kenapa?" Bisik Zein.
"Lo tidur bersandar di pundaknya dan menggenggam tangannya." Jawab Ramon Jujur.
"Masa sih?" Zein mengernyitkan keningnya tidak percaya.
Ramon hanya mengangguk lalu mendorong Zein masuk ke dalam butik bersama Alika.
"Kalian sudah sampai? sini! Liat gaun yang disana, kalian suka yang mana?" Tanya Feronica.
Alika memperhatikan gaun satu persatuan dengan teliti. Pilihannya jatuh pada gaun berwarna putih tanpa lengan.
"Yang ini aja Tante, simpel dan elegan." Ujar Alika.
"Cobain dulu sayang, biar Zein yang nilai bagus atau tidak." Ujar Feronica, dia mulai menyukai Alika karena sifatnya yang penurut.
Alika masuk ke dalam ruang ganti di bantu dengan staf butik. Setelah selesai ia keluar dengan perlahan ia melangkah mendekati Zein dan Feronica yang duduk di sofa.
"Gimana Tante, bangun nggak?" Tanya Alika.
"Cantik banget, pas di tubuh kamu." Puji Feronica.
"Zein!" Panggil Feronica.
"Ia Mah." Jawab Zein masih sibuk mengirim pesan lewat ponselnya.
"Zein liat Alika dulu, cantik nggak?" Kesal Feronica ia mengambil ponsel dari tangan Zein.
Zein mengalihkan pandangannya. Netra hitam Zein yang tajam langsung menatap Alika dari atas ke bawah, lalu ke atas kembali. Tatapan mereka bertemu seolah waktu berhenti. Wajah Alika merona seiring tatapan Zein yang tidak berkedip manatapnya. Zein mematung tidak percaya, calon istrinya ternyata sangat cantik dengan gaun yang dipakainya.
"Cantik kan Zein?" Tanya Feronika kembali.
.
.
.
Bersambung...
Sahabat Author yang baik ❤️
Jika kalian suka dengan cerita ini, Jangan lupa, Like, Komen, Hadiah, Dukungan dan Votenya ya! 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Renireni Reni
visualnya kakk
2022-10-04
0
putrie
cerita'y bagus kirain ma2h'y zein jahat ternyata baik cm ga suka dandanan alika yg seksi itu hal wajar....
2022-04-03
0
kky🌹
bukan austin thor
2022-03-10
2