WHAT'S WRONG WITH MY BODYGUARD?
"Kamu dari mana?"
Pertanyaan itu bukan sebuah komando, tapi kakiku yang terbungkus sepasang stiletto merah seolah tahu mereka harus berhenti saat suara khas itu menyapa.
Mama tampak bangkit dari atas sofa ruang tamu tepat sesaat setelah aku membalik tubuh. Wanita itu sudah berumur 45 tahun, tapi deretan angka dan derasnya waktu yang mengalir tidak serta merta mengikis habis kecantikan yang dimilikinya. Aku tahu benar berapa biaya yang harus ia keluarkan demi merawat wajahnya agar terlihat beberapa tahun lebih muda dari usianya. Tubuh langsingnya merupakan hasil perpaduan diet ketat dan olahraga rutin yang ia jadwalkan bersama seorang pelatih pribadi profesional. Semua orang mengagumi penampilannya yang selalu terlihat menawan dan anggun dalam setiap kesempatan. Tak terkecuali diriku. Diam-diam aku menjadi pengagum rahasia mama sepanjang usiaku. Apapun yang mama kenakan, pasti terlihat bagus di mataku. Seperti sehelai blazer merah muda yang ia kenakan saat ini sebenarnya cukup menyita perhatianku. Benda itu tampak serasi dengan sepasang anting yang menggantung manja di kedua ujung telinganya.
"Apa kamu masih menemui laki-laki itu?" Mama melangkah perlahan dan berhenti beberapa jengkal di hadapanku. Sorot matanya seolah siap menghakimiku.
Aku mengulum senyum hambar. Harusnya tanpa bertanya pun ia sudah tahu jawabannya.
"Memangnya kenapa kalau aku menemuinya?"
Mama terdiam untuk menghela napas panjang.
"Hentikan semuanya, Lisa," ucap wanita itu jelas-jelas ingin memerintahku. "Mama sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, kan?"
Tepat. Ingatanku juga terlalu bagus untuk hal satu ini. Namun, aku terlanjur memutuskan untuk mengabaikan perintah itu.
"Bagaimana jika aku tidak bisa berhenti?" pancingku seraya menarik salah satu ujung bibirku ke atas. Bermaksud menguji sampai di mana batas kesabaran wanita itu.
"Talisa!" Teriakan itu berbarengan dengan gerakan tangannya yang tiba-tiba melayang di udara dan mendarat di pipi kiriku. Menyisakan sensasi panas dan rasa sakit yang cukup menyiksa untukku. Namun, hebatnya aku masih bertahan di tempatku berdiri. Seolah tamparan itu bukan apa-apa, tak meninggalkan rasa sakit sama sekali untukku. "Apa kamu lupa jika laki-laki itu sudah beristri?"
"Tidak." Aku menyahut dengan suara tegas. Aku tidak pernah melupakan hal penting itu. Dan aku juga tidak bermaksud mengingkarinya. Namun, aku sangat membenci kenyataan itu. "Aku tahu itu," tandasku tegas.
"Tapi kenapa kamu masih menemuinya? Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan? Kamu sudah menyakiti banyak orang... "
"Karena aku mencintainya, Ma."
Laki-laki yang kucintai dengan sepenuh hati adalah orang yang sangat dibenci mama.
"Talisa!" Mama berteriak memanggil namaku sekali lagi. Amarah terlihat jelas memuncak di kepalanya. Dan aku siap seandainya wanita itu menamparku sekali lagi. Dua tamparan tidak akan mampu membunuhku. "Apa kamu sadar apa yang kamu katakan?" Tatapan tak percaya menyorot lurus dari sepasang matanya. Ke arahku.
"Ya. Tentu saja."
Mama menarik napas panjang. Wajahnya terlihat gusar.
"Talisa... " Mama berjalan dua langkah sehingga jarak kami semakin dekat. "Mama mohon, hentikan semuanya. Berhentilah mengharapkan laki-laki yang sudah menikah."
"Bagaimana kalau dia juga mencintaiku?" Aku seperti sedang melakukan penawaran.
"Kamu tidak akan pernah bisa bahagia bersama laki-laki yang kamu rampas dari wanita lain."
"Bagaimana dengan papa?" tukasku dengan mengabaikan rasa hormat pada wanita yang sudah berjasa mengandung dan membesarkanku. Sejenak aku melupakan betapa besar pengorbanan yang ia lakukan untuk merawatku hingga menjadi seperti sekarang. "Pasti di suatu tempat sana, papa hidup dengan bahagia. Seandainya dia tidak bahagia, pasti akan mencari kita, kan?"
"Cukup Talisa!" Wanita itu menggertakkan giginya. Sepasang tangannya kulihat mengepal. Kuku-kukunya yang berwarna merah muda pucat seakan siap mencakar wajahku. Namun, ajaibnya aku tak merasa menyesal sama sekali telah melontarkan kalimat-kalimat yang melukai hatinya. Aku bicara kenyataan. "Sebaiknya kamu pergi ke kamarmu sekarang," suruhnya usai menghela napas dengan kasar. Ia mengalihkan wajah dari tatapanku yang terus menerus mengarah padanya. Ada sesuatu yang susah payah sedang ia sembunyikan dariku. Sepasang mata yang mulai mengabur karena selaput bening tipis menutupi indra penglihatannya.
Aku memang ingin segera beristirahat setelah seharian melakukan banyak aktifitas di luar rumah. Mama lah yang membuatku tertahan selama beberapa menit di ruang tengah hanya untuk berdebat tentang laki-laki itu.
Mama beranjak kembali ke tempat duduknya ketika aku memutuskan untuk melanjutkan langkah. Aku sempat meliriknya dan melihatnya tampak putus asa. Namun, stiletto merah yang membungkus kedua kakiku memaksa untuk terus melangkah. Anak tangga di depanku sudah menunggu sejak tadi.
Suara detak stiletto milikku mulai menapaki anak tangga dan memecah suasana hening di dalam ruangan. Seperti ingin merobek sepi yang kerap menghuni rumah kami. Mama masih membeku di tempatnya ketika aku telah berhasil menyelesaikan seluruh anak tangga. Ekspresi wajahnya muram, bagai langit yang dipenuhi dengan awan kelabu.
Aku dan mama hanya tinggal berdua saja, ditemani dua orang asisten rumah tangga dan seorang tukang kebun. Sebenarnya kami pernah memiliki seorang supir pribadi, tapi sekarang tidak lagi. Aku dan mama sama-sama lebih nyaman bepergian sendiri ketimbang diantar supir.
Mama dan papa sudah berpisah cukup lama. Wanita itu dicampakkan oleh suaminya ketika pernikahan mereka berumur tiga tahun. Kala itu aku masih berusia dua tahun. Aku masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi pada mereka berdua. Tidak ada yang tersisa dalam ingatanku tentang papa. Tak ada yang bisa kukenang darinya. Bisa dikatakan aku sama sekali tak mengenal sosok seorang ayah sepanjang hidupku. Karena mama memutuskan untuk tidak menikah di sisa umurnya setelah berpisah dari papa, sekalipun demi kepentinganku.
Mama membiarkanku tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Wanita itu berusaha menjalani peran sebagai seorang ibu dan ayah sekaligus. Tapi, mama bukan manusia sempurna. Ia tidak bisa mengambil alih peran ayah betapapun mama berupaya keras untuk melakukannya. Peran seorang ayah tak bisa digantikan dan sepertinya mama lupa akan hal itu.
Mama membenci semua laki-laki di dunia ini. Rasanya tidak adil jika mama melakukan hal itu hanya karena seorang laki-laki yang mencampakkannya, ia menaruh dendam pada seluruh keturunan Adam. Kecuali kakek. Namun, entah ini karma atau bukan, kurasa Tuhan telah menggariskan, aku jatuh cinta pada seorang laki-laki yang telah beristri. Dan ia jauh lebih tua dari usiaku. Bahkan laki-laki itu lebih pantas menjadi ayahku. Tapi aku tak bisa mencegah hatiku untuk mencintainya. Aku tak bisa menghentikan perasaanku sendiri. Aku mencintainya meski tahu apa yang kulakukan akan menyakiti orang-orang di sekitar laki-laki itu. Juga mama.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Chaca
hallo Kaka..aku mampir. Salam dari Miss in 80 kg...
2022-02-21
1
mamayot
haii... salam dari MY BODYGUARD PANJI
2021-07-26
0
🥀🥀Rasyid-Rahmani🥀🥀
hy Thor aku mampir bawa like,jngan lupa mmpir ke karyaku yah," dilamar polisi" " tuan es batu kekasihku",kutunggu Thor,,
2020-11-01
0