#13

"Apa ini?" Aku melongo ketika laki-laki itu membukakan pintu depan mobil untukku. Pasalnya semenjak ia resmi menjadi pengawal pribadiku, aku selalu duduk di jok belakang.

"Masuklah." Alih-alih menjawab pertanyaanku, Jathayu menyuruhku agar masuk ke dalam mobil.

"Kenapa?" tanyaku seraya menyelipkan senyum sinis kepadanya. "Kamu takut aku akan kabur?" sindirku. Rencanaku untuk melarikan diri gagal total siang tadi. Namun, aku sudah mengirim pesan pada Bram dan memberitahunya kalau aku tidak bisa datang.

Laki-laki itu menarik napas diam-diam. "Masuklah, Nona," ulangnya.

Ya, ia memang takut aku akan melarikan diri seperti tadi. Gesturnya mengatakan dengan jelas.

Aku masuk ke dalam mobil sesuai perintahnya. Mungkin lain kali aku harus merancang sebuah rencana yang matang sebelum melarikan diri darinya.

"Pakai sabuk pengamannya," ucap laki-laki itu setelah mengambil tempat duduk di belakang kemudi. Ia baru saja mengagetkanku.

Lagi-lagi aku harus melaksanakan perintahnya. Ini membuatku kesal.

"Aku membencimu," gumamku sambil membuang pandangan ke samping. Laki-laki itu tak bereaksi meski mendengar makianku dengan jelas. Ia hanya menatapku sekilas sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil. "Aku membencimu." Aku mengulang kembali ucapanku dan kali ini aku menoleh padanya.

Namun, laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi. Ia menatap lurus ke depan seolah tak pernah mendengar apapun. Aku tahu ia bisa mendengarku dengan jelas.

"Apa yang mama katakan padamu?" Aku mengalihkan tatapan ke depan. "Apa dia menyuruhmu untuk menjauhkan aku dari laki-laki itu? Apa itu misi yang diberikan mama padamu?"

Beberapa menit yang sepi. Jathayu terlalu fokus pada setir dan membuatku tampak mengenaskan. Aku seperti bicara pada angin.

"Apa kamu tidak ingin menjawabku, hah?!" seruku. Lama-lama ia bisa memicu darahku naik ke ubun-ubun.

"Aku tidak mengobrol saat mengemudi, Nona."

Oh. Jawaban yang cukup mengagetkan, batinku.

"Kenapa? Apa kamu tidak bisa membagi konsentrasimu saat mengemudi?"

"Aku hanya tidak suka mengobrol saat di dalam mobil," ucapnya tanpa menoleh. Ekspresi wajahnya belum berubah. Masih datar seperti saat kami keluar dari area parkir butik.

Keinginannya terpenuhi. Aku memilih untuk tidak mengajaknya bicara selama dalam perjalanan pulang. Lagipula aku juga terbiasa dengan suasana hening ketika berkendara sendiri. Aku tidak suka dengan suara radio atau musik menemani ketika menyetir.

Gina kembali menyambut kedatanganku di depan pintu, sama seperti yang ia lakukan kemarin malam. Aku sudah tidak mempermasalahkan perihal hukuman yang kuberikan padanya, tapi gadis itu masih terlihat merasa bersalah.

"Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa kamu lakukan selain membukakan pintu untukku?" tanyaku pada Gina. Jika hanya untuk membuka pintu rumah, aku masih bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

"Maaf, Nona. Apa kita bisa bicara sebentar?"

Ujung stiletto kesayanganku urung bergerak maju. Gina tidak pernah meminta untuk bicara denganku sebelumnya.

"Ada apa?" tanyaku mencurigai sesuatu. Sorot mata gadis itu terlihat tak secerah biasanya.

"Saya mau minta izin cuti, Nona. Ayah saya sakit... "

Tadinya aku ingin menyimpulkan sesuatu kesedihan tergambar dari raut wajah gadis itu, tapi aku takut jika kesimpulanku salah.

"Apa penyakitnya? Apakah parah?"

Kepala gadis itu menggeleng dengan berat.

"Saya belum tahu, Nona. Ibu hanya mengabarkan jika ayah masuk rumah sakit sore tadi," ucap Gina. Gadis itu tampak menahan tangis, tapi aku bisa merasakan jika ia bukanlah seseorang yang tegar.

"Cepatlah pulang. Biar kusuruh seseorang mengantarmu ke terminal."

"Terima kasih, Nona."

"Tapi kamu akan kembali ke sini, kan?" Aku dan Gina, meski aku sering bersikap kurang baik padanya, tapi kami seperti memiliki ikatan batin. Sejujurnya aku tidak ingin ia pergi terlalu lama.

"Apa?" Gadis itu sedikit terkejut mendengar pertanyaanku.

"Aku tidak memintamu untuk segera kembali. Kamu bisa merawat ayahmu sampai sembuh lalu kembali ke sini. Kamu boleh mengambil cuti selama yang kamu inginkan," ucapku memberi kelonggaran untuknya. Aku heran pada diriku sendiri, aku tak pernah sebijak ini sebelumnya. Mungkin ia sebuah penebusan rasa bersalah pada Gina atas sikap kasarku padanya selama ini.

"Terima kasih, Nona." Gina terlihat sangat berterima kasih padaku.

"Cepatlah berkemas," suruhku.

"Baik, Nona."

Gerakan kakiku tertahan oleh getaran dan nada dering yang berasal dari ponsel yang kusimpan di dalam tas. Sementara Gina telah melangkah pergi ke kamarnya untuk berkemas seperti yang kuperintahkan.

Dari Bram!

Perasaan bahagia selalu membuncah tiba-tiba manakala laki-laki itu menelepon. Ibarat mendapat hadiah kue tart bukan di hari ulang tahun.

"Halo?" Aku segera mengangkat telepon dan menyapa Bram. Rasanya aku ingin mengungkapkan segenap kerinduanku padanya, tapi mungkin baginya ini terlalu berlebihan.

"Aku sedang dalam perjalanan pulang," beritahunya. "Maaf aku baru menelepon sekarang. Apa terjadi sesuatu?" tanya Bram sejurus kemudian. Samar-samar telingaku menangkap lantunan tembang tahun 90-an.

"Oh... " Aku butuh waktu untuk berpikir. "Itu... ada sedikit masalah."

"Apa soal mamamu lagi?"

"Ya... " jawabanku mengambang. Mama membatasi ruang gerakku dengan menempatkan seorang pengawal pribadi untuk mengawasiku 24 jam, batinku. Namun, entah kenapa rasa ragu menggayut di bibirku. Saat bertatap muka dengan Bram nanti, aku pasti akan menceritakan semuanya.

"Jangan bertengkar lagi dengan mamamu... "

Aku kaget setengah mati karena tiba-tiba ponselku direbut dengan paksa oleh seseorang padahal pembicaraanku dengan Bram belum usai.

"Apa kamu bicara dengan laki-laki itu?" hardik Jathayu saat aku membeku menatapnya mematikan sambungan telepon. Memangnya dia siapa? Kenapa begitu lancang mengambil ponselku tanpa izin di saat aku sedang bicara dengan Bram?

"Apa yang kamu lakukan?!" teriakku marah. Aku ingin sekali mencakar wajah laki-laki itu dengan kuku-kuku panjangku.

"Bukankah sudah jelas kalau tugasku adalah menjauhkanmu dari laki-laki itu?" Tatapannya seolah ingin membunuhku dalam sekejap. Ponselku yang malang masih ada di tangan laki-laki itu.

Rasanya saat ini darahku mengalir dengan deras ke kepala. Dadaku dipenuhi oleh amarah yang berkobar.

Kenapa mama melakukan ini padaku? Apakah aku harus hidup kesepian selamanya, sama seperti mama? Apa aku tidak pantas mendapatkan cinta dari laki-laki yang kusuka? Apakah menjadi yang ke-dua adalah salah?

Laki-laki di hadapanku tidak bersalah. Ia hanya menjalankan apa yang diperintahkan mama. Jathayu hanya bekerja demi uang dan tidak ada sangkut pautnya dengan nasib yang kualami.

Kepalan tanganku mengendur perlahan dan aku menurunkan pandangan dari wajah laki-laki itu. Ia bukan tandinganku. Sekeras apapun aku berusaha menentangnya, aku akan kalah. Jathayu adalah seseorang yang kuat dan mama sedang memanfaatkan laki-laki itu untuk mencapai tujuannya.

Aku mengayunkan langkah menapaki anak tangga menuju ke lantai dua sembari berpikir. Aku harus menyusun rencana agar bisa bertemu dengan Bram lain waktu.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!