#12

Aku harus bagaimana?

"Apa kamu sibuk?"

Bram menunggu jawabanku. Jika saja tak ada laki-laki itu, maka aku akan segera mengiyakan ajakan Bram untuk bertemu bahkan tanpa perlu berpikir dua kali. Kapanpun ia ingin bertemu, aku pasti akan mengabulkannya.

"Tidak," jawabku setelah terdiam beberapa saat.

"Bagaimana kalau kita bertemu di cafe dekat kampus nanti jam empat sore?" tawar Bram kemudian.

Aku melirik ke arah luar butik. Laki-laki itu masih berdiri tak jauh dari mobilku seperti orang bodoh. Ia menungguku selama berjam-jam di sana seolah tak pernah tahu kata bosan.

"Baiklah. Aku akan datang," janjiku meski tak yakin bisa menepatinya. Aku akan berusaha untuk datang bagaimanapun caranya.

"Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa... "

Aku menutup telepon dengan gusar. Harusnya aku merasa senang bukan kepalang karena akan bertemu dengan Bram. Kerinduan dalam hatiku sudah bertumpuk padanya, tapi bagaimana aku bisa pergi jika pengawal pribadiku terus menempel seperti parasit?

"Apa Nona mau pesan makanan juga?"

Agh. Aku cukup kaget begitu mendengar suara Dini yang menawarkan bantuan untuk memesan makan siang.

"Boleh," jawabku asal. Sesungguhnya aku tidak terlalu memikirkan tentang perutku sekarang, tapi tiba-tiba saja aku teringat Gina. Gadis itu selalu mencemaskan soal penyakit maag yang kuderita beberapa tahun belakangan.

"Nona mau pesan makanan apa?"

"Terserah kalian." Lagi-lagi aku menjawab dengan asal.

"Apa Nona mau pesan untuk Mas Jathayu juga?" Dini terus bertanya seperti sedang mewawancaraiku. Namun, baru saja ia menyebut nama seseorang.

"Siapa?" Aku menatap gadis itu dan merasakan kedua alisku mengerut.

"Mas Jathayu," ulang gadis itu sembari mengangkat jempol kanannya dan mengarahkan ujungnya ke luar. Lebih tepatnya ke arah tempat pengawal pribadiku sedang berdiri. Laki-laki itu menanggalkan setelan jasnya hari ini dan merubah total gayanya menjadi kasual. Sehelai kaus hitam berlengan panjang berpadu dengan celana jins biru laut menjadi pilihan fashion-nya kali ini.

Jathayu?

Aku ingat mama pernah menyebutkan nama laki-laki itu, tapi hanya kudengar sepintas lalu. Ya, namanya Jathayu. Sebuah nama yang tidak familiar di telingaku. Juga aneh.

"Terserah kamu. Kalau kamu ingin membelikannya, silakan. Tapi pakai uangmu sendiri," tandasku. Mama yang merekrutnya dan memberinya gaji, kenapa aku yang mesti memberinya makan?

Raut wajah Dini berubah masam begitu mendengar ucapanku.

"Baik, Nona."

Gadis itu membalik badan dan dengan rasa percaya diri pergi dari hadapanku lalu keluar dari butik untuk mendatangi Jathayu. Mereka tampak bercakap-cakap sebentar dan dari bahasa tubuh laki-laki itu, kusimpulkan jika Jathayu menolak tawaran Dini.

Aku sudah pernah bilang jika laki-laki itu tak jauh beda dengan robot. Tak punya ekspresi dan entah kapan ia mengisi perutnya. Namun, siapa yang peduli? Gara-gara kehadirannya hidupku menjadi kacau sekarang.

"Apa dia memesan makanan juga?" tegurku begitu Dini masuk ke dalam butik kembali.

"Tidak. Dia bilang akan membeli makan di sekitar sini," sahut Dini.

"Oh." Aku mengangguk mendengar penjelasan Dini. Itu bagus, batinku. Jathayu memberiku ide.

"Apa Nona mau pesan ayam bumbu rujak?" sentak Dini seraya sibuk menggulir layar ponselnya.

"Memangnya kalian mau makan itu?" Aku melirik Eka yang tampak sedang sibuk merapikan pakaian di rak.

Dini terkekeh.

"Tidak, Nona. Kami sepakat memesan nasi goreng."

"Terus... kenapa kamu menawariku ayam bumbu rujak?" tanyaku heran.

"Itu karena... "

"Kamu takut aku tidak suka makan makanan murah, begitu?" Aku bisa menebak apa yang dipikirkan gadis itu.

"Maaf... " Dini menggumam pelan dan gadis itu semakin tampak canggung padaku.

"Aku mau makan apa yang kalian makan," ucapku sejurus kemudian. "Pesan sekarang. Kalian sudah lapar, kan?"

"Ba-baik."

Astaga. Aku memang agak arogan, tapi aku tidak semenakutkan itu.

Jam makan siang telah usai, tapi Jathayu belum beranjak dari tempat duduknya. Kupikir ia akan berdiri seharian di dekat tempat mobilku terparkir, nyatanya tidak. Jathayu beralih ke sebuah bangku yang biasa digunakan oleh tukang parkir untuk duduk beristirahat. Ada banyak tempat usaha berjajar di sebelah kanan dan kiri butikku sehingga ada begitu banyak mobil keluar masuk area kami. Ia bisa menjadi tukang parkir jika sewaktu-waktu bosan dengan pekerjaannya sebagai pengawal pribadi. Itupun jika ia bersedia melakukannya.

Penantianku sepertinya akan terbayar ketika ekor mataku menangkap bayangan Jathayu yang tampak berjalan menjauh dari halaman butik. Mungkinkah perutnya sudah meronta-ronta ingin diiisi?

"Nona mau pergi?"

Pertanyaan Dini tak kugubris. Aku bergegas melangkah ke arah pintu butik yang terbuat dari kaca tebal setelah menyambar tas dan ponsel dari atas meja. Meski jam masih menunjuk angka dua lewat beberapa menit, bagiku bukan masalah. Kesempatan emas datang sekarang dan aku tak bisa melewatkannya begitu saja atau aku akan menyesal. Aku bisa menunggu Bram dua jam di sana. Bahkan lebih dari itu. Aku bisa menunggunya seharian.

Jathayu tak tampak di manapun saat aku berhasil keluar dari butik lalu menoleh ke kanan dan kiri. Aku bisa segera kabur dengan menaiki taksi, batinku mengatur rencana. Namun, sepertinya rencanaku harus hancur berantakan, pasalnya ketika hendak melambaikan tangan pada taksi yang kebetulan melaju ke arahku, tiba-tiba seseorang menarik lenganku dengan paksa. Membuatku terenyak dan batal menghentikan taksi.

Jathayu?

Laki-laki itu berhasil menahanku pergi. Tapi, dari mana ia muncul? Aku sudah memastikan bahwa ia tidak ada di manapun saat menoleh ke segenap penjuru tadi.

"Kamu mau pergi?"

Jelas-jelas aku mau melarikan diri darinya, batinku kesal. Aku mencoba mengempaskan tangannya dengan sekuat tenaga, tapi gagal. Cekalan tangannya cukup kuat.

"Aku ada urusan," jawabku menahan emosi.

"Ke mana? Kenapa tidak menyuruhku untuk mengantarmu?"

"Karena aku ingin pergi sendiri." Keberadaan laki-laki itu benar-benar membuatku tak berkutik. Namun, aku pastikan rencana mama untuk menghancurkan hubunganku dengan Bram tidak akan tercapai.

"Apa kamu ingin pergi menemui laki-laki itu?" tanya Jathayu memaksaku melebarkan mata.

Mama sudah memberitahu segalanya pada Jathayu tentang apa yang harus ia lakukan. Wanita itu memberi misi pada Jathayu untuk menjauhkanku dari Bram.

"Kubilang bukan urusanmu! Lepaskan aku!" bentakku. Aku mencoba melepaskan tangannya dari lenganku, tapi sekali lagi usahaku gagal.

"Tidak, itu adalah urusanku. Nyonya memberiku tugas untuk mengawasimu agar tidak menemui laki-laki itu, jelas?" tegasnya dengan sepasang mata menyorot tajam.

Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Lihat saja, aku pasti akan menyingkirkan laki-laki itu secepatnya dari sisiku.

"Sebaiknya kamu kembali ke dalam atau aku akan mengantarmu pulang," ucapnya. Namun, bagiku itu merupakan sebuah ancaman.

Aku memilih untuk kembali ke dalam butik tanpa kata. Aku benar-benar dibuat kesal olehnya.

***

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

GOOD, LO HRS TEGAS, COOL DN KAKU JATHAYU... JGN KALAH DGN WANITA EGOIS, TK PNY HATI DN KERAS KPALA SPRTI LISA..

2024-04-13

0

Anonymous

Anonymous

bodyguardnya galak ... rasain

2020-11-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!