Nafas Alice tersenggal-senggal. Detak jantungnya tidak seirama, dan keringat terus bercucuran bagai arus air. Namun saat mencapai ke aula pemisah jurusan, Alice dapat duduk dengan tenang disalah satu bangku yang ada. "Wah, hampir saja!" Keluhnya dengan sangat keras tanpa menghiraukan apapun disekitarnya.
"Iya, aku tidak tahu akan diapakan lagi jika bertemu. Apakah bersihin atap?" Tawa para Trio lepas seketika saat Fumika membuat lelucon receh itu. Namun ada satu orang yang tidak bergeming, bahkan dia menyela. "Tolong, jangan mengejek Bu Youki." Ucap Naoki dengan nada penuh penekanan.
Tentu sebagai korban Bu Youki, mereka kebingungan. Apa baiknya guru yang menyiksa muridnya dihari pertama masuk?
Raut muka tidak setuju dapat Naoki liat. Diapun sadar bu Youki yang mereka lihat tidak sama dengan bu Youki setahun yang lalu. Naoki pun pasrah dengan keadaan, namun ucapan Alice memberikannya sedikit cahaya. "Maaf, kami memang tidak tahu apa-apa. Jadi hanya melihat 1 sisi saja."
Permintaan maaf itu kemudian diikuti oleh Eliz dan Fumika. Namun Naoki menolak, "Yang seharusnya diberi maaf adalah Bu Youki. Bukan aku." Setidaknya ada sedikit pengharapan disini.
"Naoki-San, waktu masuk masih lama. Ada cerita yang bisa kau sampaikan sebelum masuk?" Fumika kembali sebagai pencari topik. Dan karena Fumika telah menyadari jika Naoki lebih tahu sekolah ini dari mereka, dia menggunakan kesempatan ini untuk mencari petunjuk baru. Alice dan Eliz yang baru mengetahui niat Fumika mendukungnya. "Iya, sepertinya kau tahu penyebab Bu Youki seperti ini. Beri tahu tahu kami, please." Eliz memberi dukungan agar Naoki bercerita.
Dan Naoki dengan ringan menceritakan kepada mereka dengan syarat jangan disebarkan. "Tapi cepat atau lambat semua akan tahu." Alice dengan nada polosnya membantah. "Yah tidak secepat ini." Naoki tersenyum miring.
Naoki pun mulai bercerita dari awal. Namun dia berbohong saat bilang "Aku tahu ini dari teman lain." Padahal dia sendiri yang pernah mengalaminya. Bagaimana nyaman-nya Bu Youki mengajar Bahasa Jepang dulu.
"Bu Youki ramah dengan murid-muridnya. Dia sangat menyayangi mereka seperti anaknya sendiri." Begitulah penjelasannya. "Namun setelah insiden kematian Assasin Basket, Bu Youki menjadi depresi. 'Teman'-ku yang menjenguknya dirumah sakit mendapat pesan dari Bu Youki langsung. Katanya beliau berkata padanya bahwa pembunuhnya adalah Pak Tanaka."
Dari sini, para Trio terteguh. Mereka akhirnya mendapat nama tersangka yang perlu mereka periksa. Namun hal ini harus disertai alasan, gumam Fumika dalam hati. "Kalau boleh tahu, Pak Tanaka yang seperti apa dan kenapa dia disebut sebagai si tersangka?" Tanya Fumika waspada dengan situasi.
Dia tau bahwa para siswa yang berlalu lalang ini tidak akan menggubris pembicaraan mereka. Namun mereka harus tetap waspada karena ancaman Pureya' selalu datang mengintai walau mereka berbicara pelan sekalipun.
Akhirnya Naoki merespon, namun dia merasa kurang percaya dengan apa yang dia ketahui. "Pak Tanaka adalah guru Sosial, menggunakan kacamata dan terlihat galak. Beliau adalah wakil kepala sekolah."
"Kata bu Youki, beliau membicarakan rencana pembunuhan sang Assasin sebelum insiden itu terjadi. Dan kebetulan Bu Youki sedang berjalan digudang yang sepi saat Pak Tanaka sedang menelepon disisi lainnya. Misalnya Pak Tanaka 'membicarakannya' berarti pelakunya ada 2 orang."
Dari awal memang kasus ini adalah kasus yang cukup pelik. Itu sebabnya Fumika selalu membawa buku note setiap waktu untuk berjaga-jaga. Kemampuan ingatan yang tinggi adalah keuntungan ke-2 baginya. "Berarti pelaku yang kita cari ada 2 orang."
Naoki setuju dengan Fumika. Kemudian menambahkan, "Kemudian insiden ke 2, ke 3, dan ke 4 sama, Bu Youki beranggapan Pak Tanaka pelakunya. Dan karena insiden berturut-turut ini, penyakitnya jadi parah." Para Trio akhirnya bisa memaklumi kelakuan aneh guru mereka setelah Naoki menjelaskan.
"Dia sakit Bipolar, bukan?" Eliz menebak. Naoki walau terkejut, namun kemudian mengangguk pelan.
"Iya, darimana kau tau?"
"Aku punya paman jauh yang punya gejala yang sama seperti Bu Youki. Kadang-kadang bertindak sangat kasar walaupun dia paman yang baik. Lagipula kejadian traumatis itu pasti menimbulkan luka dalam."
Alice pun terkekeh kecil, "Iya, seperti yang di cap Skizofernia karena punya teman 'khayalan'. Benar-benar traumatis."
Alice menyindir. Dia merasakan perasaan yang sama dengan Bu Youki karena mereka berdua berasa diposisi yang sama. Tidak ada yang mempercayai mereka. Bedanya Alice tidak sakit jiwa sungguhan.
"Hah? Siapa itu?" Naoki dengan polosnya menanyakan sesuatu yang sensitif. Alice menghela nafas berat. Gravitasi seperti menarik tubuhnya turun dan sekarang kepalanya bagai menyentuh lantai. Dengan malasnya dia menjawab singkat, "Seseorang." Fumika dan Eliz mengerti maksud Alice, jadi mereka diam.
Naoki semakin kebingungan dengan jawaban Alice, namun dia memilih mengabaikannya karena ada masalah yang lebih penting. "Jadi misi kita kali ini adalah mencari Pak Tanaka dan mengungkap kematian Sang Assasin di Lapangan Basket." Ucap Naoki menjelaskan tugas mereka.
Trio serempak mengangguk mantap. Sebelum akhirnya mereka bubar oleh bel masuk, Fumika bertanya untuk terakhir kalinya, "Hey Naoki-Kun, apa kau kenal seseorang yang patut kita tanyai?"
Naoki belum berdiri dari bangkunya. Maka sambil mendongakan pandangan menatap para Trio, Naiko berkata, "Aku punya teman. Alice masih ingat tidak? 2 perempuan saat kita bertemu, aku akan meminta salah satunya untuk menemui kalian setelah kelas selesai."
Baiklah. Untuk menyelesaikan misi, Trio harus bertemu dengan si Perempuan ini. Tapi mereka mengeluh karena Naoki tidak memberi tahu siapa namanya. "Kerahasiaan narasumber harus dijunjung tinggi!" Bela Naoki saat Fumika beradu mulut dengannya. Lelah melihat, Alice dan Elizabeth memisahkan mereka.
Akhirnya mereka sepakat dengan setengah hati dan bubar ketempat masing-masing. Naiko menatap mereka dari kejauhan sampai pudar oleh kerumunan orang. Selama itu dia masih dibangkunya karena malas berpindah tempat. "Hah, ini akan menjadi hari yang berat." Ucapnya dalam hati.
🥀🕸️🥀
Ibu yang baik seharusnya memberi dukungan. Paling memahami sifat sang anak. Dan selalu ada disamping anaknya.
Namun itu hanyalah bayangan belaka saat aku diantar kesebuah gedung besar berwarna monotom, abu-abu membosankan dengan pintu dan jendela kaca-nya.
Bau didalamnya menyengat seperti ada antiseptik dan muntahan. Banyak terdengar suara aneh dan jeritan dimana-mana. Aku tidak tahan, semua ini dapat membuat kepalaku pecah. Apalagi setelah tanpa sengaja mendengar lagu aneh diradio mobil Uncle Steve. "Ah, kok lagu ini masih ada di radio? Bikin merinding saja." Gerutu Uncle Steve saat menyetir mobil.
"Sunday is gloomy
My hours are slumberless
Dearest the shadow
I live with are numberless
Little white flower
Will never awake you..."
Lagu diradio teriang dalam ingatanku. Aku ingin cepat melupakannya, tapi seperti disisi lain aku butuh hiburan untuk melewati cobaan mengerikan ini. Akhirnya aku berhasil menyanyikannya walau terbatah-batah. "Little white flower... Will never awake you..."
Disaat itu, tiba-tiba aku menemukan mimpi buruk nyataku. "Tidak. Okaa-san, mereka datang lagi." Aku merinding. Tubuhku gemetar hebat diiringi keringat dingin. Sangat ketakutan, bahkan dengan apa yang aku anggap khayalan.
"Hiks..., Alicia tidak ingin disini." Gedung besar dengan aura tidak baik ini, tak lain adalah rumah sakit jiwa. Tempat permulaan teror-Ku yang nyata.
☁️🏥☁️
Setelah cek-up dimeja resepsionis, aku yang ditemani oleh Okaa-san dan Uncle Steve harus menunggu beberapa saat dibangku koridor untuk dipanggil dokter.
Selama itu, aku merasakan sesak didada. Rasanya paru-paruku diremas dari dalam. Sakit.
Aku mengeluh pada Okaa-san, namun beliau hanya berkata, "Sukosi maxtu te kudasai(Tolong tunggu sebentar)!" Aku kembali merengek kepada Uncle Steve, namun Uncle Steve sedang memainkan HP-nya. Great, semua mengabaikanku.
Setelah seorang pasien lainnya pergi dari ruang pskiater dengan wajah kusut, seorang perawat memanggil namaku. "Alice Yamada!" Suaranya melengking hingga Okaa-san tersentak seketika.
Setelah namaku terpanggil, Okaa-san dan Uncle Steve memegang tanganku bersamaan dengan Okaa-san dikananku dan Uncle Steve dikiriku. "Ayo Alice." Ucap Okaa-san tiba-tiba setelah sekian lama mendiamkanku.
Ruangan yang katanya ruang pskiater ini terlihat unik. Jika kita melihat dari depan pintu terdapat meja hitam dipojok tengah dengan lemari kayu coklat dikanannya. Banyak folder, kertas, dan buku dimana-mana selain dimeja bundar ditengah ruangan. Ada kursi panjang berwarna merah retro disebelah kiri. Cat ruangannya putih dengan lantai keramik abu-abu yang ditutupi karpet berbulu. Seperti ruang psikiater didalam film.
Kemudian seorang pria paruh baya mendekati kami. Dia meminta aku untuk berbaring dikursi panjang berwarna retro itu dan menceritakan masalahku. "Baiklah, namamu Alicia benar 'kan? Bisa kau ceritakan tentang temanmu?" Pria dengan nama Mr. Lee ini bertanya tentang si Ex-Friend ku. Karena terlalu tiba-tiba aku menjadi gugup, apalagi saat Okaa-San dan Uncle Steve dipersilahkan keluar dari ruangan.
"Tidak apa-apa Alicia, santai saja." Kata-kata Mr. Lee menenangkanku dari kecemasan. Jadi aku menarik nafas dalam-dalan, lalu mengeluarkannya. Bersiap untuk bercerita. "Jadi namanya Mandora. Dia temanku dulu yang suka bermain di London Bridge karena rumahnya dihancurkan oleh orang-orang jahat." Pandangan Mr. Lee naik turun dari aku lalu ke buku tulisnya.
👓🗨️👓
*Ck*lek, pintu ruang pskiater akhirnya dibuka setelah setengah jam aku bercerita tentang Mandora. Dan dalam setengah jam itu Mr. Lee memberikan saran-sarannya untukku dengan harapan aku bisa melupakan Mandora.
"Mandora itu tidak nyata Alicia.",
"Manusia lebih kuat dari apapun.",
"Berpikirlah secara logis, jangan biarkan emosi mengendalikanmu"
Beberapa saran dari Mr. Lee. Aku hanya mengangguk dan mendengarkan dengan seksama. Entahlah, hanya ini yang bisa aku lakukan.
Setelah keluar dan bertemu kembali dengan Okaa-san dan Uncle Steva, Mr. Lee meminta aku untuk pergi sebentar agar mereka bertiga bisa 'berbicara'. Namun tentu saja aku tidak akan pergi jauh-jauh karena ingin mendengar apa yang mereka bicarakan. Jadi aku pergi dari mereka dan saat mereka fokus untuk berbicara, aku kembali lagi dengan bersembunyi dibalik pot yang besar. Untung saja suara mereka terdengar jelas ditelingaku.
"Diumur Alicia memang banyak yang punya teman khayalan." Ucap Mr. Lee membuka percakapan. "Biasanya disebabkan masalah sosial biasa saat anak-anak tidak bisa berteman dan sendirian. Saya sarankan memberi perhatian lebih terhadap Alicia terlebih lagi dia adalah anak tunggal. Mungkin lama-kelamaan teman khayalan-nya akan hilang."
Okaa-san mengangguk. Namun Uncle Steve terlihat tidak setuju. "Mr. Lee, ini tidak masuk akal. Alice bisa berteman seperti biasa, bahkan dia punya 4 sahabat dari kecil. Perhatian dan cinta Jack dan Akiko cukup untuk membuatnya jadi gadis mandiri. Tapi bagaimana dia bisa punya teman khayalan se-'nyata' ini?"
Uncle Steve seperti tidak percaya dengan apa yang Mr. Lee katakan. Mereka pun mulai beradu argumen sampai akhirnya Okaa-san menyeru Uncle Steve. "Sudahlah Steve, masalah ini kita akan pikirkan lagi." Uncle Steve juga terlihat lelah berbicara panjang lebar dengan akhir yang tidak menentu. Jadi dia meng-iya-kan ucapan Okaa-san.
Kemudian namaku dipanggil kembali untuk mendekat. Jadi aku berbalik pergi dengan merangkak dari pot besar ke tikungan. Kemudian menghampiri mereka kembali seperti tidak ada apa-apa. Ya, tidak ada apa-apa. "Dari tanda-tandanya, Alicia ini mengidap Skizofernia." Ucapan Mr. Lee yang tiba-tiba kembali mengejutkanku.
Dan dari sinilah aku harus hidup dengan label buruk.
[To Be Continue!] 🍵
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments