Chapter 4. Bad Memory And A Case

Apakah kau masih ingat?

Udara diatas jembatan berhembus pelan mengantarkan bau asin laut dibawahnya, awal dari pertemuan kita?

Saat itu, aku begitu lugu untuk menerima tawaran seseorang yang kesepian seperti kau. Sangat kegirangan dengan persetujuanku sampai melompat ke sungai Thames.

Yah, aku juga sama kesepiannya sepertimu. Entah kenapa. Padahal dulu aku memiliki banyak teman, tapi mereka telah menjauhi aku dan menganggapku, gila.

Disat sulit itu, ada kau yang menemaniku setiap hari, akupun bahagia. Lubang dalam hatiku terisi oleh sejuta kenangan indah yang dibuat kembali. Tak ada jenuh dalam pikiranku, bahkan curiga dalam mataku.

Tapi sekarang aku menarik kata-kataku.

Kau tau kenapa, 'kan?

Di Siang hari, langit London mendung seperti biasa. Aku melarikan diri dari rumah karena frustasi dengan banyaknya terkaan, omelan, hardikan kosong yang aku terima dari orang tuaku. "Dia teman imajinasi-mu! Tidak nyata!" Jujur, hatiku perih mendengarnya.

Sebagai penyanggkal, aku pergi ketempatmu untuk membuktikan semua ucapanku. Semua.

Maka aku menunggumu di jembatan, kau datang lebih lambat dari biasanya dan bertampang seperti orang yang berbeda. Ada apa dengan wajah itu? Dan gaunmu? Tak biasanya kau menggunakan gaun malam hitam berundai.

Belum selesai dari kebingunganku, kau tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sangat mengejutkan.

"Alicia, apakah kau temanku?"

Aku tersentak oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu. Tidak biasanya teman baik-ku mempertanyakan hal yang sudah jelas seperti kita tidak pernah berteman sebelumnya. Hari ini dia kelihatan semakin aneh, tidak biasanya dia mengajakku bermain dipinggir jembatan London. Padahal dia sendiri yang melarangku.

"Jika kau temanku,"

Aku tidak tahu. Saat itu aku masih 9 tahun dan tidak memahami situasinya. Karena keanehan itu, adalah awal dari petaka yang menghancurkan hidupku.

"MATILAH!!"

Kata - katanya seperti menusuk jantungku. Seperti berada diantara delusi dan realita aku mematung ditempat. Tubuhku menegang seketika lalu dengan kasar didorong kebelakang jatuh ke sungai Thames.

Diriku yang masih terkejut tidak bisa melawan. Waktu terasa singkat hingga terpaan keras angin mulai terasa dipunggungku. Rambut pirang yang tadi aku ikat terurai liar karena pitanya lepas. Terjatuh semakin kebawah, hingga benturan keras air menenggelamkanku.

Semakin dalam kepada kegelapan tiada akhir. Semakin kebawah semakin banyak hitam yang aku lihat. "Tolong...A..li..lice." Aku berusaha memanggil bantuan hanya dari kata-kata pendek itu, walau tahu tidak akan ada yang mendengarkan ocehan keputusasaanku.

Dingin, sangat dingin. Air mengkaburkan pemandangan dan menyesakan dadaku. Oksigen yang tersedia di paru-paru semakin menipis seiring munculnya gelembung udara yang keluar dari mulut dan hidungku.

'Aku akan mati.'

Kematian seperti ini sangat mengerikan. Air yang tenang tidak seperti yang biasanya aku liat. Lautan, ataupun samudra dalam bentuk sungai ini menjadi sangat dalam. Dalam sekali. Tapi bukan itu yang aku takutkan, tapi apa yang ada didalamnya. Makhluk Hitam dengan mata menusuk. Mengawasi aku hingga jatuh dalam kegelapannya.

Saat air hampir masuk ke paru paruku, aku berkata pada diriku, "Tidak, AKU TIDAK BOLEH MATI!"

Beberapa kalimat itu membangkitkan kembali semangat yang hampir pudar. Seperti sebuah reaksi berantai, aku berusaha naik ke permukaan dengan bantuan tangan dan kaki kecil yang selalu menghentakan air. Dan berhasil. Aku berhasil selamat!

Aku memanggil orangtuaku yang ternyata ada diatas jembatan. Pita suaraku sudah siap berteriak, tapi kaki seperti ada yang menarik. Tidak rela rencananya gagal. Semua usaha aku lakukan agar dapat bertahan dipermukaan sampai pertolong datang.

Sampai pada titik terakhir, tubuhku mulai melemah, kulitku kedinginan karena suhu air. Aku menyerah pada diriku sampai dibawa semakin dalam kepada kegelapan tiada akhir. Semakin kebawah semakin banyak hitam yang aku lihat. "Tolong...A..li..lice." Aku berusaha memanggil bantuan hanya dari kata-kata pendek itu, walau tahu tidak akan ada yang mendengarkan ocehan keputusasaanku.

Dingin, sangat dingin. Air mengkaburkan pemandangan dan menyesakan dadaku. Oksigen yang tersedia di paru-paru semakin menipis seiring munculnya gelembung udara yang keluar dari mulut dan hidungku.

'Aku akan mati.'

Pikiran itu terus terlintas. Sebelum pandanganku buram, aku melihat sesosok siluet hitam. Daddy. Disaat menyedihkan itu, aku menyisipkan harapan padanya, "Daddy, tolong aku. Kumohon."

Lalu mataku tertutup. Semua indraku padam kecuali pendengaranku, mungkin. Karena aku mendengar sebuah suara, "ALICE!!" Aku merasakan pelukan, dan detak jantung. Aku mencium daratan lagi dengan sesaknya. Tapi pingsan lagi. Aku, tidak kuat.

Deg, Deg, Aku tidak bisa melihat Dad. Kemana 'kah Dad?

Aku mencari-cari sosoknya, namun tubuhku terlalu lemah untuk sekedar menengok. "Payah!" Aku gerutuki ketidakmampuanku. Tapi, akhirnya aku melihat Dad yang tersenyum padaku. Matanya sayu, namun senyumnya masih sehangat dulu.

Aku berusaha membalasnya dengan tersenyum, tapi dalam hati aku masih tersedih. "Dad, I love you. Thank you." Setetes air mata turun membuat lurik dipipiku.

Dad memandangku dengan seksama, memastikan putri kecilnya tidak terluka. Setelahnya dia mencium kening-ku dengan penuh kasih, lalu berkata, "I love you too, my lil' daugther. Jangan nakal selama Daddy tidak ada." Aku mengedipkan mata, tiba-tiba Dad sudah menghilang.

"Huhuhu..." Suara tangisan Okaa-san menyesakan hatiku. Aku tahu ada yang tidak beres. Maka aku dengan sepenuh tenaga membangkitkan diri. Walau masih sempoyongan, aku berhasil bangun dari tandu rakitan ini.

Aku mencoba mendekati Okaa-san, sangat dekat. Tapi dia tidak menghiraukan keberadaanku. "Okaa-san?" Suaraku lirih. Sekujur badanku gemetar hebat. Jantungku terasa dicabik-cabik. Hatiku hancur.

Pemandangan yang aku saksikan seperti mimpi. Mimpi buruk yang nyata.

"Dad, kenapa wajahmu ditutupi? Kau tidak bisa nafas jika begitu." Ucapku bagai bisikan. Aku berusaha tegar dengan diriku. Tapi, fakta mengerikan ini seperti menamparku. Aku tidak kuasa menahan tangisan didepan tubuh Dad yang terbaring kaku. Dad, sudah meninggal.

Hari itu aku menyadari 3 hal. Yaitu, pertama alasan kenapa keluargamu disebut penyihir dan kenapa kau selalu sendirian. Kedua, makhluk sepertimu hanya pembawa sial. Ketiga, aku kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku.

Dan aku tidak pernah lupa hari ini.

Dan perasaan yang sama saat aku membencimu.

***

Sudah 6 tahun setelah kepergian Dad. Meski keadaan sedikit terganggu, tapi Okaa-san selalu berusaha keras dalam pekerjaannya sebagai manajemen keuangan. Semuanya lancar, kecuali jarak yang Okaa-san buat diantara kita. Bahkan untuk menyapa pun tidak pernah. Kita bagaikan orang asing setelah kejadian itu. Namun, tidak apa-apa.

Aku belajar sangat giat, lebih giat dari pada orang lain se-usiaku agar aku mendapatkan beasiswa ke sekolah paling bergengsi di Jepang, Hokkaido 45 seperti permintaan Okaa-san. Setidaknya, aku bisa melakukan sesuatu agar Okaa-san kembali terbuka kepadaku.

Sangat berat bagiku untuk berpisah dengan Okaa-san. Sampai aku rela menunggu keberadaannya dibandara untuk ucapan perpisahan. Tapi jangankan rambut, batang hidungnya pun tidak ada.

Aku mulai putus asa, para satpam di bandara juga menyuruhku untuk masuk. Namun, "Alice." Suara Okaa-san menggema ditelingaku. Aku berpaling dan melihat wajahnya. Masih sama dengan sebelumnya dengan sedikit senyuman kecil dibibirnya. "Watashi wa anata o hokori ni omoimasu¹."

Aku terharu, lalu memeluk tubuh mungil Okaa-san dengan penuh kasih. Air mata tidak dapat aku hentikan, maka aku biarkan menetes dibajuku sampai nafasku sesak. Akhirnya, jarak yang Okaa-san buat 6 tahun yang lalu perlahan runtuh.

Dia masih menyayangiku karena aku adalah anaknya, Alice Yamada Henkis. Tidak, Alice Yamada saja.

Dan disaat itu kami berpisah dibandara.

 

⏪▶️⏩

 

"Huwaaaaa~~" Aku ketiduran dikelas. Lebih parah lagi saat semua sudah pergi. "Hei, enak tidurnya?"

'Hampir' semua pergi.

"Hah?" Kedatangan tak terduga Eliz dan Fumika membuatku terpelatuk. "Tidur terus kamu." Komentar Eliz. "Dasar!" komentar ke-2 dari Fumika yang sebenarnya lanjutan komentarnya Eliz.

Aku yang setengah sadar hanya menjawab sindiran para Haters dengan pertanyaan melenceng. "Hey, boleh liat apa yang ditulis bu Wakfu?" Kemudian Fumika menyodorkan bukunya didepan wajahku. Aku membukanya dan melihat catatan Fumika yang tertulis rapih. Ok, i will say 'wow' for Fumika.

Selesai membaca catatannya, aku berkeinginan menulisnya dikamar. Maka bersama yang lain, aku pergi dari kelas.

Omong-omong, perasaan aku saja atau, seperti ada yang mengawasiku?

 

\\*

 

[Eliz POV]

Sebagian dari kalian pasti tahu aku adalah sahabat Alice. Dan sebagai sahabat, aku sangat peka dengan keanehan yang terjadi kepadanya seperti sekarang.  Dia sangat murung, lebih murung daripada saat dia melihat tangga sekolah. Apa gerangan yang membuat dirimu gusar wahai sahabatku?

Aku mencoba memberanikan diri bertanya padanya, "Alice kenapa mukanya cemberut? Nanti cepat tua loh." Dia tidak bereaksi sampai beberapa menit. Kemudian mengatakan, "Aku tidak akan cepat tua dibanding kamu yang kayak Auntie."

Astaga, rasanya ingin mencupitnya yang tirus. "ENAK AJA! Siapa yang kau panggil Auntie?! Sebelum tidur pakai maskara merek X, Pagi pelembap O, lip glose C, eye liner A,..." (Dan sebagainya sampai mereka lelah mendengarkan)

 

🌺🌻🌺

 

[Back to Alice POV]

Aku sudah salah menjawab pertanyaan Auntie dan sekarang kualat. Tak tahan dengan ocehannya, aku sudahi saja. "Iya baiklah. Aku yang salah. Tadi cuma kepikiran sesuatu."

Eliz berhenti bicara tentang perawatannya. Lalu menatapku dengan seksama sambil membalas, "Alright, alright. Memang kamu kepikiran soal apa? Yang dulu?" Suaranya diturunkan sampai berbisik. Jawaban Eliz tepat sasaran, aku sedang memikirkan kebencianku kepada sosok pembunuh Dad. Teman yang menusukku dari belakang.

Eliz mendekatiku perlahan, lalu merangkulku lembut. Dengan suara lembutnya dia berkata, "Alicia, i know how you hate her. But, past is in the past. You have to forget it!"

"I made a mistake to leave you that day. So i will never leave you again, my sweet candycorn!"

Logat Inggris yang kental tercurah disetiap kata-katanya. Eliz sangat tulus. Aku yang tersentuh membalas, "Elizabeth Van Hose, your like kind of nice sweet heartwarming mother, Thanks."

Mendengar balasanku, wajah Eliz memerah. Antara malu dan tersipu, dia mencubit pipiku karena gemas. "Lagipula aku juga sudah memaafkanmu." Walau aku sudah menjelaskan, Eliz tetap mencubitku lebih keras lagi.

"Halo, kalian tau aku disinikan?" Fumika merasa terabaikan. Dia menatap kami murung dengan senyuman miring. Jelas-jelas dia sedih diabaikan. "Maafkan kami Fumika-Chan. Kita tidak bermaksud begitu." Hibur Eliz sambil memeluk Fumika. "Iya, kami tetap menganggapmu ada kok. Kita 'kan friends~" Gantian aku yang menghibur dengan memeluk dan sekali-kali mencubit pipinya.

Fumika yang mendapat terlalu banyak perhatian merasa risih. "Iya ya! Tolong lepaskan aku!" Wajah merah padam Fumika terlihat jelas dan kami pun melepaskan pelukan dari Fumika.

"Hah, mood-ku jadi jelek gara-gara bu Wakfu tadi." Fumika membuka percakapan. Aku yang dari masuk kelas tertidur, bingung dengan apa yang terjadi. Maka aku bertanya, "Memang kenapa?"

Lalu dijawab, "Karena buku-ku disita lalu ditunjukan keseluruh kelas! Memangnya dia tidak tahu seberapa bahaya-nya?!" Fumika terlihat naik pitan saat bercerita, sepertinya isinya coretan penting.

"Apa-apaan? Cuma coretan Stick Man, kotak-kotak tidak jelas, dan kalimat tidak aku pahami dipermasalahkan." Eliz yang merasa tahu segalanya menganggap remeh apa yang Fumika sampaikan.

Fumika terpancing emosi lalu dengan blak-blakan menjelaskan apa yang dia maksud sampai sepenting itu, "Apanya yang 'uma coretan Stick Man, kotak-kotak tidak jelas, dan kalimat tidak aku pahami' doang? Hey, itu gambaran TKP pembunuhan!" Kami yang tidak tau apa-apa langsung syok dengan yang Fumika sampaikan. Bahkan hampir tidak percaya. Bagaimana bisa ada pembunuhan?

"Jadi begini." Lanjut Fumika pelan pelan. "Kalian tau jika sekolah ini adalah sekolah elite se-negara, tapi sesempurna apapun itu pasti ada celahnya."

"Tunggu, maksudmu apaan?" Aku yang bingung memotong pembicaraannya. Fumika yang kesal dengan selaan memijat keningnya sambil berusaha sabar. "Makanya dengarkan!" Fumika mulai naik darah. "Jadi, begini, Otau-san ku berkata pernah ada kejadian mengerikan disini. Orang - orang sering menyangkut pautkannya dengan anak lelaki bandel yang sering menjahili semua orang disekolahnya dulu. Namun beberapa hari kemudian tindakan nakalnya ini berubah menjadi pembunuhan. Dia disebut..."

"プレーヤー/Pureya'. (pemain)"

Jantungku berdebar dan keringat dingin bercucuran keluar dari kulitku. Semengerikan apa sosok yang bernama Pureya' ini? Untuk mengetahuinya aku simak lebih jelas penjelasan Fumika, tapi...

"Segitu saja dulu. Nanti lanjut dikamar." Penjelasan Fumika bener-bener menggantung. "Nyebelin! Gak jelas! Fumika no Baka!!" Dan aku paling benci dengan cerita yang digantungi.

"Baka, baka... Awh!". Pipiku dicubit sampai memerah. Saking kesalnya aku membentak Fumika tanpa mengetahui alasannya melakukan itu.

"Diamlah, Alice! Malah seharusnya kita tidak boleh bicara disini!" Suara Fumika direndahkan bagai bisikan. "Soalnya, si Pureya' masih murid disekolah ini"

Deg Deg. Jantungku berdetak tak karuan mendengar kata terakhirnya. Itu berarti, Pureya' masih disekitar kita. Menunggu mangsa lengah. Bisa saja orang-orang disekitar ini jadi sasaran, bisa saja Fumika atau Eliz. Atau.. Aku yang selanjutnya.

"Makanya bahas dikamar aja." Suara Fumika memecah khayalan kelamku. Aku hanya mengiyakan dan pergi menuju ke kamar dengan hati yang masih gemetar. Apakah semua akan baik-baik saja?

[To Be Continue!]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!