"Nyonya Penny menanyakan kapan gaunnya akan selesai, Nona," beritahu Eka begitu aku tiba di butik. Sebelum turun dari mobil tadi, Jathayu memberikan ponselku tanpa memberi syarat apapun.
"Apa kamu sudah menanyakan pada tukang jahit kita?" Aku menyempatkan diri memeriksa koleksi pakaian di butik sebelum duduk di kursi. Beberapa hari terakhir pikiranku kosong dari ide. Aku ingin membuat desain pakaian hari ini dengan suasana hati seadanya.
"Sudah, Nona. Katanya tiga hari lagi selesai."
"Apa Nyonya Penny bersedia menunggu tiga hari lagi?" Aku menyandarkan punggung pada sandaran kursi, membuat posisi dudukku senyaman mungkin.
"Nyonya Penny ingin gaunnya segera selesai."
"Kalau begitu suruh tukang jahit kita menyelesaikannya dua hari lagi," suruhku pada Eka yang masih berdiri kaku di samping meja.
"Baik."
Di antara sekian banyak pelanggan butik kami, hanya Nyonya Penny yang tak sabar menunggu pesanan gaunnya selesai dijahit. Namun, wanita itu yang paling banyak menghabiskan uangnya untuk membeli pakaian hasil karyaku. Jadi, aku akan memperlakukannya dengan istimewa ketimbang pelanggan lain.
Aku melenguh pelan setelah memeriksa isi ponsel yang baru kembali ke tanganku beberapa menit lalu. Hanya beberapa pemberitahuan pesan dari pelanggan dan tak ada satupun yang berasal dari Bram. Sibukkah ia?
"Nona, ada kiriman bunga."
Suara Dini menyentak lamunanku. Gadis itu telah berdiri di depan meja kerjaku dengan menggenggam buket mawar putih di tangannya.
Keningku mengerut.
"Dari siapa?" tanyaku penasaran.
"Tidak ada nama pengirimnya, Nona." Dini memeriksa rangkaian bunga mawar putih di tangannya dan tak ada yang bisa ia temukan di sana. Tidak ada selembar catatan yang menunjukkan identitas si pengirim.
"Apa kata kurirnya?" tanyaku seraya meraih buket bunga itu dari tangan Dini.
"Kurirnya juga tidak tahu siapa nama pengirimnya, Nona."
Apakah Bram? batinku menebak. Ataukah salah seorang pelanggan yang mengirimkannya?
Apa aku harus bertanya pada Bram? tanyaku dalam hati. Aku melirik ponsel di atas meja kerja dengan dibalut rasa penasaran yang teramat sangat.
"Nona Talisa! Ada yang mengirim kue!"
Rasa terkejut karena kiriman buket bunga itu belum usai ketika tiba-tiba Eka muncul dengan teriakan lantangnya yang menggema di segenap penjuru butik.
"Kue?" tanyaku dengan kening masih mengerut.
"Ya, kurirnya masih ada di depan... "
Aku buru-buru bangun dari tempat dudukku dan berjalan dengan cepat ke pintu depan untuk menemui kurir yang konon mengantarkan kue untukku.
"Ada kiriman kue untuk Nona Talisa," ucap seorang laki-laki yang masih lengkap mengenakan helm dan jaket. Di tangannya terdapat sebuah kotak berbahan karton dengan cap sebuah toko kue yang cukup terkenal.
"Dari siapa?" tanyaku cepat. Beberapa menit lalu aku menerima kiriman bunga mawar dan sekarang kue padahal hari ini bukan ulang tahunku.
"Maaf, klien kami tidak ingin memberitahu namanya, tapi apa benar Anda yang bernama Talisa?"
"I-ya, aku Talisa." Aku agak bingung dengan semua ini.
"Tolong tanda tangan di sini," suruh laki-laki itu dengan menyodorkan secarik kertas ke hadapanku.
Aku menatap laki-laki itu sebentar lalu menandatangani secarik kertas yang disodorkannya.
"Terima kasih."
Rasanya aku masih belum percaya dengan semua ini. Buket bunga dan kue tart tanpa ornamen ucapan ulang tahun atau semacamnya. Hanya hiasan mawar dan dedaunan yang menghias bagian atas kue.
"Apa hari ini Nona berulang tahun?"
Aku tidak terlalu memperhatikan siapa yang mengajukan pertanyaan, tapi kepalaku langsung menggeleng begitu kalimat itu selesai diucapkan.
"Jangan dimakan kuenya," ucapku memperingatkan Dini dan Eka sebelum meletakkan kotak kue itu di atas meja. Asal muasal kue itu belum jelas dan aku tidak bisa menjamin keamanannya.
Raut kecewa seketika merebak di wajah kedua gadis itu. Krim tebal yang melapisi bagian atas kue tart itu memang menggiurkan untuk dicicipi, tapi bagaimana jika setelah memakannya kami malah keracunan?
Getaran yang berasal dari ponsel di atas meja seketika membuyarkan lamunanku. Benda itu baru saja kembali ke tangan pemiliknya beberapa menit lalu.
Sebaris nomor tak dikenal tertera di atas layar ponsel yang sekarang ada dalam genggamanku.
"Halo?" Tadinya aku diam beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk menggeser ikon berwarna hijau di atas layar.
"Apa bunganya sudah sampai?"
Astaga! Bram!
Aku berteriak tak keruan dalam hati begitu mendengar suara laki-laki itu dari kejauhan. Namun, sejujurnya aku lega telah mendapatkan semua jawaban yang aku inginkan. Bram adalah tersangkanya.
"Kenapa melakukan ini, Bram?" Aku melangkah sedikit menjauh dari kursiku agar Dini dan Eka tak bisa mendengar suaraku. "Aku tidak berulang tahun hari ini dan kamu mengganti nomormu... "
"Maafkan aku, Sayang. Aku tahu hari ini kamu tidak sedang berulang tahun... "
"Lalu kenapa memberiku kue tart?" desakku.
Suara tawa renyah Bram menggema di dalam telinga kananku.
"Apa tidak boleh memberikan kue tart meski tidak sedang berulang tahun?" tanya laki-laki itu membuatku gemas. Andai aku bisa memeluk tubuhnya sekarang...
"Aku suka kejutan yang kamu berikan, Bram," bisikku. Segenap hatiku bernyanyi dengan riuhnya karena terlalu bahagia dan bersemangat. "Terima kasih untuk semuanya."
"Terima kasih kembali... "
Aku ingin sekali bertemu dengannya, tapi seseorang yang kulihat sedang berdiri tak jauh dari tempat mobilku terparkir tidak akan pernah membiarkanku pergi. Jathayu harus secepatnya disingkirkan.
"Maaf, Talisa. Aku ada rapat hari ini. Apa kamu baik-baik saja kita tidak bertemu beberapa hari ini?"
Sesungguhnya tidak, jawabku dalam hati.
"Aku merindukanmu, Bram," bisikku lirih. Sesuatu mendesak di dalam mataku seolah ingin segera berhamburan keluar. Aku merindukan laki-laki itu. Sangat merindukannya.
"Aku juga."
"Sampai jumpa." Aku menutup telepon terlebih dulu sebelum menumpahkan air mata karena terlalu merindukan laki-laki itu.
Jika Bram hanyalah bentuk obsesiku terhadap sosok seorang ayah, kenapa hatiku merasa sakit tiap kali memikirkannya? Aku merindukannya berkali-kali lipat ketimbang pada ayah kandungku sendiri. Bersama Bram aku merasakan sebuah kenyamanan dan rasa hangat dalam jiwaku. Bukankah ini yang disebut sebagai cinta?
"Nona, ada yang ingin bertemu."
Aku menarik napas dalam-dalam begitu suara Dini menegur dari belakang punggungku. Secepatnya aku menguasai perasaan dan membalik tubuh. Aku beruntung karena tidak kepergok sedang berurai air mata di hadapan karyawatiku.
"Siapa?"
"Tidak tahu. Dia belum pernah ke sini."
"Apa dia seorang laki-laki?" Aku takut jika Bram benar-benar muncul sebagai pelengkap kejutannya hari ini. Laki-laki itu tidak boleh datang ke butik demi kebaikan kami semua. Mama bisa marah besar jika tahu Bram datang.
Namun, kepala Dini menggeleng sejurus kemudian mengisyaratkan jika tebakanku kali ini salah besar.
"Bukan. Dia seorang wanita."
Apakah dia pelanggan kami yang selalu berbelanja lewat daring? Ada beberapa pelanggan butik yang seperti itu.
"Baiklah. Aku akan segera menemuinya."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments