Sampailah ke kamar yang aman. Karena masih hari pertama sekolah, kita diperbolehkan istirahat sampai besok. Jadi banyak waktu luang di jam 11 siang ini.
Biasanya dengan kesempatan ini aku merapihkan kamar, mengerjakan tugas, atau mempersiapkan perlengkapan hidupku. Tapi bayangan itu sirna tatkala Fumika menyampaikan sebuah pengumuman.
"Jadi, apa aku bisa percaya kalian?" Fumika mengintrogasi aku dan Eliz yang duduk melingkar dikarpet kamar. Sepertinya memeriksa kalau kita tidak akan menggosipkan pembicaraan ini diluar kamar atau mengecek kalau kita bukan Pureya' yang menyamar.
Sontak aku dan Eliz menjawab, "Tentu saja!" Posisi Fumika berubah seperti seorang guru KungFu yang akan memberikan pencerahan kepada muridnya. Atau setidaknya, begitu.
"Baiklah aku akan menjelaskannya." Ucapnya sambil mengambil sebuah buku note abu-abu dari tas kecilnya. Fumika mulai membuka halaman demi halaman sampai pada bagian yang dia rasa tepat. Maka dia mulai bercerita. "Karena aku menulis intinya, penjelasan aku bisa kurang jelas. Tapi ini dia garis besarnya."
"Tepat 1 tahun yang lalu, ada pembunuhan mengerikan yang terjadi disekolah ini. Tersangkanya belum tertangkap. Dan dilihat dari cara dia memperlalukan korban-korbannya, dia Psikopat!" Eliz mulai bergidik. Dia meremas tanganku dan mendekatkan diri kepadaku. Sedangkan Fumika masih lanjut membuka lembaran Note-nya.
"Dia membunuh 4 murid disekolah ini ditempat, waktu dan dengan perlakuan yang berbeda.
Pertama, perempuan. Mulut dan matanya dijahit sedangkan daun telinganya dipotong. Tergeletak begitu saja dilapangan basket, tanggal 6 Maret.
Kedua, masih perempuan, kepalanya terpenggal dan dipisahkan. Ditemukan pada kamar yang pernah aku tanyakan kak Enji, kamar terkutuk. Jenazah tubuhnya pertama kali ditemukan di gudang taman, tanggal 16 Juni.
Ketiga, laki-laki. Banyak ditemukan luka tusukan dipunggung dan usus terbuai keluar. Di ruang Lab IPA lantai 1, tanggal 26 September.
Keempat, masih laki-laki. Disekitar matanya tersiram air keras dan tangan kanannya patah. Ditemukan dikamar terkutuk, tanggal 6 Desember."
Mendengar penjelasan Fumika lebih seram daripada menonton film horor tengah malam. Bahkan dijelaskan sedetil - detilnya. Eliz hampir muntah dan kepalaku pusing.
"Otau - san sedang menyelidiki kasus ini. Jadi, aku berinisiatif membantunya. Tapi aku tidak mau ambil resiko karena sendirian. Jadi, apakah kalian mau ikut?"
"No, thank you." Eliz dan aku kompak menolak.
"Lagipula kenapa kau mempercayai kami dalam kasus 'ini'? Bisa jadi kami pembunuhnya 'kan?" Eliz yang menyadari suatu kejanggalan berkomentar. Fumika menatap intens Eliz, menyilangkan lengannya dan menundukan pandangan, bermaksud bergaya seperti dektektif hebat yang akan berargumen.
And then, "Nona Eliz, tidak 'kah anda memperhatikan? Kasus ini terjadi 1 tahun yang lalu. Tepat saat kita belum ada disekolah ini. Saat kalian belum berada di negeri ini. Lagipula, perjalanan pulang-pergi dari Eropa ke Asia itu mahal. Melintas benua, loh. Memangnya kalian mau datang ke Jepang untuk bunuh orang yang 'mungkin' kalian kenal? Kurang kerjaan!"
Benar juga penjelasannya. Kenapa datang ke Jepang cuma untuk bunuh orang? Lebih baik aku Traveling sambil vloging, haha.
"Jadi please, bantuin aku. Aku pingin bantu Otau - san, kasus ini sulit banget! Aku butuh teman!" Fumika membungkuk untuk memohon. Sepertinya memecahkan kasus ini sangat berarti baginya, terlebih lagi dia sendiri yang berinisiatif. Aku jadi teringat sesuatu.
🍁🍃🍁
" Aku ingin bantuin Dad!"
Alice kecil memandangi Jack penuh harapan. Dirinya yang sedang mengangkat sekotak kardus menyadari keberadaan anaknya yang tiba-tiba datang sedikit kaget.
Jack Henkins, biasa dipanggil Jack, Sayang, maupun Daddy, mendekati Alicia kecil dengan senyuman khasnya. "Jangan Alicia, kardusnya berat." Meski Jack berkata begitu, Alice mewarisi keras kepala Akiko. "Tapi aku ingin bantu!"
Melihat tingkah putrinya, Jack membungkuk untuk menghadapi Alice yang masih pendek. Dia mengelus lembut ramput pirangnya sambil mengatakan, "Baiklah dasar stubborn. Bagaimana kalo..." Jack diam sejenak.
"SEMANGATIN DADDY!" Jack mengangkat tinggi tinggi Alice hingga kakinya melayang. "Hahaha," tawa Alice geli.
Mereka hanya berdua saja dalam garasi, tertawa gembira tanpa mempedulikan dunia luar. Dunia seperti milik mereka. Hanya milik seorang ayah dan putri satu-satunya yang dia cintai.
📖🔎🕯️
"Kumohon! Bantu aku!" Fumika masih memohon. Eliz sudah memakai kode ekspresi enggan menerima permohonan 'bunuh diri' ini. Kalo aku? Aku masih berpikir, sampai akhirnya aku memutuskan.
"Oke, kita ikut." Sontak jawaban aku dibalas pelototan tajam oleh Eliz dan senyum haru Fumika. "Apa katamu? Kau sudah gila?!" Ucap Eliz marah. Namun Fumika berterima kasih, "Arigato (Terima kasih) banyak Alice!"
Eliz goncangan tubuhku, dia ingin sebuah penjelasan dariku. Kemudian aku akhirnya menjelaskan, walau sebagian masih ragu. "Eliz, Aku hanya merasa Fumika membutuhkan seseorang untuk membantunya. Lagipula sedikit kasus mungkin bisa membuat kehidupan disekolah ini sedikit menarik."
Eliz masih tidak puas dengan keteranganku. Dia melipat tangannya dan mendekatiku. Sedetik kemudian dia mengatakan, "Alice, are this is about your Dad?". Aku terkejut, tapi aku tetap membalasnya dengan keraguan, "Maybe?"
"Haaah, baiklah. Aku ikut juga." Eliz mengeluarkan nafas kasar. Hatinya berat menerima, tapi dia tak bisa menolak keinginan sahabatnya yang cantik ini. Hoho.
"Jadi, bagaimana rencana kita?" Aku memulai pembicaraan rencana kita. Fumika yang tampak semangat, menjelaskan. "Jadi, kita akan masuk ke kamar terkutuk itu. kamarnya bernomer 21, bagian gedung asrama laki-laki. Karena berada digedung lelaki, kita harus memakai pakaian tertutup dan yang terpenting jangan pakai rok."
Aku tidak masalah dengan bagian dilarang memakai rok, tapi apa Eliz tak keberatan?
Aku hanya melihat wajah Eliz menahan emosi. Walau dia memiliki sifat Over Feminim, dia pasti tau resiko memakai rok digedung laki-laki. Bukan hanya ketahuan perempuan sebelum masuk, tapi jika misalnya ada laki-laki 'aneh' berbahaya juga.
Jadi, kita akan berganti pakaian dengan baju penyamaran kita.
🦋🐛🦋
Aku tidak habis pikir jika kita bisa sampai disini. Setelah melewati banyak rintangan, seperti gedung laki-laki yang ada disebelah gedung perempuan, kamar terkutuk yang ternyata dilantai 4, dan lautan lelaki dengan segala aktivitasnya menambah kegugupan kami. Tapi, akhirnya kita berhasil berada didepan pintu kamar terkutuk nomer 21.
Karena Fumika berpesan memakai baju tertutup, jadi,
aku(Alice), memakai penyamaran hoddie biru langit dan celana jeans 3/4, rambut panjangku sengaja diikat dan dimasukan kedalam hoddie. Aku juga membawa tas selempang untuk berjaga-jaga,
Elizabeth, mencepol rambut dan menutupinya dengan memakai topi pinjaman Fumika dengan mural Top 1, sweeter warna cream dengan bertuliskan Coklat Bar, dan celana hitam semata kaki,
Fumika, mengkunciri rambut belakangnya dan menutupinya dengan topi keduanya bermural Rock n Roll. Memakai T-shirt putih polos ditimpal dengan jaket coklat tua dan celana training warna abu abu.
Sekarang, kita sedang memikirkan cara masuk kekamar karena garis polisi yang menghalangi. Saat aku sedang berpikir mengambil gunting, Fumika sudah cepat bereaksi dengan merobek garis polisinya. "Ayo masuk, pintunya gak ke kunci." seru Fumika dari dalam.
Dan disinilah kita, mencari-cari sebuah 'petunjuk' dikamar kosong tak berpenghuni. Aku coba mencari dibawah kasur saat Fumika membuka lemari yang ternyata masih berisi baju dan Eliz menatap kosong jendela, menyesali keputusannya.
Aku meraba-raba kolong kasur nan gelap dengan menyalakan lampu hp sampai akhirnya aku menyentuh sebuah benda. Buru - buru aku mengambilnya dan yang aku lihat hanya sebuah buku note biasa. Tidak ada istimewah-nya sebelum aku membuka halaman pertama bukunya yang bertuliskan:
"Diary."
"Ini pertama kalinya aku membuat catatan, hanya sekedar iseng karena kegiatanku membosankan. Seperti, belajar, istirahat, mengurusi OSIS, dan belajar lagi."
"Yah, tapi aku akan menceritakan tentang hari-hariku agar aku punya beberapa cerita yang dapat aku baca agar aku di masa depan bisa 'terhibur' saat membacanya."
Aku bergumam saat membacanya. Setiap kata aku perhatikan baik-baik dan saat itu juga aku telah menyadarinya.
Nut! Oh My Goodness, ini Diary rahasia!!!
Pikiranku bergejolak karena kau menemukan sebuah petunjuk rahasia dalam diary seseorang! Buru buru aku memasukannya kedalam tas selempangku.
"Hey kalian!" Aku berusaha memanggil Eliz dan Fumika. Tapi, tatapanku langsung membeku, tubuhku berhenti sesaat. Rasanya ingin berteriak tapi seperti ada sumbatan di pita suaraku. Perasaan bercampur aduk antara ketakutan dan amarah. Ya, aku melihat 'itu'. Imajinasi gelap.
Sesosok kepala yang tergantung dijendela berusaha memanggil-manggil pertolongan sambil berkata lirih, "Tolong... ban.. tu... Aku.. Akh... Sakii...it.. ". Aku hanya bisa berdiri mematung, menatap lurus kepala yang terus memohon itu. "KUMOHON, BANTU...AKU..!!" Suaranya semakin dinaikan, Fumika dan Eliz hanya menatapku aneh.
"Tolong selamatkan aku!"
Hentikan, HENTIKAN! Aku muak dengan kalian semua! Kalian tidak nyata tapi kenapa menggangguku?!
Ada hal yang lebih aku benci dari psikopat dalam kasus ini, yaitu delusiku yang menjadi nyata. Tanpa disadari, aku membanting pintu dan berlari keluar, berlari tanpa tujuan. Tapi yang terpenting aku tidak bisa mendengar suaranya lagi.
Selama pelarian, aku tidak henti-hentinya mendengar suara berisik itu. Tapi dengan intonasi yang berbeda.
Kenapa berlari? Kau tahu 'kan jika aku bisa menemukanmu dengan mudah. Jadi, percuma melarikan diri!
Aku akan membuat hidupmu menyedihkan, Alicia!
"HENTIKAN!!"
Sekeras apapun aku berteriak, tidak ada satupun orang yang datang menghiburku. Kebanyakan mereka hanya datang berlalu lalang menatapku jijik dan pergi seperti tidak ada apa - apa. Air mataku jatuh sedikit demi sedikit. Aku tidak tahan lagi. Rasanya ingin menjerit.
Buk, suara tabrakan menghentikan lariku. Apa yang aku tabrak?
"Alice? Alice! Kenapa kau menangis?" Naoki? Dari sekian banyak orang, hanya kau yang melihatku. Dengan derasnya air mata membasahi wajahku. Tubuhku gemetar dan hati nyeri memanas. Aku tak bisa menahannya lagi.
🌧️🌧️🌧️
Ada apa dengan gadis ini? Karena dia menangis sangat kencang, aku mengajaknya kebawah sambil menunggunya membaik dihalaman gedung asrama. Kebetulan aku menemukan kursi kosong jadi kita bisa duduk. "Hik..hik" Sepertinya dia sudah bisa menguasai dirinya lagi.
"Hmm.. Alice? Apa kau baik baik saja?" Ucapku untuk menanyakan keadaannya. "No." Balasannya sungguh cepat.
Agar suasana tidak canggung, aku kembali berbicara, "Alice, kalo ada masalah, bilang aja. I will not judgeing." Sekiranya dia bisa menceritakan masalahnya walau sedikit, dapat membuatku lega untuk tidak terlalu khawatir.
Beberapa menit kemudian, Alice akhirnya bicara, "Naoki, apa aku gila? Tidak, maksudku, apa kau percaya hantu?"
Eh? Pertanyaannya yang aku bisa jawab. 'Iya aku percaya, karena aku juga bagian dari mereka', tapi itu kalimat yang mustahil diucapkan langsung begitu saja. Jadi aku berkata sekadarnya, "Yah, antara percaya gak percaya."
Tunggu sebentar, sepertinya dia mengatakan sesuatu yang janggal. "Apa maksudmu kau gila?" Aku kebingungan dengan pernyataannya, tapi sebisa mungkin aku tidak bertindak aneh.
Dan sang narasumber pun menjawab, "Karena aku dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Katanya ini adalah hantu, tapi kebanyakan bilang adalah imajinasi. Sama-sama tidak nyata sih." Aku tahu maksudmu. Tapi jika hantu tidak nyata, AKU APA?!!
"Tapi," Lanjutnya. "Orang dewasa selalu berucap yang aku katakan tidak nyata. Hanya imajinasi. Jadi saat aku diganggu sesuatu, mereka hanya menganggapku gila. Karena mereka tidak bisa melihat apa yang aku lihat dan jika memang imajinasi kenapa senyata ini?" Tiba tiba air matanya jatuh lagi. "Naoki, hik.. percaya.. hik.. aku tidak?"
Matanya sebam karena air mata, pipinya memerah, dan tubuh yang sepertinya panas oleh emosi. Aku merasa kasihan padanya.
Dunia seperti mengabaikannya. Bilang hitam saat putih yang ia tunjuk. Sungguh ironis. Air matanya terus menetes jatuh melewati pipinya putih pucatnya yang memerah, sehingga aku mengusapnya. Menghilang air mata kesedihannya sambil berkata, "Munafik jika aku tidak percaya Alice-Chan."
Alice tersenyum. Senyumnya cantik, sangat indah.
"Terima kasih, MP."
"Ihss, jangan panggil aku begitu!"
"Yah, but Naoki is so Mellow, Pretty and.. Such a good boy,".
"Tunggu, kau bilang apa sesudah Mellow?"
"Nothing."
"Hmm."
Setelah melihat Alice sedikit baikan, aku memberanikan diri bertanya, "Memangnya tadi kamu kenapa?"
Alice kelihatan melamun sebentar. Matanya kosong menatap lurus taman didepan. Sekian detik kemudian, dia akhirnya berbicara, "Kau percaya dengan ucapanku tidak?" Lantas aku menjawab, "Tentu saja." Sederet pertanyaan lainnya aku lalui dan akhirnya Alice bercerita.
"Ok, jadi awalnya temanku ingin mengungkap kasus pembunuhan 1 tahun yang lalu disekolah ini. Penjahatnya adalah psikopat misterius yang belum terungkap identitasnya. Jadi temanku berinisiatif menangkap dan membuka identitas pelaku. Akhirnya kami mencari petunjuk pertana dikamar terkutuk. Kau tau kamar terkutuk, 'kan? Yang bernomor 21, lantai 4, gedung laki-laki? Kita mencarinya disana."
"Kami membuat rencana dengan menyamar ke gedung laki-laki. Sejauh ini kami berhasil melewatinya dan masuk ke kamar terkutuk itu." Alice berhenti sesaat untuk mengambil nafas panjang, lalu lanjut bercerita. "Kemudian, kami melakukan investigasi untuk mencari petunjuk. Dan, aku menemukan,... Sampah-sampah saja. Anyway, the main problem is, when i look at the window."
"Sampai sini kamu masih percayakan? Tidak akan disebarkan?" Ditengah-tengah penjelasan, masih saja Alice mempertanyakan keyakinanku. Yang pasti aku jawab, "Issh, iya baiklah, aku janji." Tapi entah mengapa aku ragu dengan bagian Alice yang menemukan sampah-sampah. Kalau bukan aku, Akbar-teman sekamarku- yang akan membersihkan kamar. Apa mungkin dia lupa membuangnya?
"Ok, where was it againt? Oh ya, saat aku melihat jendela, ada, ada kepala kegantung. Dan itu bisa berbicara. Saat itu, aku percaya yang ada dihadapanku bukan makhluk hidup. Aku ketakutan. Tidak, lebih seperti kesal. Aku tidak tau kenapa, aku membanting pintu, lari meninggalkan teman-temanku, dan akhirnya ketemu Naoki. The End."
Syukurlah, ternyata bukan masalah yang terlalu besar. Karena keberaniannya aku mengucapkan, "Ternyata kau tidak kenapa-napa. Jujur, aku sempat khawatir."
🌷🌷🌷
Setelah bercerita panjang lebar kepada Naiko, perasaanku membaik. Seperti semua bebanku seperti dibawa pergi. Naiko memang hebat! Selalu ada saat diperlukan. Seperti, takdir? Oh no no no. Gak mungkinlah! Iya 'kan?
What ever, Tapi sekarang ada yang percaya pada ceritaku. Jadi aku memang tidak gila!
[Benerkah?]
Deg. Tidak, aku.. Aku percaya pada Naoki. Pasti.
[Seperti kau percaya dengan'nya'?]
... Tidak, mereka berbeda.
[Yakin?]
....
Aku, aku ingin percaya padamu Naoki. Aku tidak ingin kau seperti 'dia' atau 'mereka'. Dia yang merenggut semua dariku dan mereka yang tak percaya padaku.
Aku, ingin kau benar - benar percaya padaku.
[To Be Continue!]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments