Ada apa dengan Alice? Kenapa tiba - tiba pergi? Bagaimana bisa orang yang pertama menerima pendapatku lari meninggalkan kita.
Aku yang sedang memeriksa lemari dan melihat beberapa baju kemeja, terkejut dengan bantingan pintu Alice yang keluar kamar. Menyisakan aku dan Eliz dikamar terkutuk. "Sudahku bilang ini ide buruk!" Eliz menggerutuk, aku tahu ini mungkin akan berbahaya namun ini baru awalan dan tidak ada kejadian apapun.
Aku yang kebingungan, ingin bertanya kepada Eliz karena dia adalah 'Teman Inggris'-nya, pasti lebih tahu kondisi Alice. "Kenapa dia pergi?"
Bukannya menjawab, Eliz dengan sorotan mata panik, menarik tanganku keluar pintu, menutupnya rapat-rapat, kemudian terus menarik tanganku entah kemana. Yang pasti menjauhi asrama.
Aku yang merasa tidak nyaman segera menepis pegangannya saat kita berada dikoridor yang luas. "Ada apa ini?! Jawab pertanyaanku Elizabeth!" Dia terpelatuk dengan ocehanku, segera membalikan badan menghadapiku. "Maafkan aku. Tapi kita harus cepat pergi mencari Alice."
Dari jawabannya, aku hanya dapat memikirkan 1 kemungkinan. "Karena kamarnya terbukti terkutuk?" Eliz terteguh, dia menggelengkan pelan. Lalu melanjutkan, "Tidak tahu, yang aku pikirkan Alice mungkin melihat 'sesuatu', Imajinasi liarnya. Apa dia bawa obatnya?"
Tunggu, aku baru saja mendengar hal sensitif. "Semua ini karena Alice dulu mempunyai teman masa kecil. Tapi dia jahat dan agak aneh. Entahlah aku juga tidak percaya dengan ingatanku." Ucap Eliz ragu-ragu. Sorot matanya sedu, jari telunjuk menyentuh dagunya, sesaat Eliz menghindari kontak mata denganku.
Rasa penasaranku berkembang. Aku ingin tau lebih dalam tentang rahasia ini. "Eliz, tolong ceritakan padaku."
Aku melihat ragu - ragu dari mata Eliz. Tentu saja sebagai sahabat, dia tidak ingin rahasia sahabatnya terbongkar. Tapi aku menepis keraguannya dengan berkata, "Elizabeth, sebagai pemimpin investigasi tidak resmi ini aku harus tahu keadaan temanku, jika tidak aku akan jadi ketua terburuk."
"Terus kenapa?" Eliz menyilangkan tangannya. Alis matanya bertautan tanda dia tetap kukuh pada pendiriannya. Tapi aku tetap berusaha menepis, "Eliz! Aku merasa bersalah pada karena terlalu memaksakan. Tolong, beritahu aku apa yang telah terjadi."
Akhirnya Eliz menatap mataku, proposi tubuhnya ditegakan membuatnya kelihatan lebih tinggi saat menghadapku yang jelas pendek. Eliz luluh, "Hah, baiklah. Tapi berjanjilah jangan bilang siapa - siapa. Karena masalah Alice itu tidak wajar, bisa dibilang abnormal untuk standar teman imajinasi."
Ada apa ini? Dari penjelasan Eliz, sepertinya ini lebih parah dari bayanganku.
"Cerita ini dimulai dari bangku Sekolah Dasar kelas 3, saat kami Field Trip ke London Bridge,... ".
📽️🎞️📽️
"Saat itu, hari yang biasa untuk anak sekolah. Bermain, bercanda, dan jalan bersama sahabat adalah sebuah kebiasaan. Dulu Alice bukanlah satu-satunya sahabatku, masih ada 3 orang lagi. Namanya Alex, Abigel, dan Maria. Kita sahabat dari hari pertama masuk SD."
"Suatu hari kita sedang bermain 'London Bridge', tiba - tiba kakak kelas kami menghentikan pemainan-nya. Dia menyebut bahwa apa yang kami lakukan tabu. Bukan 'permainan'-nya, tapi 'lagu' dipermainan. Tapi kami tidak menghiraukannya."
Seiring kisahnya bergulir, aku dan Eliz berjalan mencari Alice. Kita mencurigai dia berada dikamar. Setelah Eliz mengatur suaranya, dia lanjut bercerita,
"Beberapa hari kemudian, kami Field Trip ke Big Ben. Sebelum pergi kesana, kita harus melewati 'The London Bridge'. Aku masih teringat jelas peringatan kakak kelasku kemarin. Aku jadi takut. Membuka mulut pun sungkam."
"Tapi dari depan aku mendengar sebuah nyanyian. Dari sekian banyak lagu, orang ini memilih yang dilarang. 'London Bridge Is Falling Down' diatas jembatan London. Kau sudah pasti menebak orang yang bernyanyi ini Alice, dan benar. Alice menyanyikan lagu itu."
"Setelah dia menyanyikannya, banyak hal aneh bermunculan. Seperti Alice sering menghilang-muncul tiba-tiba, penampakan cahaya putih dijendelanya, Alice menjadi agak paranoid. Dan yang terparah, dia sering berbicara sendiri. Karena sikapnya yang berubah, lama kelamaan kami muak dan meninggalkan-nya satu persatu. Tapi aku yang paling lama bertahan.
"Kata Okaa-san Alice, dia mengidap sakit Ski.. Skis apa gitu."
'Skis'? Apa mungkin maksudnya, "Skizofernia?"
"Iya itu!" Eliz menjentikan jarinya tanda tebakanku benar. Astaga! Aku tidak percaya Alice punya masa lalu menyedihkan seperti itu.
"Aku percaya teori itu, walau sebanyak apapun Alice menjelaskan padaku bahwa teman imajinasinya nyata. Tapi akhirnya aku percaya pada Alice, walau terlambat.
"Bagaimana aku bisa percaya? Saat itu, mother mendapat telepon dari Okaa-san Alice. Dia bertanya apakah Alice ada dirumah kami. Sekejap, ibuku menjawab Alice tidak ada."
"Suara panik Okaa-san dan Alice's Father terdengar walau dari telepon.
'Bagaiman ini?'
'Kenapa kau tidak percaya padanya?'
'Kau yang bilang Alicia gila! Sekarang lihat!'
'APA YANG TERTULIS DIKACA?'
'Aku tidak tau!'
"Cuma percakapan itu yang aku ingat. Kemudian mother seperti ketularan panik mereka. Beliau bertanya apa yang mereka maksudkan. Okaa-san Alice menjawab dengan nada lirih. Katanya:
"Say Goodbye To Your Daughter.
We Will Be A Good Friend Forever."
"Dengan warna merah seperti darah, tulisan itu muncul. Aku yang masih 9 tahun itu terkejut bukan main. Aku mengingat bagaimana Alice menceritakan pengalamannya padaku sambil menangis. Dan aku, aku tidak percaya dan berbalik meninggalkan-nya. Sendirian."
"Aku yang histeris berteriak ditelepon mother yang masih berbicara. 'Alicia on the Bridge!'. Tentu saja mother marah, tapi dielak oleh telepon Okaa-san Alice. Dia bertanya 'Dimana tempatnya?'. Aku mengambil gagang telepon mother dan memberitahu mereka Alice ada di London Bridge, karena dia sering kesana."
"Matsu(tunggu), siapa Alicia?" Aku bertanya saat Eliz melihat pemandangan Balcon lantai 2, masih digedung asrama laki-laki. Eliz yang sadar dari lamunan-nya menjawab, "Itu nama Alice di Inggris. Alice adalah kependekan dari Alicia agar tidak kaku." Baiklah, pertanyaan simple-ku telah terjawab.
"Wakarimasu(saya mengerti), silahkan lanjutkan." Aku mempersilahkan Eliz melanjutkan.
Tapi karena efek lelah, Eliz meminta aku untuk istrahat sebentar di balcon sambil lihat awan dijam 12 tepat ini. Ya, jam 12 berdasarkan tiang jam taman.
Eliz mengatur nafas lagi, lalu melanjutkan,
"Singkat cerita, kami buru - buru ke London Bridge yang aku sebut dan mendapati Alice yang berada dipinggir pembatas jembatan. Alice sempat menengok ke arah kita, tapi aku melihatnya. Siluet hitam seorang gadis berambut panjang. Aku berpikir ini 'Teman Imajinasi'."
"Alice kemudian berjalan kearah kami, namun suatu...tidak..bukan.. Ugh!" Eliz ragu-ragu dengan apa yang dia ucapkan. Wajahnya memanas sehingga matanya tertutup. Aku berusaha meyakinkan Eliz dengan segala cara. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya dia dapat berbicara.
"Ada... banyak tangan, yang menarik tubuh Alice. Kemudian mendorongnya sebelum ia sempat berpaling dan dalam sedetik Alice jatuh ke sungai Thames."
"Aku menyalahkan diriku karena tidak mempercayai Alice. Aku pikir dia akan mati hari itu, tapi Mr. Henkis-Alice's father- bergegas terjun menyelamatkannya. Alice selamat tapi, nyawanya ditukar dengan her father. Beliau kehabisan nafas karena tenggelam terlalu dalam."
Aku melihat air mata Eliz jatuh. "Aku, hik.. tidak bisa memaafkan diriku, hik.. Aku gagal menjadi sahabatnya." Dia terus menangis sambil melihat awan. Aku tau apa yang dirasakan Eliz. Rasa bersalah.
Lalu aku berusaha menghiburnya, "Malah kalau kau tidak memberi tahu tempat Alicia berada, dia mungkin tidak akan bersama kita. Kau malah akan lebih bersalah karena sahabatmu pergi duluan." Eliz memandangku. Dia menyekat air matanya dan membalas, "Thanks Fumika." Ini bukan hal besar, tapi aku membalas, "Onaji (sama-sama)."
"Tapi tetap saja! Berteriak ditelepon saat orang tua masih berbicara itu tidak sopan!" Aku merasa tindakan Eliz heroik tidak tepat. Maka aku menjadi jengkel karena caranya bertindak. "Hehe," Orang yang aku sebut hanya ketawa pahit.
Hah, aku meminta mereka untuk membantuku, tapi tidak mengetahui masalah mereka. Aku terlalu egois ya? Setelah kita menemukan Alice, aku akan meminta maaf padanya.
Aku merenung dan mencerna semua kisah Eliz sambil melihat pemandangan dibawah. Ternyata digedung asrama pun ada taman kecil yang indah untuk jalan-jalan. Sejauh mata memandang, aku melihat pohon dan tanaman bunga berwarna cerah menghiasi jalanan berbatu nan rapih. Aku juga melihat ada beberapa bench atau kursi taman panjang yang berada dibawah pohon rindang.
Tapi aku terkejut melihat salah satu bench yang ditumpangi oleh seseorang, Alice. Dia sepertinya berbicara dengan seseorang. Tapi, siapa? Tidak ada orang disana.
Aku memanggil Eliz yang sedang melamun disebelahku. Lalu berkata, "Elizabeth, itu Alice! Dia kelihatkan sedang bicara bukan?" Eliz melihatku miring. "Alice? Apa maksudmu? Aku tidak melihat lawan bicaranya."
Entah mengapa aku meragukan pernyataan Eliz walau dia teman masa kecil Alice. Dia sepertinya kurang mengetahui masalah Alice yang sebenarnya.
Jika aku memfokuskan mata pada Alice dan 'sesuatu' yang sedang menjadi lawan bicaranya, aku melihat suatu bayangan disamping Alice. Rupanya hampir mirip manusia. Tidak, itu benar-benar berwujud manusia!
Seketika aku menyadari sesuatu dari cerita Eliz.
"penampakan cahaya putih dijendelanya... Dan yang terparah, dia sering berbicara sendiri..."
Ini jelas membuktikan Alice bisa melihat 'sesuatu'! Bahkan diperkuat oleh bagian 'Apa Yang Tertulis Dikaca?'.
Manusia manapun tidak mungkin melakukan hal aneh itu, kecuali suatu makhluk. Hantu. Kenapa mereka tidak menyadarinya?
Karena itu aku coba membuktikan spekulasi-ku dengan bertanya suatu hal, "Eliz, apakah orang ditempatmu percaya dengan hantu?" Tentu saja dia memandangiku bingung karena pertanyaan yang tiba-tiba itu. Tapi dia tetap menjawab dengan nada yakin, "Hantu itu tidak nyata."
Dan spekulasiku benar, orang ditempat Alice tinggal tidak mempercayai adanya hantu! Itulah alasan Alice diasingkan.
"Eliz, ayo kita pergi! Aku melihat Alice di bench taman." Aku tidak sabar menghadap Alice. Banyak teori yang bermunculan dalam benakku serta rasa bersalah yang ingin aku selesaikan.
🌺🎀🌺
Aku, ingin Naoki benar - benar percaya padaku.
Kalimatku terus terulang dalam pikiranku. Membuat dilemma dalam samudra batin. Larut dalam lamunan, aku disadarkan kembali oleh suara sopran ber-frekuensi tinggi seseorang yang memanggil namaku, Eliz. Dan nampak disampingnya ada Fumika.
Astaga, aku baru sadar sebelumnya aku kabur tanpa mengkhawatirkan perasaan mereka. Aku bangkit dari bench dan berlari mengejar mereka. Aku mencoba meminta maaf kepada mereka tapi Fumika menyela, "Alice, Maafkan aku! Aku tidak tau kalau kau punya masalah sendiri. Aku sangat egois. Maafkan aku," Fumika berkali-kali meminta maaf padaku, padahal aku 'kan yang salah.
Tunggu, tadi dia bilang 'masalah sendiri'?
Apa mungkin... Elizabeth Van Hose! Teganya kau menceritakan kisah tragisku!
Aku melihat wajah Eliz yang dipalingkan, ternyata benar! "Sialan, sialan." kata itu terus berulang dalam pikiranku. Sekarang Fumika akan beranggapanku gila juga.
"Em, Fumika...", Aku berusaha menjelaskan 'masalahku' yang mungkin Eliz membuatnya salahpaham. Tapi, Fumika menyelak lagi. "Maafkan aku karena mendengar kisahmu tanpa ijin. Aku hanya...penasaran,"
Aku menyerah dengan banyaknya permintaan maaf hari ini. Jadi aku berkata, "Sudahlah Fumika, kau tidak perlu meminta maaf. Setelah mendengar cerita dari sahabatku 'tersayang' pasti kau akan menganggapku gi.."
"Tidak Alice! Kau benar, aku mempercayaimu, karena makhluk seperti itu benar-benar nyata!"
Diluar dugaan, Fumika percaya padaku. Kita baru kenal sehari tapi dia percaya dan bahkan mengajakku mengungkap kasus bersama. Aku, senang. Tapi apa maksudnya 'makhluk seperti itu' nyata? Bukannya kata psikolog itu hanya imajinasi liar? Delusi? Tulpa?
"Terima kasih." Kata itu yang bisa keluar dari mulutku. "Alice maaf ya aku menceritakan masa lalu.." Giliran Eliz untuk meminta maaf, namun aku tetap kesal kepadanya. "Spoiler People tidak usah dimaafkan!"
"ALICIA!!! I'M SORRY!" Astaga, anak ini semakin merengek. Aku terpaksa memaafkanya. "Iya ya, please stop Eliz. You emberess me."
"Baiklah, karena kita sudah saling memaafkan, mari kita ke kamar. Aku capek." Ucap Fumika memisahkan pelukan kami. Kita setuju dengan pendapatnya lalu berjalan ke asrama perempuan. Tapi kemudian aku terhenti karena mengingat sesuatu, Naoki!
Karena mereka sudah berkumpul, pasti Naiko akan gampang terlihat. Aku menghentikan langkah mereka dan mengatakan, "Hey, aku bertemu lagi dengan orang yang sama seperti ditoilet. Ayo beri salam kepada Nao... ki?"
Kata kataku terputus saat melihat bench yang aku duduki bersama Naoki tadi sudah kosong. Naoki menghilang! Dia bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan. Langsung pergi seolah - olah, dia memang tidak ada sebelumnya. Aneh.
"Naoki lagi? Dia tidak ada Alice." Sindir Fumika. Sungguh Naoki, kau membuatku malu didepan teman - temanku untuk kedua kalinya. Lain kali akan aku seret kedepan mereka agar percaya.
"Sudahlah Alice. Ayo kita ke kamar." Ajakan Eliz mengenyahkan diamku dan akupun mengikutinya.
Hah, Naoki. Kenapa kau pergi begitu cepat.
[To Be Continue]🏕️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments